Wartawan Asing Kaget, Makan di Indonesia Bayar Pakai Sampah
Wartawan asing kaget, mengetahui bahwa untuk makan, seseorang bisa membayar dengan sampah, bukan uang.
Penulis: Lailatun Niqmah
Editor: Lailatun Niqmah
TRIBUNWOW.COM - Wartawan asing kaget, mengetahui bahwa untuk makan, seseorang bisa membayar dengan sampah, bukan uang.
Beberapa media asing menganggap hal itu sangat luar biasa, mereka kemudian mendatangi tempat tersebut untuk membuktikannya, seperti Channel News Asia, dan NHK Wolrd.
Dilansir dari odditycentral.com, tempat makan tersebut berada di TPA Jatibarang, Semarang, Jawa Tengah.
Warung tersebut dikelola oleh sepasang suami istri, Sarimin dan Suyatmi, yang memiliki misi untuk mendukung warga setempat yang terjebak dalam kemiskinan.
Apa yang membuat restoran itu tidak biasa, selain dari lokasinya, adalah tidak ada uang tunai yang diperlukan untuk membayar makanan.
Mereka melihat banyak orang-orang miskin disekitarnya dengan penghasilan kurang dari 350 ribu sebulan.
Hal itulah yang membuat mereka bernisiatif untuk meminta sampah sebagai alat pembayaran di warungnya.
Sebelum memulai membuka tempat makan, pasangan pemilik Warung Gas Metana ini, selama 40 tahun telah menjadi pemulung di TPA tersebut.
Di warung tersebut, pemulung miskin memiliki pilihan untuk membayar makanan mereka dengan limbah daur ulang dan bukan uang.
Sarimin, meminta sampah plastik sebagai ganti makanan, ia menghitung nilai makanan yang dihabiskan, dan apabila plastik yang diberikan dinilainya lebih, maka ia akan memberikan kembalian uang pada pembeli.
Skema ini merupakan bagian dari solusi masyarakat untuk mengurangi limbah di tempat pembuangan akhir dan mendaur ulang plastik yang tidak dapat terdegradasi.
"Saya pikir kita mendaur ulang 1 ton sampah plastik sehari, itu sangat banyak. Dengan cara ini, sampah plastik tidak menumpuk, mengalir ke sungai dan menyebabkan banjir, ini tidak hanya menguntungkan para pemulung, tapi juga bermanfaat bagi semua orang, " kata Sarimin dalam sebuah wawancara dengan Channel News Asia.
Warung tersebut menyediakan tempat duduk bagi 30 orang, dan menyajikan makanan dengan biaya sekitar 5-10 ribu rupiah.
Menu yang ditawarkan juga beragam, seperti nasi, mangut lele, sayuran, telur, dan beberapa menu tradisional lainnya.
Sejak membuka warung tersebut, Sarimin dan Suyatmi mengaku mereka mendapatkan hasil dua kali lipat dibandingkan saat mereka hanya mengandalkan pemulungan.
Agus Junaedi, mantan pengelola TPA Jatibarang, mengemukakan gagasan untuk warung tersebut pada tahun 2014, saat walikota Semarang Hendrar Prihadi menugaskannya untuk mengurangi jumlah sampah plastik di tempat pembuangan akhir.
40% dari 800 ton limbah yang ditambahkan ke tempat pembuangan akhir sehari-hari adalah plastik, yang tidak dapat terurai.
Menurut Junaedi, dengan harga plastik yang murah saat itu, tidak ada orang yang mau mengumpulkan sampah plastik.
"Tentu, tidak ada yang mau mengumpulkan sampah plastik. Jadi, kami pikir, kenapa kita tidak menyuruh para pemulung untuk membayar makanannya dengan sampah plastik," kata Junaidi pada Channel News Asia.
Selain itu, setelah kebakaran pada tahun 2014 menghancurkan hampir 10 hektar lahan, Junaedi menyadari bahwa gas metana di TPA dapat dimanfaatkan sebagai komoditas yang berharga.
Sekarang tersedia untuk digunakan secara gratis bagi penduduk sekitar Jatibarang, dan juga di Warung Gas Metana.
"Kami ingin mengubah pola pikir, untuk melihat sampah sebagai komoditas yang bermanfaat. Mudah-mudahan, orang akan mulai mendaur ulangnya dan mengurangi jumlah sampah yang masuk ke tempat pembuangan sampah setiap hari," lanjut Junaedi.
"Saya senang melihat pelanggan menikmati makanan mereka, orang miskin juga harus memiliki hak untuk menikmati makanan sehat. Saya ingin memberi mereka kesempatan itu sebanyak mungkin," kata Sarimin kepada NHK World.