Ramadan dan Idul Fitri 2018
Kisah Nabi Muhammad Mempersilakan Penganut Kristen untuk Melakukan Kebaktian di Masjid Nabawi
Nabi Muhammad ternyata pernah mengizinkan para penganut Kristen untuk melakukan kebaktian di Masjid Nabawi.
Editor: Fachri Sakti Nugroho
Masjid sendiri berasal dari kata sajada-yasjudu-sujud-masjid, yang arti secara harfiahnya ialah tempat bersujud, dan itu artinya tempat menyembah, apapun sesembahannya, yang jelas menurut Abduh, masih dalam koridor ahli kitab seperti Yahudi dan Nasrani dan ahli semi-kitab (penganut agama yang memiliki pegangan yang mirip kitab suci) seperti Majusi, Budha, Hindu, Konghucu dan lain-lain.
Dalam perkembangan selanjutnya, masjid sendiri sering diidentikkan sebagai tempat peribadatan umat Islam dan ketika disebut masjid, benak kita akan segera tertuju kepada masjid yang Islam ini.
Konsekwensinya, kalau kita gunakan secara konsisten pengertian masjid dalam artinya yang Islami ini, jelas akan susah memahami Al-Qur'an dan beberapa hadith Nabi.
Karena ketika menelusuri lebih jauh penggunaan kata masjid/masâjid dalam Al-Qur'an, kita akan menemukan bahwa kata masjid tidak selalu merujuk kepada ‘tempat peribadatan Islam’ melainkan bisa merujuk kepada sinagog, amalan ritual, tempat konspirasi dan lain-lain.
Sebagai misal Masjid dalam arti tempat peribadatan Yahudi atau sinagog, dapat pula kita temukan dengan mudah pada penggunaan kata masjid al-aqsha pada QS. al-Isra: 1 dan penggunaan kata masjidpada QS. al-Isra: 7.
Sedangkan masjid dalam pengertian sebagai amalan ritual terdapat pada QS. al-A’raf: 31.
Masjid dalam pengertian sebagai tempat konspirasi orang-orang munafik dengan Abu Amir ar-Rahib dan kaum Musyrik Quraish untuk menghancurkan umat Islam dari dalam terdapat dalam QS. at-Taubah: 107.
Masjid yang difungsikan sama dengan sinagog, gereja dan biara (yakni sebagai tempat untuk menyembah Tuhan) terdapat QS. al-Hajj: 40.
Dengan pemaknaan yang lebih luas terhadap bentuk plural dari masjid pada ayat ini, Asad menjelaskan, bahwa salah satu prinsip yang paling fundamental dalam Islam ialah prinsip bahwa setiap agama yang memiliki keyakinan terhadap Tuhan sebagai ajaran utamanya harus dihormati dan dihargai meski dilihat secara keyakinan sangat bertentangan.
Karena itu, menurut Asad, setiap muslim diwajibkan menghormati dan menjaga tempat peribadatan agama apapun yang diperuntukkan untuk menyembah Tuhan, baik itu masjid, gereja atau sinagog.
Dan karena itu pula segala usaha untuk mencegah dan menghalang-halangi para penganut agama lain untuk menyembah Tuhan menurut keyakinannya sangat dilarang dan bahkan dikutuk oleh Al-Qur'an sebagai sebuah kezaliman, bahkan dianggap sebagai bentuk kezaliman yang paling besar.
At-Thabari dalam Jâmi al-Bayân fi Tafsîr ayat Min Ayil Qur’ân menafsirkan ayat di atas sebagai ‘Siapa lagi orang yang lebih ingkar kepada Allah dan menyalahi segala aturannya selain dari orang yang menghalang-halangi disebutnya nama-Nya di tempat-tempat peribadatan dan berusaha menghancurkannya.’
Melalui pandangan ini, jelaslah bahwa at-Tabari mengkategorikan orang-orang yang tidak menghargai tempat peribadatan sebagai orang yang paling ingkar terhadap eksistensi Allah.
• Azan Berkumandang, Buka Puasa atau Salat Magrib Terlebih Dahulu?
Kisah yang dikutip dari kitab at-Tabaqat karya Ibnu Sa’ad di atas dan kaitanya dengan QS. al-Baqarah: 114 menunjukan bahwa Nabi menerjemahkan secara langsung semangat Al-Qur'an untuk menghormati segala bentuk tempat peribadatan dalam praksis nyata.
Hal demikian juga semakin dipertegas dengan kenyataan bahwa beliau selalu memerintahkan para sahabat untuk tidak merusak tempat-tempat peribadatan dalam peperangan.