Terkini Daerah
Menjadi Penarik Perahu Eretan, Safei Bisa Sekolahkan Anak sementara Wandi Tak Punya Tempat Tinggal
Bekerja menjadi penarik perahu eretan di Jakarta masih menjadi lapangan pekerjaan karena sungai masih dijadikan jalan pintas bebas macet.
Penulis: Tiffany Marantika Dewi
Editor: Lailatun Niqmah
TRIBUNWOW.COM - Bekerja menjadi penarik perahu eretan di Jakarta masih menjadi lapangan pekerjaan karena sungai masih dijadikan jalan pintas bebas macet.
Dikutip dari Kompas.com, eretan merupakan sebutan bagi perahu untuk menyebrangi sungai yang berkonsep mirip getek namun bentuknya lebih besar sehingga bisa memuat lebih banyak penumpang.
Di Kali Cagak, Muara Karang, Jakarta Utara, tepatnya di kolong jalan tol pelabuhan, perahu eretan digunakan sebagai mata pencaharian oleh beberapa warga.
Secara bergantian, warga menarik perahu eretan tersebut untuk menyeberangkan pejalan kaki hingga sepeda motor.
Kisah Safei yang Bisa Sekolahkan Anak dari Menarik Perahu Eretan
Safei, satu di antara warga yang berprofesi sebagai penarik perahu eretan telah menjalani profesinya selama 30 tahun.
"Kami mah dulu cuma nerusin aja pekerjaan dari temen, terus keterusan sampai sekarang. Lagian ga tau juga mau kerja apa lagi," kata Safei, Kamis (15/3/2018).
Eretan yang dikemudikan Safei ini berukan 2x10 meter dan hanya mengandalkan tambang sejauh puluhan meter yang membentang di atas sungai.
• Viral Balita Kembar Rana dan Rani dalam Kondisi Memprihatinkan, Ibunya Meninggal saat Melahirkan
Safei mengatakan, pekerjaannya sebagai penarik perahu ini terbilang lumayan.
Walaupun enggan menyebutkan nominal, Safei mengaku bisa menyekolahkan anaknya lewat hasil menarik eretan.
"Setidaknya masih cukup lah buat makan dan anak sekolah, setiap bulan juga masih bisa ngirim ke kampung," kata Safei.
Ia mengatakan kedua anaknya kini sudah duduk di bangku sekolah menengah dan tinggal bersama ibu mereka.
Meskipun begitu, ia mengatakan bahwa dirinya bisa meraup uang dari para penumpangnya hingga ratusan ribu rupiah.
Namun, uang itu mesti dibagi kepada rekan-rekannya.
"Di sini kan kita hidup bareng-bareng, jadi harus dibagi juga. Kadang kalau perahu bocor atau rusak ya kita ganti pakai uang itu juga," kata Safei.
Tarif yang dikenakan untuk satu kali eretan itu berkisar Rp 1.000 untuk pejalan kaki dan Rp 2.000-3.000 bagi pengendara motor.
• Kakek Berusia 63 Tahun Nekat Jualan Ganja di Pinggir Jalan
Cerita Wandi yang Tinggal di Perahunya
Sama-sama berprofesi sebagai penarik perahu eretan, Wandi (48) harus rela menginap di perahu tempatnya mencari nafkah tersebut.
Wandi, merupakan penarik perahu eretan di Kali Sodetan Sekretaris, Jakarta Barat.
Ia menginap di perahunya karena penghasilannya tak mencukupi bila digunakan untuk menyewa kontrakan di Jakarta.
Dikutip dari Tribun Jakarta, pria asal Brebes ini mengatakan hanya bisa mengantongi Rp 80 ribu rata-rata perharinya.
"Ngontrak duitnya enggak cukup. Sekarang yang naik eretan sudah enggak kayak dulu semenjak orang sudah pada punya motor sendiri," kata Wandi, Jumat (14/9/2018).
Perahu yang ditinggali Wandi pun juga memiliki laci yang digunakan sebagai tempat menyimpan pakaian Wandi.
Sedangkan pakaian yang dicucinya digantung di atas tali tambang bagian luar perahu.
Wandi tidur beralasan kursi kayu yang biasa diduduki penumpang.
• Kisah Kakek Penjual Kerupuk, Mengidap Penyakit Asma, Kaki Kanannya Patah dan Sebatang Kara
Wandi sedang makan di perahu eretan, tempat tinggal sekaligus untuk mencari makan di Kali Sodetan Sekretaris, Jakarta Barat, Jumat (14/9/2018). (TRIBUNJAKARTA.COM/ELGA HIKARI PUTRA)
"Tidur ya di sini juga. Tapi eretannya saya taruh di tengah jadinya enggak ada orang yang bisa naik. Kalau sudah bangun baru saya taruh di pinggir lagi," kata Wandi.
Dalam satu bulan, Wandi harus membayar Rp 100 ribu kepada pengelola toilet umum di dekat Pasar Pesin.
Hampir sama dengan Safei, perahu eretan yang dikemudikan Wandi ini mengenakan biaya Rp 1.000 rupiah, walaupun ada yang memberinya sampai Rp 5.000.
Namun, berbeda dengan perahu eretan Safei yang banyak menerima penumpang menggunakan motor, Wandi memiliki pelanggan dari pejalan kaki yang akan ke pasar.
"Ramainya itu kan pagi karena banyak yang mau pada ke pasar. Kalau siang mah paling cuma satu-dua orang aja yang lewat. Nanti ramai lagi pas sore," kata Wandi. (TribunWow.com/Tiffany Marantika)