Opini
Ya Allah, Tuhan YME, Kenapa Pers Kami Kacau Begini
Apakah verifikasi yang dilakukan dewan pers keliru? Saya kira tidak. Pers Indonesia memang sedang kacau dan harus segera ditertibkan.
Editor: Mohamad Yoenus
Cukup minimal mengantongi izin Persekutuan Komanditer atau Commanditaire Vennootschap (CV), maka siapapun bisa mendirikan dan kemudian mengelola perusahaan media.
Tak perlu repot-repot menyusun data-data administratif karyawan. Tak perlu punya mesin cetak sendiri. Cukup kumpulkan dua tiga orang untuk dijadikan wartawan, dua tiga orang untuk ditugaskan mengurus administrasi dan keuangan, dua tiga orang loper, dan beberapa perangkat komputer, tempatkan di satu ruangan seadanya.
Kantor tak perlu besar. Satu kamar kontrakan sudah cukup. Bahkan kalau perlu tidak usah pakai kantor sama sekali. Lalu cetak kartu pers dan terbitkan produk sesuai kekuatan modal. Bisa harian, bisa mingguan, bisa dua mingguan, bisa bulanan, bisa juga dua tahun sekali: menjelang Hari Raya dan menjelang Tahun Baru.
Di era digital perkembangan media semakin pesat. Media-media dalam jaringan (online) bermunculan. Banyak sekali.
Satu kecenderungan yang bisa dimaklumi mengingat mendirikan media dalam jaringan jauh lebih mudah ketimbang media cetak. Cukup beli hosting dan domain. Harganya murah. Bahkan ada yang gratisan.
Namun kuantitas yang meroket, konon hampir mencapai angka 400 ribu, ternyata tidak berbanding lurus dengan kualitas yang justru makin merosot. Mengapa?
Sebagian media dalam jaringan dijalankan dengan melabrak asas-asas jurnalistik. Berita ditayangkan tanpa konfirmasi sama sekali pada narasumber. Bahkan tanpa memerdulikan elemen dasar 5W1H.
Bahkan ada yang lebih kurang ajar. Bukan sekadar tak punya malu menyajikan berita salin tempel dari media lain, lebih jauh mereka mengganti kalimat-kalimat di dalam berita itu, juga mengganti judulnya, sesuai dengan opini atau kesimpulannya sendiri.
Belum cukup, berita sampah semacam ini mereka sebar pula tautannya di media-media sosial, lewat perantara akun-akun robot.
Media-media kurang ajar seperti ini tentu saja sangat meresahkan. Selain sulit dituntut pertanggungjawabannya lantaran tidak memiliki susunan redaksi yang valid dan sahih, alamat redaksi mereka juga rata-rata palsu.
Ada yang beralamat di Jogja, di Jakarta, di Surabaya, di Bandung, di Medan, padahal seluruh operasional dijalankan dari tempat lain. Kadang-kadang bahkan hanya oleh satu dua orang.
Gawatnya, masih saja ada orang yang percaya. Termasuk orang-orang yang secara logika, antara lain berdasarkan tingkat pendidikan dan pekerjaan, rasa-rasanya tidak mungkin memercayainya.
Cobalah periksa halaman media sosial Anda. Entah Facebook entah Twitter. Sesekali, cobalah hitung berapa banyak kawan Anda yang bukan cuma percaya, akan tetapi juga ikut menyebarkan berita-berita acak-kadut dari media-media kurang ajar itu. Barangkali Anda akan merasa sangat terkejut.
Atas dasar inilah, saya kira, Dewan Pers bergerak melakukan penertiban. Keamburadulan dan kekacauan harus segera diakhiri sebelum mengakibatkan kehancuran intelektual yang jauh lebih parah.
Persoalannya, apakah verifikasi, yang lantas ditindaklanjuti dengan pemberian barcode, merupakan cara penertiban yang paling efektif? Atau mungkin pertanyaan ini bisa diganti.