Bersama Rocky Gerung, Fadli Zon Bicara Mengenai Trilogi Banalitas Intelektual di Bandung
"Mahasiswa hanya mencari kredit nilai, dosen mengejar kredit kepangkatan, dan universitas mengejar ranking", ujar Fadli Zon.
Penulis: Dian Naren
Editor: Dian Naren
TRIBUNWOW.COM - Wakil Ketua DPR RI, Fadli Zon mengisi Seminar Nasional Himpunan Persaudaraan Mahasiswa Islam Sekolah Tinggi Hukum Bandung (STHB), Kamis (24/5/2018).
Selain Fadli Zon, beberapa tokoh lainnya yang juga hadir adalah Rocky Gerung, Ace Suryadi, dan Widiada Gunakarya.
Hal ini ia tuliskan dalam akun twitter pribadi Fadli Zon, @fadlizon.
Dalam kesempatan tersebut, dirinya mengkritisi mengenai trilogi banalitas intelektual.
"Banalitas intelektual ialah situasi yg ditandai oleh pendangkalan pemikiran yg tdk disadari, kemerosotan kualitas intelektual dan akademik.
Ini mnjd persoalan ketika kampus semakin kehilangan kultur kritis, analitis, dan dialektisnya. Kampus kini sepenuhnya telah menjadi fabrikasi sarjana.
Mahasiswa hanya mencari kredit nilai, dosen mengejar kredit kepangkatan, dan universitas mengejar ranking. Kita bisa menyebutnya sbg TRILOGI BANALITAS.
Pendidikan nasional seharusnya mendorong bangsa kita menjadi mandiri dan berdaulat.
Sehingga, jika hari ini kita mendapati bangsa Indonesia masih terkooptasi kepada bangsa asing, baik secara politik, ekonomi, maupun kebudayaan, berarti ada sesuatu yang harus dikoreksi dari cara kita menyelenggarakan pendidikan nasional.
• Sarankan Jokowi, SBY: Kalau Pemerintah Tak Mau Berikan BLT karena Dianggap Salah, Pilih Bentuk Lain
Sesudah Reformasi, terutama sesudah terbitnya UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, desain pendidikan nasional kita terjebak pada mengejar peringkat belaka.
Semuanya kini hanya sibuk mengejar kenaikan peringkat, tapi melupakan esensi pendidikan itu sendiri.
Dosen-dosen perguruan tinggi, misalnya. Isi kepala mereka kini kebanyakan hanyalah memikirkan bgmn caranya agar bisa menulis di jurnal internasional yg terindeks Scopus. Apakah tulisannya itu memiliki relevansi sosial atau tidak?
Jumlah penelitian mungkin semakin banyak, akan tetapi, ada kecinderungan hasilnya kurang begitu terasa jika dilihat dari pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Minimnya kualitas karya dosen itu antara lain disebabkan oleh sindrom formalisme, yang sekedar memenuhi persyaratan administrasi hanya sekedar untuk kepentingan naik pangkat dan jabatan akademik.
Itu semua terjadi krn tuntutan perguruan tinggi tempat mereka bekerja. Dan perguruan tinggi kita memberikan tuntutan itu karena mereka ingin masuk dalam daftar sekian besar perguruan tinggi peringkat dunia.
Masuk dalam daftar peringkat perguruan tinggi terbaik memang bagus. Tapi seharusnya kenaikan peringkat itu tdk dicapai melalui cara instan dan artifisial.
Rencana pemerintah mendatangkan 200 orang dosen asing dengan anggaran Rp300 miliar, misalnya, adalah cara artifisial untuk mendongkrak mutu pendidikan.
• Harga BBM Dikabarkan Naik, SBY: Tak Perlu Unjuk Rasa Besar-besaran Seperti Era Saya Dulu
Itu tak ada bedanya dengan mengatasi krisis pangan melalui impor. Untuk jangka pendek mungkin menolong, tapi itu bukanlah jalan keluar. Cara itu tdk akan memperbaiki mutu dan iklim akademik.
Rapuhnya pendidikan akan berimplikasi serius bukan hanya pada persoalan mental-intelektual, yang termasuk ke dalam aspek individual, melainkan juga secara sosial akan berimplikasi pada rontoknya ikatan kebangsaan.
Maka, pendidikan seharusnya dikembalikan lagi posisinya sebagai strategi kebudayaan. Sebab salah satu lapuknya pendidikan adalah ketika ia dicerabut dri akar kebudayaanny.
Pendidikan adlh bagian konstitutif, jika bukannya integratif, dri kebudayaan. Pemisahan pendidikan dari kebudayaan akan bersifat destruktif bagi keduanya.
Pendidikan bagian dari kebudayaan, bukan sebaliknya. Antara pendidikan, kebangsaan, dan kebudayaan terdapat sebuah mata rantai yang menghubungkan. Hanya saja, ada dua proses yang telah mengaburkan mata rantai tsb.
Makin menguatnya dominasi "ekonomisme" dalam kehidupan kontemporer mengakibatkan berbagai lembaga dan instrumen sosial menjadi lebih ekonomistik.
Proses kedua yang memutuskan ikatan kebangsaan dari pendidikan adalah kian terlipatnya dunia menjadi sebuah desa global. Globalisasi tidak hanya menjadi gejala dalam dunia teknologi informasi, melainkan menjalar ke berbagai bidang sehingga menjadi sebuah kecenderungan umum.
Dua perkembangan tadi, yaitu meruaknya ekonomisme dan mengkisutnya dunia oleh globalisasi, membuat imaji mengenai kebudayaan dan kebangsaan menjadi seolah-olah kabur. Dan kekaburan itu bisa membuat dunia pendidikan kehilangan kompasnya.
• Polisi Sita Akun Twitter & Password Ahmad Dhani, Fadli Zon: Ini Jelas Pembajakan Terhadap Demokrasi
Persoalan banalitas intelekektual dalam dunia pendidikan tinggi mempunyai dampak yg sgt besar. Maka, semangat anti banalitas Intelektual dlm dunia pendidikan scra umum dan dunia pendidikan tinggi scra khusus harus di suarakan mulai dari sekarang", tulisnya. (TribunWow/Dian Naren)