Terkini Daerah

5 Fakta Tornado Pertama di Indonesia, Beda dengan Puting Beliung hingga Berada di Daerah Angin Mati

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Sejumlah bangunan hancur diterjang angin berkekuatan besar di Jatinangor, Jawa Barat, Rabu (21/2/2024)

TRIBUNWOW.COM - Wilayah Bandung, Sumedang, Jawa Barat dilanda angin kencang yang diklaim sebagai tornado pertama di Indonesia, Rabu (21/2/2024).

Pemberitaan itu pun heboh di media sosial karena video saat angin berhembus banyak membuat kerusakan.

Peneliti BRIN pakar Klimatologi Dr Erma Yulihastini mengatakan angin yang terjadi itu adalah tornado pertama di Indonesia dan bukan lagi puting beliung.

Berikut ini sejumlah fakta pernyataan tornado pertama yang terjadi di Indonesia.

Baca juga: Penampakan Qatar Dilanda Tornado dan Hujan Es Jelang Laga Inggris Vs Prancis Sabtu Mendatang

- Bisa Terjadi di Indonesia

Dikutip dari Tribun Jogja, secara ilmu, tornado tak akan mungkin terjadi di wilayah Indonesia.

Pasalnya Indonesia berdekatan dengan garis khatulistiwa dan tidak memunculkan efek corolis.

Indonesia berada di area doldrum, yaitu area yang disubut juga daerah angin mati.

Daerah ini merupakan tempat udara panas selalu naik dan agak jarang angin.

Sehingga, karena tidak ada efek coriolis, uap air di udara dan suhu udara yang panas tidak bisa membentuk siklon tropis.

Ini membuat Indonesia bebas dari badai tropis atau siklon tropis.

Baca juga: 28 Wilayah Cuaca Ekstrem Hujan Lebat dan Angin Kencang Hari Ini Kamis 22 Februari 224, Cek Daftarnya

- Disebut Tornado Pertama

Peneliti BRIN menyebutkan alasan mengapa angin yang terjadi di kawasan Bandung itu disebut tornado.

"Kita harus bedakan antara puting beliung yang sering terjadi di Indonesia dan tornado pertama," ujar Erma dilansir kanal YouTube TvOneNews, Kamis (22/2/2024).

Erma menyebutnya tornado karena sudah memiliki beberapa syarat yang mencangkup hal itu.

"Kriteria tornado itu dilihat dari kekuatannya, minimal kecepatan angin 65-70 km/ jam, karena ada skala kecepatan angin baru bisa disebut tornado."

"Yang kedua radius putarnya, kalau kurang dari 2km biasanya puting beliung itu hanya sekitar 0,5 km maka itu fenomena skala mikro. Sementara tornado ada pada skala ruang karena radius lebih dari 2km, itu terpenuhi dari yang terjadi."

"Yang ketiga dampak, tapi lima kecamatan itu dampaknya luas dan parah bahkan tercatat terparah."

Baca juga: Daftar 25 Wilayah Potensi Hujan Lebat dan Angin Kencang Hari Ini Rabu 21 Februari 2024

- Lebih Parah dari Sebelumnya

Erma mengaku juga sempat melakukan penelitian pada puting beliung terdahsyat sebelumnya.

Ia menyebutkan masih ada sejumlah perbedaan dengan yang terjadi baru-baru ini.

"Kami pernah investigasi puting beliung terparah hampir jadi tornado di tahun 2021 itu kecepatan 56 km/ jam di Bandung juga," ujar Erma.

"Sekarang kecepatan maksimumnya berapa? Kita enggak tahu karena tidak ada data di Rancaekek pada saat berhembus, tapi dari skala kerusakan ini sudah mencapai."

"Ini analisis awal dari visual satelit awan, terdeteksi karena satelit, biasanya puting beliung tidak terdeteksi."

Dampak angin yang terjadi di Jawa Barat, Rabu (21/2/2024) (BPBD Jabar)

- Penyebab

Penyebab dari tornado yang dikatakan Erma tersebut lantaran cluster awan yang terjadi di area tersebut.

"Berbasis pada kajian puting beliung terkuat di tahun 2021, penyebab pertama adalah sistem badai yang terbentuk sebelumnya dalam skala luas, jadi enggak cuman satu awannya tapi bergabung jadi sistem."

"Ada cluster awan membentuk sistem badai membentuk hujan, badai. Ada pusaran angin karena ada daerah yang panas yang jadi tekanan rendah yang sebabkan angin terpusat di situ, ga ada alternatif lain selain berputar."

- Bukan Tornado

Sementara itu, dikutip dari Kompas, Deputi Bidang BMKG, Guswanto membantah jika yang terjadi itu adalah tornado.

”Fenomena yang terjadi di Rancaekek (Bandung) kemarin adalah puting beliung,” ujar Guswanto.

Menurut Guswanto, rekaman Automatic Weather Station (AWS) BMKG di Kampus Institut Teknologi Bandung (ITB) Jatinangor, yang berjarak 5 km dari lokasi kejadian, menunjukkan, kecepatan angin 36 km per jam.

”Jadi, itu bukan tornado sebagaimana biasa terjadi di Amerika Serikat (AS),” ujarnya.

Keterangan yang disampaikan Guswanto ini membantah pernyataan peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Erma Yulihastin, dalam cuitannya di X, yang kemudian dikutip sejumlah media. (TribunWow.com)