TRIBUNWOW.COM - Bocah SMP ketahuan melakukan aksi pelecehan pada temannya yang juga sesama jenis.
Kini, kasus dugaan sodomi bocah SMP itu berakhir damai dan tak ada kelanjutan kasus.
Menanggapi hal itu, Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) menilai jalur damai tak tepat.
Pasalnya, anak terduga pelaku dan korban tak mendapat pendampingan psikologis.
Baca juga: Pelaku Pencabulan Pakai Wig & Daster untuk Hubungan Badan dengan Remaja Pria, Kerap Kirim Video Syur
Pasalnya pendampingan psikologis terhadap anak yang menjadi pelaku dan korban merupakan hal mutlak dalam setiap kasus kekerasan seksual melibatkan anak-anak.
Dewan Pengurus Pusat Bidang Edukasi, Sosialisasi dan Hak Anak Komnas PA, Lia Latifah mengatakan pendampingan ini untuk mencegah pelaku berbuat serupa dan pemulihan trauma korban.
"Salah. Ketika ada kejadian kekerasan seksual terhadap anak, apakah sodomi atau pemerkosaan itu tidak boleh diselesaikan secara kekeluargaan," kata Lia, Kamis (18/7/2024).
Bagi pelaku pendampingan psikologis perlu untuk mengetahui apa yang memicunya melakukan kekerasan, sudah berapa kali melakukan, di mana dilakukan, dan siapa saja korbannya.
Terlebih berdasar keterangan warga, dalam kasus ini pelaku diduga sudah lebih dari satu kali melakukan tindak sodomi kepada sejumlah anak pada RPTRA dan Edufarm di Jakarta Timur.
Baca juga: Nasib Korban Pencabulan yang Kenal di Instagram, Lahirkan Bayi Prematur hingga Dilarang Bersekolah
Sehingga Komnas PA menilai tidak tepat bila kasus diselesaikan secara kekeluargaan karena pertimbangan bahwa kasus tersebut aib bagi keluarga dan lingkungan setempat.
"Ini kan diduga anak SMP pelakunya, apalagi sudah remaja. Sudah akhir balik, artinya ada hasrat seksual anak tersebut yang sudah disalurkan tetapi dengan cara yang salah," ujarnya.
Lia menuturkan bila pihak keluarga korban tidak ingin melaporkan kasus ke pihak kepolisian tapi anak pelaku dan korban tetap harus mendapatkan pendampingan psikologis.
Dalam hal ini Pemerintah Administrasi Kota Jakarta Timur lah yang harus pro aktif untuk menjangkau, lalu memberikan pendampingan psikologis terhadap anak pelaku dan korban.
Baca juga: Korban Pencabulan Lahirkan Anak di Usia 8 Bulan, Pengacara Ungkap Penyebabnya Termasuk dari PPPA DKI
Komnas PA menyebut jika kasus selesai secara damai tanpa ada pendampingan psikologis maka di masa mendatang anak pelaku berisiko melakukan kekerasan seksual serupa.
"Kalau memang tidak mau melapor ke kepolisian tapi minimal anak-anak tersebut ada pendampingan. Supaya tidak ada lagi korban di lingkungan yang menjadi korban sodomi si pelaku tadi," tuturnya.
Komnas PA menyatakan anak yang menjadi korban ataupun melihat kejadian pun patut mendapatkan pendampingan psikologis untuk memulihkan trauma akibat kejadian.
Dikhawatirkan jika korban dugaan sodomi tidak mendapat pendampingan maka di masa mendatang dia justru akan menjadi pelaku kekerasan terhadap anak, hal ini yang perlu dicegah.
Terlebih, Lia mengatakan sudah banyak kasus anak yang menjadi korban kekerasan ketika tumbuh dewasa justru berubah menjadi pelaku karena pengaruh trauma dialami.
Dia mencontohkan kasus anak korban kekerasan seksual pada tahun 2014 di Jawa Barat, setelah tujuh tahun berlalu ketika sudah dewasa korban justru menjadi pelaku sodom terhadap anak.
"Ini yang kami khawatirkan. Dan ini bukan hanya terjadi satu kali, sudah beberapa kali ketika anak yang menjadi korban sodomi, tidak didampingi secara tuntas anak-anak itu berpotensi menjadi pelaku," lanjut Lia.
Persoalannya banyak masyarakat yang justru menganggap ketika seorang anak melakukan kekerasan terhadap sesama anak maka masalah selesai dengan perdamaian keluarga.
Mata rantai kekerasan terhadap anak tidak diputus lewat penanganan yang tepat, penyelesaian dilakukan hanya tindakan semu yang tidak memperhatikan nasib anak pelaku dan korban.
Lia menuturkan perdamaian di kasus kekerasan anak bukan lewat penyelesaian secara kekeluargaan, tapi memastikan pelaku tak mengulangi perbuatan dan korban tidak menjadi pelaku.
"Perdamaian dilakukan adalah bagaimana menadampingi si pelaku anak, bagaimana mendampingi si korban tadi supaya dia bisa selesai. Dia tidak melakukan terhadap korban lain," sambung Lia.
Sebelumnya, seorang anak SMP berusia sekitar 13 tahun diduga menyodomi bocah SD pada satu Edufarm atau lahan pertanian untuk program ketahanan pangan Pemkot Jakarta Timur.
Warga sekitar, Asih mengatakan tindak sodomi tersebut pertama diketahui saat sejumlah anak-anak yang sedang bermain di Edufarm mendapati korban disodomi pada Senin (15/7/2024).
"Ketahuan sama anak-anak juga yang lagi main di lokasi, waktu itu korban sudah nggak pakai celana. Kejadiannya malam, habis Magrib," kata Asih.
Sebelum kasus di Edufarm terungkap, Asih menuturkan pelaku diduga juga pernah melakukan aksi sodomi serupa pada RPTRA yang masih berada pada kawasan sama.
Pasalnya beberapa waktu sebelum kejadian warga pernah mendapati seorang anak laki-laki lain berusia sekitar 4 tahun keluar dari RPTRA dalam keadaan menangis dan celana terbuka.
Hanya saja kasus tindak sodomi tidak berlanjut di ranah pidana, karena usai kejadian pihak keluarga korban sepakat tidak menempuh jalur hukum atas kasus menimpa anaknya.
Kepala Unit PPA Satreskrim Polres Metro Jakarta Timur, AKP Sri Yatmini mengatakan kasus tidak dilaporkan karena pertimbangan antara korban dan pelaku sama-sama berusia anak.
"Kita sudah cek ke TKP, bahwa keterangan pak RT para pihak (keluarga) yang minta dimediasi. Karena masih anak-anak balita, masih kecil-kecil main di taman itu," kata Sri saat dikonfirmasi. (*)
Artikel ini telah tayang di TribunJakarta.com dengan judul "Komnas PA: Damai Bukan Solusi Kasus Dugaan Sodomi Anak di RPTRA dan Edufarm Jakarta Timur."