Analis Politik LIPI Sebut 6 Faktor DPRD Korupsi Massal, Gaji Kecil hingga Keterbukaan Masyarakat
Syamsuddin Harris memberikan komentar terkait banyaknya anggota DPRD yang tertangkap korupsi massal.
Penulis: Tiffany Marantika Dewi
Editor: Wulan Kurnia Putri
TRIBUNWOW.COM - Syamsuddin Harris selaku analis politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) memberikan komentar terkait banyaknya anggota DPRD yang tertangkap korupsi massal.
Hal ini diungkapkan Syamsuddin melalui Twitter miliknya, @sy_haris, Rabu (5/8/2018).
Syamsuddin mengatakan ada 6 faktor yang membuat para anggota DPRD korupsi secara bersamaan.
6 faktor tersebut berasal dari intern DPRD, partai politik (parpol) yang mengusung, hingga sikap masyarakat yang terlalu terbuka dengan masyarakat.
"Korupsi massal DPRD adalah produk dari faktor2:
1.politik berbiaya tinggi; 2.sistem pemilu & pilkada bermasalah; 3.proses kandidasi yg transaksional; 3.parpol pragmatis, tdk ideologis & korup; 4.gaji anggota DPRD kecil; 5.politisi tdk bermoral; 6.sikap permisif masy thdp korupsi," tulis Syamsuddin.
• PDI-P Nyatakan Partainya akan Pecat Anggota DPRD Malang yang Menjadi Tersangka Korupsi

kicauan Syamsuddin Haris (Capture Twitter @sy_haris)
Sebelumnya, Syamsuddin juga pernah berkomentar terkait para anggota pejabat publik yang terkena operasi tangkap tangan (ott) KPK.
Ia pun turut mempertanyakan posisi Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang seolah tutup mata dengan keadaan tersebut.
"Kita geram tiap kali membaca berita para anggota DPR, DPRD, dan pejabat publik lain terjerat OTT atau sebagai tersangka korupsi oleh KPK.
Terakhir korupsi massal oleh 41 org anggota DPRD Malang, 52 org DPRD Jambi dan 50 org DPRD Sumut.
Mengapa Bawaslu tutup mata dgn realitas ini?.
Ketika diundang Pansus UU Pemilu pd 2007 atau 2008, saya pernah usul agar Bawaslu dibubarkan.
Jika pun dipertahankan, Bawaslu harus mjadi bagian/unit dari KPU.
Di negara lain, fungsi pengawasan pemilu melekat pd komisi pemilu shgg tdk diperlukan badan terpisah. Skrg sdh terlanjur," kicau Syamsuddin.
Sementara itu, diberitakan dari Kompas.com, keputusan Bawaslu yang meloloskan mantan koruptor sebagai bakal calon anggota legislatif dinilai akan berdampak pula pada dinamika internal partai politik.
Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW) Donal Fariz mengatakan, partai politik sebenarnya sudah melaksanakan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) yang melarang mantan narapidana kasus korupsi untuk mencalonkan diri.
"Memang awalnya Bawaslu menolak pada waktu pembahasan, di RDP (rapat dengar pendapat) sebagian parpol ada yang menolak, ada yang setuju, tapi setelah sah diundangkan mayoritas parpol setuju dengan PKPU ini," kata Donal, di Kantor Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Jakarta Pusat, Selasa (4/9/2018).
"Secara sejarahnya, PKPU ini sudah ditaati secara hukum oleh partai politik. Mereka sudah mencoret (nama calon yang merupakan mantan terpidana korupsi)," lanjut dia.
• KPK Menduga Anggota DPRD Malang Terima Gratifikasi Senilai Rp 5,8 Miliar
Bahkan, parpol juga telah menandatangani pakta integritas sebagai komitmen menciptakan pemilu yang bersih dan telah diinisiasi oleh Bawaslu.
Menurut Donal, putusan Bawaslu yang mengabulkan gugatan sejumlah caleg eks koruptor akan menimbulkan gejolak di internal partai, terutama dari bakal caleg eks koruptor yang sebelumnya telah dicoret partai dari daftar.
"Gara-gara putusan Bawaslu, sekarang mantan napi koruptor datang lagi ke internal parpol, minta dicalonkan lagi, gara-gara 18 putusan yang ada di daerah," kata Donal.
Donal menilai, solusi yang paling tepat saat ini adalah Bawaslu maupun KPU menunggu putusan Mahkamah Agung (MA) terkait PKPU itu. PKPU Pencalonan tengah diujimaterikan di MA dengan alasan bertentangan dengan UU Pemilu.
Selama proses menunggu, Bawaslu sebaiknya menunda pengambilan putusan sidang ajudifikasi dari bacaleg eks koruptor.
Sementara, KPU menyatakan akan menunda penindaklanjutan putusan Bawaslu karena menunggu hasil dari MA.
Berdasarkan data Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pemilu Bersih, hingga Selasa (4/9/2018), setidaknya tercatat ada 18 mantan koruptor yang diloloskan Bawaslu sebagai bakal caleg.
• Fahri Hamzah Buat Surat Terbuka ke Jokowi soal Tuduhan Korupsi dan Nilai Tukar yang Semakin Letih
Pada masa pendaftaran bacaleg, mereka dinyatakan tidak memenuhi syarat (TMS) oleh KPU.
Para mantan koruptor tersebut lantas mengajukan sengketa pendaftaran ke Bawaslu dan Panwaslu setempat.
Hasil sengketa menyatakan seluruhnya memenuhi syarat (MS).
Bawaslu mengacu pada Undang-Undang Pemilu nomor 7 tahun 2017 yang tidak melarang mantan koruptor untuk mendaftar sebagai caleg.
Sementara, KPU berpedoman pada Peraturan KPU (PKPU) Nomor 20 tahun 2018 yang memuat larangan mantan koruptor menjadi calon wakil rakyat.
KPU untuk saat ini menolak menjalankan keputusan Bawaslu. (TribunWow.com/Tiffany Marantika)