Hari Kartini
Tak Seperti yang Kita Pikirkan, Ini Jawaban Kartini Kecil ketika Ditanya Cita-citanya
Untuk tahu jawabannya, ada baiknya kita membaca surat Kartini kepada Nyonya Abendanon yang dikirim pada Agustus 1900.
Editor: Mohamad Yoenus
Pertanyaan itu membuatnya gelisah, tak henti-hentinya ia mendengar suatu dengung dalam telinganya: ‘Kamu kelak ingin jadi apa?’ Ia berpikir dan merenungkan sampai kepalanya yang kecil itu menjadi lelah.
Hari itu ia mendapat banyak hukuman pekerjaan di sekolah; pikirannya kacau sekali, kalau ditanya jawabannya sama sekali yang bukan-bukan dan dalam pekerjaannya ia membuat kesalahan-kesalahan yang paling bodoh.
Itu sangat wajar, sebab pikirannya tidak pada pelajarannya, tetapi pada apa yang didengarnya waktu istirahat tadi.
Pertama-tama yang dilakukannya ketika pulang ialah menemui ayahnya dan menanyakan masalah yang mengganggu perasaan hati itu: ‘Akan jadi apakah saya kelak?’
Ayahnya tidak mengatakan sesuatu apa pun, ia hanya tertawa dan mencubit pipinya. Tetapi anak perempuan itu tidak mau pergi dan tetap merengek-rengek minta jawaban.
Kakaknya yang mendengar pertanyaannya datang mendekati dan telinganya yang gemar sekali mendengarkan menangkap kata-kata ini: ‘Harus jadi apakah gadis-gadis? Yah, jadi Raden Ayu, tentu saja!’
Anak itu puas dan lari kegirangan.
‘Raden Ayu,’ diulang-ulangnya beberapa kali pada dirinya sendiri—‘Apakah Raden Ayu itu?’
Pikiran baru itu membuatnya tidak tenang, terus-menerus ia memikirkan dua kata itu: ‘Raden Ayu’. Ia kelak harus jadi Raden Ayu; ia memandang ke sekelilingnya, melihat dan berhubungan dengan berbagai Raden Ayu, yang diperhatikan dan dipelajarinya sejak dulu.
Dan apa yang diketahui anak tersebut dari kehidupan perempuan-perempuan itu membangunkan jiwa dalam hatinya untuk memberontak terhadap ke-Raden Ayu-an; adat yang berabad-abad selalu dijunjung tinggi; gadis-gadis harus kawin, harus menjadi milik orang laki-laki, tanpa bertanya apa, siapa, dan bagaimana!’.."
Itulah penggalan salah satu surat Kartini kepada Nyonya Abendanon.
Sebagai Bumiputra yang masih awam, dan hidup dan tradisi patriarki yang kuat, ia hanya hanya manut pada apa yang dikatakan kakaknya untuk jadi Raden Ayu—meski akhirnya ia melawan.(Intisari/Moh Habib Asyhad)