Prihatin Nasib Lembaga Informal, Pria Ini Kirim Surat Terbuka untuk Jokowi Kritik Full Day School
Pria ini memohon solusi yang bisa diberikan oleh Jokowi terkait keresahan dan kekhawatiran para penggiat sekolah non-formal tersebut.
Penulis: Natalia Bulan Retno Palupi
Editor: Tinwarotul Fatonah
TRIBUNWOW.COM - Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mewacanakan kebijakan lima hari sekolah dalam sepekan dan menjadikan hari Sabtu sebagai hari libur, baik untuk guru maupun siswa.
Melansir dari Tribunnews.com, kebijakan yang dinilai efektif bagi kegiatan belajar mengajar ini diungkapkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Muhadjir Effendy.
Wacana sekolah selama lima hari tersebut sudah bergulir beberapa bulan terakhir.
Dikatakan, dengan 40 jam belajar dalam sepekan akan membuat anak belajar lebih efektif dan memberikan waktu lebih banyak dengan keluarga.
Rencananya kebijakan ini akan diberlakukan pada tahun ajaran baru pada Juli 2017 yang dilakukan secara bertahap.
Full Day School Jadi Momok Bagi Lembaga Pendidikan Agama
Diketahui kini sudah ada 8 ribu sekolah yang siap menjalankan kebijakan lima hari sekolah.
Namun, kebijakan tersebut kini menjadi polemik dan menuai pro kontra dari masyarakat hingga lembaga.
Diketahui Majelis Ulama Indonesia (MUI) merasa keberatan dengan kebijakan tersebut, sementara fraksi Partai Persatuan Pembangunan DPR (PPP) menolaknya.
Melansir dari Tribunnews.com, pihak MUI meminta Mendikbud untuk mengkaji ulang kebijakan tersebut.

Wakil Ketua Umum MUI, KH Zainut Tauhdi Sa'adi menyatakan bahwa kebijakan tersebut dapat berpengaruh pada praktik penyelenggaraan pendidikan keagamaan yang dikelola swadaya masyarakat, seperti misalnya di Madrasah Diniyah dan pesantren.
Hal itu ia ungkapkan dalam keterangan pers yang digelar pada, Minggu (11/6/2017).
Zainut menjelaskan bahwa biasanya kegiatan keagamaan dimulai setelah pelajar pulang dari sekolah umum seperti SD, SMP, dan SMA.
Sehingga, menurutnya, kebijakan sekolah lima hari dalam sepekan yang berlaku 8 jam pelajaran selama sehari dikhawatirkan akan membuat pendidikan model madrasah gulung tikar.
Sementara, berdasarkan berita Tribunnews.com, fraksi PPP DPR menolak kebijakan ini karena belum dilakukan kajian yang mendalam atas dampak penerapan baik untuk siswa, guru, maupun kesiapan sekolah.
Surat Cinta Kepala Sekolah SD di Bantul Yogyakarta Ini Viral
Kebijakan tersebut juga berpotensi berbenturan dengan eksistensi lembaga pendidikan non formal seperti madrasah diniyah (madin) yang telah eksis bersama kehidupan masyarakat Islam Indonesia.
Setelah dua lembaga ini bereaksi keras dengan kebijakan baru Mendikbud, kini muncul surat terbuka dari M Rikza Chamami, seorang pengasuh Pondok Pesantren Al Firdaus YPMI yang berlokasi di Jalan Ngaliyan, Semarang, Jawa Tengah, terkait hal yang sama.
Surat terbuka yang mengkritik kebijakan lima hari sekolah dalam sepekan tersebut ditujukan untuk Presiden RI Joko Widodo dan ditulis pada, Rabu (14/6/2017).
Dalam suratnya tersebut, sang penulis memperkenalkan dirinya sebagai santri mbeling dan tulisannya diberi tajuk 'Surat Terbuka Santri Mbeling Tabayun Full Day School Kagem Pak Jokowi'.
Ia mengungkapkan ketakutannya sekolah non formal seperti pondok pesantren, madrasah diniyah terancam tutup dengan adanya kebijakan lima hari sekolah ini.
Tak hanya itu, ia juga menjabarkan data-data angka perihal pendidikan non-formal dan siswa-siswinya yang sudah tersebar di seluruh Indonesia ini dan mengkhawatirkan nasibnya di masa depan saat kebijakan baru itu berlaku.
