TRIBUNWOW.COM - Viral penampakan rumah milik Setyo Subagyo yang menjadi satu-satunya bangunan di tengah proyek pembangunan Jalan Tol Solo-Yogyakarta.
Rumah Setyo Subagyo ini tak tersentuh proyek pembangunan Jalan Tol dan menjadi satu-satunya yang tersisa di daerah itu.
Padahal seluruh tetangga di kanan kiri hingga seberang jalan dari rumah Setyo sudah rata dengan tanah.
Baca juga: Viral 2 Singa Taman Safari Mengamuk hingga Hancurkan Bagian Mobil Pengunjung, Simak Videonya
Lokasinya ada di pinggir jalan provinsi Klaten-Boyolali, Desa Kahuman, Kecamatan Ngawen, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah.
Meski begitu, rumah bertingkat dengan cat warna hijau ini sudah ditinggalkan oleh sang empunya rumah.
Setyo mengatakan dirinya enggan untuk menyerahkan rumahnya karena belum sepakat dengan harga yang ditawarkan oleh pemerintah.
Ia menekankan bahwa pemerintah kurang proporsional terkait harga tersebut.
Setyo pun menilai hal ini tidak adil baginya.
Dikutip dari TribunSolo.com, Rabu (10/8/2022), Setya mengungkapkan, rumah yang dibangun tahun 1997 itu berdiri di lahan seluas 500 meter persegi.
Berada di tepi jalan raya milik provinsi, jalur Klaten-Boyolali.
Selain rumah, dalam satu lahan tanah itu ada juga toko yang dia bangun secara bertahap.
Baca juga: Viral Rumah Mewah Eko Patrio Seharga Rp 150 Miliar, Ayu Ting Ting Melongo Lihat Fasilitas WCnya
"Ditempat saya itu, UGR-nya Rp 2,5 juta. Yang saya tidak terima karena uang ganti rugi itu belum sebanding dengan harga standar pasar. Untuk saat ini, harga pasaran tanah di pinggir jalan raya provinsi itu sudah di atas Rp 3 juta per meter persegi," ungkapnya saat ditemu Selasa, (9/8/2022).
Padahal, harga tanah yang berlokasi tepat di depan bangunan miliknya dihargai lebih tinggi.
Padahal, menurut dia, tanah di depan bangunan miliknya itu memiliki harga pasaran lebih rendah lantaran kondisi tanah di bawah jalan sehingga memerlukan uruk jika akan dibangun sebuah rumah.
Setya mengatakan, perbedaan harga ini terjadi karena tim apreseal di tempatnya berbeda dengan tim apreseal tanah yang ada di depan rumahnya.
"Karena beda tim apreseal, tanah saya diharga beda. Maka dari itu, harganya beda, lebih tinggi yang seberang jalan dari pada punya saya," papar dia.
Setya memilih bertahan dan menunggu adanya musyawarah mufakat untuk menyelesaikan UGR Tol hingga ada kesepakatan.
"Karena saya belajar pengalaman dari kasus-kasus UGR yang lain, yang menempuh jalur hukum namun belum ada yang berhasil," ujarnya.
"Saya sampaikan kepada pihak yang terkait bahwa saya hanya ingin mendapatkan hak UGR sesuai dengan harga pasaran," jelasnya.
Menurutnya, cara kekeluargaan yang dia tempuh agar semua pihak yang bertanggung jawab atas pembangunan tol itu dapat duduk bersama mencari jalan tengah.
"Untuk sampai kapan saya bertahan (menolah UGR), tidak tahu karena saya hanya bisa menunggu keputusan dari pihak pembebasan tanah," ucapnya.
"Akankah nantinya ada perubahan setelah berdiskusi lebih lanjut dari hati ke hati atau tetap kekeh (dengan nilai UGR saat ini)," terangnya.
Menurut Setya, selama ini, tidak ada musyawarah soal UGR tol. Yang terjadi adalah sudah ada penetapan harga dari pelaksana proyek.
"Saya belum tanda tangan karena merasa belum ada negosiasi soal harga, saat musyawarah kemarin adanya penetapan harga," terangnya.
Dia berharap, hasil UGR yang nantinya diterima dapat digunakan untuk membeli tanah dan bangunan dengan nilai serupa.
"Atau, saya ditukar dengan tanah seluas itu (500 meter persegi) yang masih di pinggir jalan yang sama (Jalan Provinsi), saya malah enggak masalah," ujarnya. (*)
Artikel ini telah tayang di Tribunnews dengan judul "Penampakan Satu-satunya Rumah yang Masih Berdiri di Tengah Proyek Jalan Tol Yogya-Solo."