MK Kabulkan Gugatan UU MD3, Raja Juli Antoni: PSI Satu-satunya Partai yang Ajukan Uji Materi
Partai Solidaritas Indonesia (PSI) menjadi sorotan usai Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan uji materi terhadap UU MD3.
Penulis: Lailatun Niqmah
Editor: Astini Mega Sari
TRIBUNWOW.COM - Partai Solidaritas Indonesia (PSI) menjadi sorotan usai Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan uji materi terhadap UU MD3.
Diketahui, PSI termasuk dari pihak yang menggugat undang-undang tersebut.
Menanggapi hal ini, Sekretaris Jenderal (Sekjen) PSI Raja Juli Antoni pun buka suara.
Dilansir TribunWow.com, hal tersebut tampak dari laman Twitter @AntoniRaja yang diunggah pada Jumat (29/6/2018).
Raja Juli Antoni mengatakan jika PSI menyebut apabila ini adalah sebuah simbol dari kemenangan rakyat.
• Indikasi Bangkai KM Sinar Bangun Berhasil Ditemukan, Humas BNPB: Evakuasi Diperpanjang
@AntoniRaja: "Kabulkan Uji Materi UU MD3, PSI: ini simbol Kemengan Rakyat.
Raja Juli Antoni juga mengungkapkan apabila PSI merupakan satu-satunya partai yang mengajukan uji materi tersebut."
@AntoniRaja: "PSI satu-satunya partai yang ajukan Uji Materi UU MD3. Catat!"
Lebih lanjut, Raja Juli Antoni meminta agar rakyat tidak lupa jika UU MD3 tidak diuji ulang, maka akan sangat berbahaya.
Lantaran rakyat akan menjadi mudah dikriminalisasi hingga DPR sulit diproses hukum.
Ia pun mengaku bersyukur jika pada akhirnya pasal-pasal tersebut dikabulkan oleh MK.
• Hasil Quick Count KPU 100%, Pasangan Koster-Ace Kantongi 57,62 Persen Suara dan Menang Pilkada Bali
@AntoniRaja: "Jangan lupa, UU MD3 bila tidak di JR sangat berbahaya. Rakyat gampang dikriminalisasi, anggota DPR sulit diproses secara hukum. Alhamdulillah semua pasal itu dihapus MK."
Sebelumnya, Raja Juli Antoni menyatakan jika dikabulkannya uji materi ini bisa dijadikan pembelajaran bagi DPR agar lebih teliti dalam membuat undang-undang.
@AntoniRaja: "Baru saja dapat informasi dari kawan Jangkar Solidaritas, 3 pasal MD3 yang digugat PSI di MK, semuanya dikabulkan Yang Mulia Hakim MK.
Selamat untuk seluruh rakyat Indonesia.
Pelajaran buat DPR agar lebih baik dan teliti buat UU. #PSIGugatMD3."

• Pilih Ridwan Kamil, Guru SD Dipecat, Kang Emil: Saya Sepenuh Hati Bantu Carikan Pekerjaan
Diketahui, sebelumnya sejumlah pihak seperti Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PB PMII), Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK), PSI, hingga perorangan seperti Zico dan Joshua melayangkan gugatan kepada MK terkait pengesahan UU MD3 yang sempat menuai kontroversi.
Dikutip Kompas.com, MK mengabulkan sebagian uji meteri terhadap Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3).
Salah satunya, MK membatalkan kewenangan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) untuk mempidanakan orang yang merendahkan martabat DPR.
"Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian," kata Hakim MK Anwar Usman saat membacakan amar putusan perkara Nomor 16/PUU-XVI/2018, di Gedung MK, Jakarta, Kamis (28/6/2018).
Kewenangan MKD mempidanakan orang yang merendahkan martabat DPR semula diatur dalam pasal 122 huruf l UU MD3.
Pasal tersebut berbunyi: (MKD bertugas) mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR.
• Federico Fazio Sebut Messi dan Argentina Punya Sikap yang Berbeda usai Lolos Babak 16 Besar
MK mengabulkan permohonan pemohon dari Forum Kajian Hukum dan Konstitusi untuk membatalkan ketentuan pasal tersebut karena bertentangan dengan UUD 1945.
