Lebaran 2025

Hukum Menukar Uang Baru yang Ditambah Bayar Jasa hingga 10 Persen, Apakah Termasuk Riba?

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

PENUKARAN UANG BARU - (Foto Arsip) Warga memperlihatkan pecahan uang rupiah kertas baru usai menukar pada mobil kas keliling Bank Indonesia (BI) di halaman Mal Pelayanan Publik Kota Bandung, Jalan Cianjur, Kota Bandung, Jawa Barat, Kamis (21/3/2024).

TRIBUNWOW.COM - Menukar uang baru menjadi kebiasaan orang Indonesia jelang lebaran.

Namun, penukaran uang baru kerap dijadikan lahan mencari keuntungan.

Biasanya menukar uang resmi di bank akan diberikan jumlah yang sesuai dengan yang ditukar.

Sementara banyak uang baru yang dicalokan sehingga jumlahnya ditambah dengan bayar jasa.

Baca juga: Penukaran Uang Baru Tanggal 23 Maret via PINTAR BI, Cek Syarat & Ketentuan agar Tak Kehabisan Kuota

Jika ditilik dari syariat Islam, proses perdagangan uang tersebut masih sering menjadi perdebatan.

Meskipun, MUI (Majelis Ulama Indonesia) melalui Dewan Syariah Nasional (DSN) sudah memberikan fatwa nomor 28/DSN-MUI/III/2002 tentang Jual Beli Mata Uang (Al-Sharf).

Yang jadi pertimbangannya bahwa 'urf tijari (tradisi perdagangan) transaksi jual-beli mata uang dikenal beberapa bentuk transaksi yang status hukumnya dalam pandang ajaran Islam berbeda antara satu bentuk dengan bentuk lain.

Dengan syarat harus memenuhi beberapa ketentuan berikut;

  1. Pertama, tidak untuk spekulasi (untung-untungan)
  2. Kedua, ada kebutuhan transaksi atau untuk berjaga-jaga (simpanan)
  3. Ketiga, apabila transaksi dilakukan terhadap mata uang sejenis maka nilainya harus sama dan secara tunai (attaqabudh)
  4. Keempat, apabila berlainan jenis maka harus dilakukan dengan nilai tukar (kurs) yang berlaku pada saat transaksi dilakukan dan secara tunai.

Baca juga: Penukaran Uang Baru Tanggal 23 Maret via PINTAR BI, Cek Syarat & Ketentuan agar Tak Kehabisan Kuota

Arin Setyowati Dosen Perbankan Syariah Fakultas Agama Islam (FAI) UM Surabaya menyebut, dalam konteks persoalan penukaran uang dengan uang sejenis, maka jika dalam penukaran uang tidak ada penambahan uang yang dibayarkan atas pecahan uang baru yang akan ditukar, maupun tidak ada pengurangan jumlah uang pecahan baru yang diberikan kepada si penukar. maka hukumnya boleh.

“Tapi, jika dalam penukaran uang tersebut ada perbedaan jumlah yang diterima atau diberikan oleh kedua belah pihak dalam mata uang yang sama dalam keadaan tunai, maka hukumnya haram dan termasuk kategori praktik riba dalam keadaan tunai. Yakni kategori Riba Fadhl,”ujar Arin Senin (10/4/2023)

Ia mencontohkan, Si A menyerahkan uang satu juta rupiah untuk ditukarkan dengan pecahan uang baru senilai satu juta rupiah. Namun uang yang diterima hanya 970 ribu rupiah saja.

Namun, jika uang yang ditukarkan tidak sama maka kembali pada prinsip hukum asalnya yakni diperbolehkan, sebagaimana ketentuan umum di awal poin keempat.

“Misal menukarkan uang Rupiah dengan dollar, maka transaksinya dilakukan dengan nilai tukar (kurs) yang berlaku saat transaksi dilakukan dan secara tunai. Mengingat bahwa pertukaran tersebut terjadi antara komoditas dengan alat pembayar,”pungkas Arin. (*)

Artikel ini telah tayang di UM Surabaya dengan judul "Hukum Penukaran Uang, Apakah Termasuk Riba? Berikut Penjelasan Dosen UM Surabaya."