Bukan Polling di Twitter, Refly Harun Buat 'Testing The Water' di Instagram Pilihan Capres Cawapres
Pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun turut meramaikan polling yang diadakan oleh para tokoh politik maupun akun-akun dengan pengikut yang banyak.
Penulis: Tiffany Marantika Dewi
Editor: Wulan Kurnia Putri
TRIBUNWOW.COM - Pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun turut meramaikan polling yang diadakan oleh para tokoh politik maupun akun-akun media sosial dengan pengikut yang banyak.
Jika para tokoh membuat polling melalui Twitter, berbeda dengan Refly Harun yang membuat polling melalui Instagram.
Namun, Refly tidak terang-terangan menyebut ini sebagai polling.
Ia mengatakan dengan istilah 'testing the water'.
Kedua pasangan calon (paslon) pun tidak diunggah Refly dalam satu postingan.
Mulanya, Refly mengunggah foto Joko Widodo (Jokowi) dan Maruf Amin pada 10 Agustus 2018.
• Said Aqil Siradj Sebut Maruf Amin Harus Mundur dari Jabatannya sebagai Rais Aam PBNU
Foto yang diunggah pun juga terlihat formal dengan jas yang dipakai oleh keduanya.
Selain itu dihias dengan grafis nuansa merah dan putih.
"180810. Testing the water, berapa banyak yg like," tulis @reflyharun pada Instagramnya.
Setelah tiga hari berselang, Refly mengunggah foto paslon yang lain yakni Prabowo dan Sandiaga Uno.
Refly mengunggah foto keduanya saat pemeriksaan kesehatan dengan mengenakan baju khas pasien test kesehatan.
"180813. Testing the water juga, kalau ini banyak yang like," tulis Refly.
Sementara itu, diberitakan sebelumnya, Guru Besar yang juga pakar statistik dari Intitut Pertanian Bogor (IPB), Khairil Anwar Notodiputro memberikan penjelasan terkait ramainya polling yang diadakan melalui akun Twitter.
Penjelasan ini diberikan Khairil melalui Twitter miliknya, @kh_notodiputro, Senin (13/8/2018).
Khairil mengatakan ada beberapa alasan mengapa polling Twitter tidak layak untuk dipercaya.
Pakar statistik ini menambahkan jika polling merupakan teknik pengumpulan data dalam survei untuk mengetahui pendapat dari sekelompok orang dan berbeda dengan survei.
• Fadli Zon Sebut Wagub DKI untuk PKS, Politisi Demokrat: Harusnya Duduk Bersama, Bukan Setengah Kamar
Namun, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi polling dari Twitter agar bisa dianggap sahih.
Berikut ini kutipan Tweet dari Khairil yang dirangkum TribunWow.com.
"MENGAPA HASIL POLLING TWITTER TIDAK LAYAK UNTUK DIPERCAYA?
Polling merupakan salah satu teknik pengumpulan data dalam survei untuk mengetahui pendapat dari sekelompok orang.
Sedangkan survei pada dasarnya adalah mengamati sebagian orang untuk memperoleh gambaran dari seluruh orang yang ada.
Sebagian orang yang dikumpulkan datanya itu lazim disebut “sample” sedangkan keseluruhan orang itu lazim disebut “population”.
Jadi “sample” adalah bagian dari “population” dan kita hanya mengukur “sample” walaupun “population” yang ingin diprediksi.
Survei lazim dilakukan dalam kegiatan riset dan menjadi alat penting untuk mengumpulkan data secata sahih. Jadi survei itu kegiatan ilmiah, bukan kegiatan biasa.
Polling sbg salah satu teknik mengumpulkan data dlm survei juga harus dijamin kesahihannya.
Mengapa harus sahih? Karena metode pengumpulan data yang sahih ditambah dengan teknik dan model analisis yang tepat akan memberikan hasil dengan akurasi yang terukur.
Jika datanya tidak sahih maka akurasinya menjadi tidak terukur.
Jadi kesahihan itu akan membuat akurasi dari hasil polling dapat terukur dan dengan demikian risiko salahnya pun terukur.