Maka dari itu, melalui surat terbukanya ini, M Rikza Chamami ini juga memohon solusi yang bisa diberikan oleh Jokowi terkait keresahan dan kekhawatiran para penggiat sekolah non-formal tersebut.
Setelah Bikin Video Sekolah Gak Guna Kini Deddy Corbuzier Ajarkan Melawan Orang Tua!
Simak surat terbuka itu selengkapnya!
"Surat Terbuka Santri Mbeling Tabayun Full Day School Kagem Pak Jokowi
Semarang, 14 Juni 2017
Kepada yang terhormat
Bapak H Joko Widodo
Presiden Republik Indonesia
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh
Sugeng enjang Pak Presiden, semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmat, hidayah, taufiq dan i'anah dalam menjalankan tugas-tugas kenegaraan di bulan suci Ramadan ini.
Sebagai seorang santri, pertengahan Ramadan diyakini sebagai hari-hari mulia mendapatkan maghfirah Allah. Maka perkenankan saya menyampaikan surat terbuka ini dengan tetap mengharap maghfirah tanpa hoax.
Begini Bapak. Setelah Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2017 Tentang Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 Tentang Guru diterbitkan. Disusul dengan Permendikbud Nomor 23 Tahun 2017 tentang Hari Sekolah disahkan, maka terjadi banyak respon kaum santri Nusantara terkait full day school yang dikemas dengan sekolah lima hari (SLH).
Problemnya sangat sederhana. Yakni masih belum ada tabayun nasional teknis detail dari pelaksanaan SLH di tingkat teknis. Sehingga muncul kecemasan massif soal nasib lembaga pendidikan non formal dan informal yang diindikasikan akan tidak mendapatkan porsi (atau bahkan terancam tutup).
Kita sangat merasa eman-eman, gelombang Islamophobia semacam ini akan dijadikan pintu masuk serta menjadi ancaman kaum santri. Dan hanya Pak Jokowi yang bisa mencarikan solusi terbaik soal kebijakan baru SLH ini.
Pak Presiden sudah sangat kita pahami sebagai "Presiden Santri" karena sangat dekat dengan para Ulama Sejati dan sudah memberi hadiah Hari Santri untuk Indonesia. Maka sekali lagi Pak Presiden, kita ajak untuk memikirkan nasib dunia santri yang jelas-jelas menjadi kekuatan nasionalisme bagi NKRI.
Pripun mangke nasibipun lembaga-lembaga meniko Pak Presiden? (bagaimana nanti nasib lembaga-lembaga tersebut Pak Presiden?)
1. Pondok Pesantren: 13.904 lembaga, 3.201.582 santri, dan 322.328 ustadz;
2. Madrasah Diniyah Takmiliyah: 76.566 lembaga, 6.000.062 santri, dan 443.842 ustadz;
3. Pendidikan Al Qur'an (TKA, TPA, TQA): 134.860 lembaga, 7.356.830 santri, 620.256 ustadz.
Total: 225.330 lembaga, 16.558.44 santri, dan 1.386.426 ustad.
Giat restorasi pendidikan karakter dan revolusi mental yang sudah menjadi komitmen Kabinet Kerja sangat saya apreseasi, namun jika kebijakan itu masih membuat gap pada dunia pendidikan kaum santri, maka tugas kita bersama adalah mencari solusi yang terbaik.
Di akhir surat ini, saya mengharap dengan penuh hormat pada Pak Presiden untuk:
1. Membuat tabayun full day school berbasis SLH secara detail agar tidak menjadikan salah paham;
2. Membuat solusi terbaik agar SLH sama sekali bukan menjadi "virus pembunuh" bagi lembaga pendidikan santri;
3. Membuat kebijakan nasional pendidikan sesuai dengan nawacita yang menguntungkan semua pihak (tanpa kecuali) dalam rangka mencerdaskan bangsa;
4. Membatalkan SLH jika memang menjadi masalah serius dunia pendidikan Islam.
Demikian surat terbuka ini kami sampaikan.
Atas segala khilaf, saya mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Wallah al muafaq 'ila 'akum altariq wassalamalaikum warahmatallahi wabarakatuh
Hormat saya,
M. Rikza Chamami
Pengasuh Pondok Pesantren Al Firdaus YPMI Ngaliyan Semarang." (TribunWow.com/Natalia Bulan Retno Palupi)