Mahfud MD: Sejak Dulu Ada Saja yang Bilang Demokrasi Sakit, Kapan Pernah Sehat?
Mahfud MD menilai, setiap orang bebas untuk mengatakan apapun tentang kondisi demokrasi.
Penulis: Fachri Sakti Nugroho
Editor: Fachri Sakti Nugroho
TRIBUNWOW.COM - Mahfud MD menilai, setiap orang bebas untuk mengatakan apapun tentang kondisi demokrasi.
Pernyataan tersebut disampaikan oleh Mahfud untuk menanggapi kicauan netizen yang menilai jika demokrasi dibungkam oleh presidential threshold 20 persen.
Netizen bernama @Heru_Catur tersebut beranggapan bahwa partai-partai tengah kesulitan untuk menentukan calon presidennya.
• Tagih Janji Jokowi, Rizal Ramli: Kembalikan Wilayah Udara Indonesia yang Dikendalikan Singapura
Penyebabnya, menurut @Heru_Catur adalah karena adanya aturan presidential threshold 20 persen.
Karena itulah @Heru_Catur menyimpulkan bahwa kondisi demokrasi saat ini semakin sakit.
"Postingan Prof Mahfud sudah tidak relevan dengan kondisi sekarang, faktanya demokrasi dibungkam dengan PT 20% Prof, lihatlah betapa partai2 kesulitan menentukan Capres2 potensial bangsa hanya karena PT 20%.
jadi kesimpulannya Demokrasi sekarang semakin sakit Prof," kicau @Heru_Catur.
• Fadli Zon Beberkan Data: 6,7 Juta Pemilih Terancam Tidak Bisa Mencoblos di Pilkada Serentak
Menanggapi hal tersebut, Mahfud mengatakan bahwa setiap orang memiliki kebebasannya untuk menilai demokrasi, sehat maupun sakit.
Namun, Mahfud mengingatkan, presidential threshold telah menjadi pilihan oleh anggota DPR dan Presiden hasil pilihan rakyat.
Karena itu, presidential threshold telah sah sesuai konstitusi negara.
Mahfud menambahkan, sejak dahulu selalu ada yang mengkritisi kondisi demokrasi dan mengatakan jika sistem tersebut sakit.
Mahfud juga mempertanyakan, sejak kapan demokrasi pernah sehat?
"Di dlm demokrasi, org bebas utk mengatakan bhw demokrasi kita sehat atau demokrasi kita sakit. Tapi DPR dan Presiden hasil pilihan rakyat serta MK sdh menetapkan bhw Presdental threshold 20% itu sdh konstitusional. Sejak dulu ada sj yg bilang demokrasi sakit. Kapan pernah sehat?," kicau Mahfud MD.
Diketahui sebelumnya, beberapa pihak tidak menyepakati adanya presidential threshold. Salah satunya adalah Ketua Umum Partai Bulan Bintang, Yusril Ihza Mahendra.
Yusril akan mengajukan uji materi terhadap Undang-undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, khususnya pasal 222 terkait presidential threshold.
"Tadi saya sudah memberi masukan dan (akan) menguji kembali pasal 222 dari Undang-undang Pemilu. Khusus pilpres, sudahlah jangan pakai 20 persen-20 persen lah," kata Yusril di lokasi Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) PBB di Hotel Menara Peninsula, Jakarta, Jumat (4/5/2018) sebagaimana dilansir dari Kompas.com.
Menurut Yusril, semestinya setiap partai politik peserta pemilu berhak mengajukan capres sebagaimana yang tertulis di UUD 1945.
Ia menambahkan, pencalonan presiden dan wakil presiden nantinya juga akan dibahas di Mukernas PBB.
Menurut Yusril, berdasarkan konstelasi politik sekarang, jika menggunakan ketentuan presidential threshold 20 persen, maka akan berpotensi muncul calon tunggal.
Ia meyakini permohonan uji materi PBB terkait pembatalan presidential threshold akan diterima meskipun sebelumnya Mahkamah Konstitusi (MK) telah menolak permohonan dari Partai Idaman.
Ia pun berkaca pada pemilu serentak yang berkali-kali diuji di MK dan akhirnya diterima.
Ia menambahkan akan mengajukam argumen yag berbeda dengan Partai Idaman.
"Argumennya (kami) memang jelas bebeda. Yang PBB belum pernah diuji oleh MK. Belum pernah diperiksa. Ditolak begitu saja karena memang sebelumnya sudah diputuskan bahwa permohonan Partai Idaman tak dikabulkan," lanjut Yusril.
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi telah menolak uji materi Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Uji materi ini diajukan Partai Idaman yang teregistrasi dengan nomor 53/PUU-XV/2017.
"Menolak permohonan pemohon untuk selain dan selebihnya," kata Ketua Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat saat membacakan putusan di Gedung MK, Jakarta, Selasa (11/1/2018).
Adapun Pasal 222 mengatur ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold.
Partai politik atau gabungan parpol harus memiliki 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional pada Pemilu 2014 lalu untuk bisa mengusung pasangan capres dan cawapres.
Dalam dalil yang diajukan, Partai Idaman antara lain menilai pasal tersebut sudah kedaluwarsa karena menggunakan hasil Pileg 2014 sebagai ambang batas Pilpres 2019.
Partai Idaman juga menilai pasal tersebut tak relevan karena Pileg dan Pilpres 2019 digelar serentak.
Selain itu, Partai Idaman juga menilai pasal tersebut diskriminatif karena menghalangi partai politik baru untuk mengajukan capres.
Namun, dengan ditolaknya uji materi yang diajukan Partai Idaman, ketentuan pasal tersebut tak berubah dan dinyatakan sah.
Dalam pertimbangannya, MK menilai presidential threshold relevan untuk memperkuat sistem presidensial.
Dengan presidential threshold, Presiden yang terpilih nantinya bisa memiliki kekuatan di parlemen.
MK juga menilai Pasal 222 tidak kedaluwarsa karena merupakan UU baru yang disahkan pemerintah dan DPR pada 2017 lalu, bukan UU lama yang digunakan untuk menggelar Pilpres 2014.
MK juga menilai Pasal 222 tidak bersifat diskriminatif.
Meski demikian, MK mengabulkan permohonan Partai Idaman terhadap uji materi Pasal 173 Ayat (1) dan (3) UU Pemilu.
Dengan dikabulkannya permohonan ini, partai lama peserta Pemilu 2014 harus tetap menjalani verifikasi faktual.
"Mengabulkan permohonan untuk sebagian," kata Arief.
Ada dua hakim MK yang mengajukan disssenting opinion atau perbedaan pendapat terkait putusan MK terhadap uji materi Pasal 222, yakni Saldi Isra dan Suhartoyo.
Kedua hakim itu sepakat ketentuan presidential threshold dalam Pasal 222 itu dihapus.
Selain Partai Idaman, ada sejumlah pihak lain yang juga mengajukan uji materi Pasal 222 UU Pemilu.
Mereka adalah Habiburokhman dengan nomor 44/PUU-XV/2017, Effendi Gazali dengan nomor 59/PUU-XV/2
(*)