Hentikan 'Bencana' yang Menimpa Terumbu Karang sama dengan Selamatkan Bumi
Great Barrier Reef yang merupakan tempat hidup terumbu karang paling besar di dunia terancam rusak dan mati.
Penulis: Ika Alya Iqlima Ghaisani
Editor: Maya Nirmala Tyas Lalita
TRIBUNWOW.COM - Great Barrier Reef yang merupakan tempat hidup terumbu karang paling besar di dunia terancam rusak dan mati.
Pada tahun 2016 lalu, terjadi fenomena 'bleaching' yang mengakibatkan banyak terumbu karang kehilangan warna dan corak mereka.
Baca: Menteri Susi Pudjiastuti Marah Terumbu Karang di Raja Ampat Dirusak Kapal Pesiar Berbendera Bahama
Bencana itu menyerang daerah yang masih asli di bagian utara.
Pada tahun 2017 ini, terjadi bencana serupa.
Laporan terakhir menyebut bahwa menghentikan global warming atau pemanasan global adalah satu-satunya cara untuk menyelamatkan keindahan bawah laut.
Dilansir oleh Mashable.com, penelitian yang di publikasikan di Nature mengamati bahayanya bencana 'bleaching' pada terumbu karang sepanjang 2.300 kilometer pada tahun 2016.
Bencana 'bleaching' ini jauh lebih bahaya daripada yang terjadi di tahun 1998 dan 2002.
Survey dari udara menunjukkan 1.100 terumbu karang di sepanjang area tersebut terancam mati karena suhu air yang terlampau tinggi karena El Nino tahun 2015-2016, ditambah dengan pemanasan global.

Hasil penelitian itu menunjukkan bahwa hampir 50 persen terumbu karang masuk dalam kategori ekstrem.
Hal ini berarti hanya 8,9 persen saja terumbu karang yang masih bertahan di tahun 2016 lalu.
Tanpa mengurangi karbon, kita semua tidak memberi kesempatan untuk para terumbu karang ini melawan bencana 'bleaching'.
Padahal, butuh waktu 15 tahun untuk memperbaikinya.
"Takkan ada waktu untuk memperbaikinya. Jika kita ingin segera memperbaiki ini, maka kita harus segera menggunakan ekonomi bebas emisi. Saat suhu di bumi mulai stabil, saat itulah terumbu karang bisa kembali beradaptasi," ungkap Sean Connoly, Profesor di Arc Centre of Excellence for Coral Reef Studies.

Robert H. Richmond, Profesor dari University of Hawaii Kewalo Marine Laboratory yang tidak terlibat dalam laporan ini mengatakan bahwa hasil penelitiannya memang tidak mengejutkan.