Itulah sebabnya hasil dari proses pengumpulan data yg sahih dapat dipercaya.
Harap dicatat disini bhw “dapat dipercaya” itu tidak sama dengan “benar”. Begitu juga “tidak dapat dipercaya” itu tidak sama dengan “salah”.
Dapat dipercaya disini artinya akurasinya terukur, risiko salahnya terukur, dan presisinya terukur pula.
Apa syarat dari metode pengumpulan data agar sahih? Syarat pertama, “sample” yg kita pilih merupakan representasi dari “population”.
Jadi “sample” itu haruslah mrp miniatur dari “population” dan sample itu bagian dari “population” yg ingin diprediksi.
Bagaimana agar “sample” itu representatif? “Sample” bisa representatif jika “sample” itu ada dalam kendali kita. Jadi “sample” itu harus terkendali. Pengendalian ini sangatlah penting.
Pengendaian di sini maksudnya kita tahu bhw “sample” yg terpilih adalah anggota dari “population”. Selain itu “sample” yg terpilih bukanlah sembarang orang (“voluntary”) melainkan orang yg terpilih. Jadi sample itu dipilih, bukan sembarangan.
Bagaimana memilih “sample” supaya data yg terkumpul sahih? Banyak cara untuk memilih “sample” ini. Disini diperlukan pemahaman ilmu statistik agar dapat memilih “sample” yg sahih.
Tapi apa pun teknik memilih “sample”nya prinsipnya adalah “sample” dipilih dari “population” menggunakan teknik peluang (“probability”) tertentu.
Mengapa pakai teknik peluang? Supaya risiko salahnya terukur dan supaya hasilnya tdk berbias. Lagi2 ini perlu ilmu statistik.
Syarat kedua dari metode pengumpulan data agar sahih adalah jumlah “sample”nya cukup. Ukuran “sample” mencerminkan akurasi dan juga presisinya.
Nah, sekarang bagaimana dengan polling via twitter? Ada banyak kelemahan dari polling twitter shg tidak sesuai dengan kaidah ilmiah. Ini menjadi masalah ketika akan kita gunakan untuk menyimpulkan populasi, khususnya populasi rakyat Indonesia.
Pertama, siapa yg menjadi populasinya ketika kita melakukan polling via twitter? Kita tdk bisa mengatakan bhw pengguna twitter adalah populasi Indonesia. Tidak bisa juga dikatakan bhw semua pengguna twitter berhak memilih. Tidak ada jaminan bhw satu org hanya punya satu akun.
Kedua, siapa yg menjadi “sample”nya? Apakah teknik peluang bs digunakan disini? Sayangnya tdk bs digunakan krn yg ikut polling twitter bukan mereka yg terpilih tetapi mereka yg mau ikut polling saja. Juga brp jumlah “sample” yg tepat utk mencapai akurasi dan presisi tertentu?
Berbagai kelemahan tsb menjadikan data yg terkumpul tidak sahih adanya, sehingga sulit mengetahui akurasi dan presisinya. Jadi hasil polling twitter tidak layak untuk dipercaya.
Dari uraian itu jelas masalah utama dari polling twitter adalah yg melakukan polling tidak bisa mengendalikan “sample” dan “populasinya”. Seandainya kita bisa mengendalikannya, maka kita bisa mendapatkan data yg valid. Tapi apakah mungkin dilakukan pengendalian itu?
Sependek pengetahuan saya pengendalian “sample” dlm polling twitter sangat sulit dilakukan. Mengapa? Karena kita tdk bisa memilih “sample”nya, tdk bisa memastikan apakah yg mengisi orang Indonesia, apakah berhak memilih atau tdk, bahkan kita tidak bisa menolak robot.
Hal penting lainnya karena wawancara tidak mungkin dilakukan dlm polling twitter maka sulit melakukan verifikasi atas kebenaran atau kejujuran jawaban yg diperoleh.
Demikianlah mengapa hasil polling via twitter tidak layak dipercaya, dan cukup sebagai hiburan saja..
Terimakasih dan tabiiiiiik...!!!," tulis Khairil. (TribunWow.com/Tiffany Marantika)