"Pasal 122 huruf l, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," kata Anwar Usman.
Dalam pertimbangannya, MK berpendapat, MKD bukanlah alat kelengkapan yang dimaksudkan sebagai tameng DPR untuk mengambil langkah hukum terhadap orang perorangan yang dinilai telah merendahkan martabat DPR atau anggota DPR.
Dengan menempatkan MKD sebagai alat kelengkapan yang akan mengambil langkah hukum terhadap orang perorangan yang dinilai merendahkan martabat DPR, maka hal itu tidak lagi sesuai atau sejalan dengan kedudukan MKD.
"Sekali lagi perlu ditegaskan bahwa MKD adalah lembaga penegak etik terhadap anggota DPR," kata Hakim Konstitusi Saldi Isra membacakan pertimbangan putusan.
MK juga menilai frasa "merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR" bersifat multitafsir.
Frasa tersebut sangat fleksibel untuk dimaknai dalam bentuk apapun.
"Bahkan bila ditelisik rumusan norma tersebut, tidak terdapat penjelasan yang memberikan ukuran dan batasan mengenai ihwal apa saja dari perbuatan atau perkataan yang dapat dikategorikan sebagai telah merendahkan kehormatan DPR," imbuh Saldi Isra.
Pasal kedua yang dikabulkan adalah mengenai imunitas DPR.
Pasal 245 ayat (1) ini akhirnya dikoreksi oleh MK.
Pasal tersebut semula berbunyi: Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR sehubungan dengan terjadinya tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Kehormatan Dewan.
• Sudirman Said Mengaku Timsesnya Ditodong Pistol, Politisi PKPI Teddy Gusnaidi Buka Suara
Namun MK menilai pemeriksaan anggota DPR cukup mendapatkan izin Presiden, tanpa harus melalui pertimbangan dari MKD.
MK pun menghapus frasa 'setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Kehormatan Dewan' sehingga pasal tersebut berbunyi:
"Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden. Dalam pertimbangannya, MK menilai bahwa MKD tidak ada relevansinya dan tidak tepat dilibatkan memberi pertimbangan dalam hal seorang anggota DPR hendak diperiksa penegak hukum."
Ketiga, hal yang dibatalkan adalah mengenai pemanggilan paksa.
Yakni pasal 73 ayat (3), ayat (3), ayat (4), ayat (5) dan ayat (6) UU MD3.
Dalam pasal tersebut, DPR berhak melakukan panggilan paksa setiap orang yang tidak hadir setelah dipanggil tiga kali berturut-turut tanpa alasan yang patut dan sah.
Panggilan paksa ini dilakukan dengan menggunakan kepolisian.
Dijelaskan pula bahwa dalam menjalankan panggilan paksa, kepolisian dapat menyandera setiap orang untuk paling lama 30 hari.
MK mengabulkan permohonan pemohon untuk membatalkan ketentuan soal pemanggilan paksa tersebut.
• Zlatan Ibrahimovic: Siapapun yang Bermain Melawan Swedia Pasti akan Mengalami Kesulitan
"Pasal 73 ayat (3), ayat (4), ayat (5) dan ayat (6) [...] bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," ujar Ketua MK Anwar Usman.
Dalam pertimbangannya, MK berpendapat bahwa pemanggilan paksa dan sandera adalah ranah hukum pidana.
Sementara proses rapat di DPR bukan bagian dari penegakan hukum pidana.
"Kepolisian hanya dapat melakukan panggilan paksa dalam tindakan yang berkaitan dengan proses penegakan hukum dan merupakan bagian dari kewenangannya yang secara genuine memang kepolisian sedang melakukan proses penegakan hukum, bukan dalam konteks menerima kewenangan yang dilimpahkan dari lembaga lain yaitu DPR," ungkap Hakim Suhartoyo.
MK juga menilai kewenangan DPR untuk melakukan pemanggilan paksa bisa menimbulkan kekhawatiran yang berujung pada rasa takut setiap orang.
Selain itu, pemanggilan paksa juga dianggap bisa menjauhkan hubungan DPR dan masyarakat. (TribunWow.com/Lailatun Niqmah)