PT Nyonya Meneer Tak Setorkan Iuran BPJS Seribu Karyawannya yang Mencapai Rp 13 Milliar
Menurut Bimo, PT Nyonya Meneer merupakan perusahaan yang masuk kategori tidak patuh. "Tingkat kepatuhannya sangat rendah," katanya.
Editor: Dian Naren
TRIBUNWOW.COM - Tim kuasa hukum 82 karyawan PT Nyonya Meneer masih terus memperjuangkan hak-hak karyawan yang tidak diberikan oleh perusahaan khususnya BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan.
Hal ini dilatar belakangi oleh 82 orang buruh yang melaporkan Presiden Direktur PT Nyonya Meneer, Charles Saerang ke Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Jateng.
Charles dilaporkan para buruh tersebut atas dugaan penggelapan gaji karyawan.
Gaji karyawan yang harusnya disetorkan untuk iuran BPJS Ketenagakerjaan dan Kesehatan diduga digelapkan Charles.
Kuasa hukum para karyawan PT Nyonya Meneer, Yetty Any Ethika, menuturkan, saat ini pihaknya masih mengupayakam agar Charles mau membayar hak-hak karyawan tersebut.
Menurut Yetty, kliennya saat ini tidak bisa mendapatkan pelayanan kesehatan akibat tidak dibayarnya iuran BPJS Kesehatan itu.
"Untuk BPJS Ketenagakerjaan juga, hak-hak karyawan yang tertera di BPJS Ketenagakerjaan tidak bisa diambil oleh karyawan lantaran uangnya ditilep padahal gajinya sudah dipotong oleh perusahaan," kata Yetty kepada Tribunnews, Selasa (19/12/2017).
BACA Presiden Filipina Rodrigo Duterte Mendukung Pernikahan Sesama Jenis
Yetty menuturkan, selain kliennya, total lebih dari seribu karyawan yang gajinya dipotong namun iuran BPJS tidak dibayarkan.
"Total 1.100 orang lebih lagi, saya memang mewakili 82 karyawan itu namun juga memperjuangkan hak-hak BPJS dari seribuan lebih karyawan yang lain," katanya.
Menurut Yetty, total iuran yang 'ditilep' oleh PT Nyonya Meneer tersebut mencapai Rp 13 milliar lebih.
Yetty menuturkan, iuran BPJS Ketenagajerjaan dan Kesehatan untuk ribuan buruh ini tidak disetorkan sejak 2011.
Sementara gaji yang diterima para buruh tetap dikenakan potongan untuk iuran itu.
Apabila ditotal ribuan buruh yang tidak disetorkan iuran BPJS-nya, kata Yetty, maka total uang iuran yang tidak disetorkan untuk BPJS mencapai Rp 13 miliar.
"Ketenagakerjaan Rp 12 miliar, untuk Kesehatan Rp 1 miliar lebih," katanya.
Laporan pihaknya ke Polda Jateng saat ini telah melewati proses pemeriksaan bukti dan saksi-saksi.
"Sudah diperiksa. Bukti-bukti sudah, pihak PT Nyonya Meneer juga telah dimintai keterangan," katanya.
Yetty berharap Charles selaku Presiden Direktur PT Nyonya Meneer memiliki itikad baik membayarkan hak-hak karyawannya.
Kepala BPJS Kesehatan KCU Semarang, Bimantoro R, membenarkan ada tunggakan iuran dari karyawan PT Nyonya Meneer.
Menurut pria yang akrab disapa Bimo itu, sistem secara otomatis menonaktifkan layanan kesehatan bagi karyawan yang menunggak pembayaran itu.
"Sistem yang menonaktifkan. Jadi apabila ada pembayaran yang terhenti, maka peserta otomatis tidak dapat mendapatkan layanan kesehatan," kata Bimo.
Bimo mengatakan, saat ini pihaknya telah memberikan kuasa khusus kepada Kejaksaan Negeri (Kejari) Semarang untuk menyelesaikan permasalaham tersebut.
"Kami sudah menempuh jalur hukum. Pertama kami sms pihak perusahaan, kedua kami surati baik email dan surat, ketiga kami telepon, keempat kami datangi tapi tetap tidak ada perkembangan. Akhirnya kami tempuh langkah ke lima, tempuh jalur hukum," kata Bimo.
BACA JUGA Penerbit Yudistira Minta Maaf serta Akan Tarik Kembali Buku IPS yang Memuat Yerusalem Ibukota Israel
Menurut Bimo, PT Nyonya Meneer merupakan perusahaan yang masuk kategori tidak patuh.
"Tingkat kepatuhannya sangat rendah," katanya.
Sementara itu kuasa hukum Charles, La Ode Kudus, enggan memberikan komentar terkait laporan para buruh ini.
"Langsung ke Charles saja mas," ujar La Ode Kudus singkat.
Dikabarkan sebelumnya, semenjak berdiri pada tahun 1919, Nyonya Meneer dikabarkan akan pailit.
PT Nyonya Meneer dinyatakan pailit oleh pengadilan, Sabtu (5/18/2017).
Perusahaan jamu yang telah berdiri sejak 1919 itu memiliki utang sampai Rp 89 miliar.
Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional Bambang Brodjonegoro memaparkan, bangkrutnya Nyonya Meneer akibat persaingan dengan perusahaan lain. (*)