Konflik Rusia Vs Ukraina

1 Keluarga Meninggal hingga Bocah 12 Tahun Tewas, Zelensky Ungkit Korban Misil Rusia di Odesa

Penulis: anung aulia malik
Editor: Tiffany Marantika Dewi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Rusia dituding bertanggung jawab atas serangan misil ke Odesa, Ukraina yang menewaskan 21 orang, Jumat (1/7/2022).

TRIBUNWOW.COM - Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky menyebut pasukan militer Rusia telah melakukan aksi teror yang disengaja di Odesa.

Total 21 orang tewas dalam serangan misil yang menghantam sebuah apartemen di Odesa, Ukraina, Jumat (1/7/2022).

Dikutip TribunWow.com dari skynews, Zelensky menegaskan di dalam apartemen tersebut tidak ada senjata atau perlengkapan militer yang disembunyikan.

Baca juga: Bantah Serang Apartemen di Odesa, Rusia Sebut Ukraina Pakai Aktor Provokasi Dibayar Rp 7 Juta

Zelensky menjelaskan bagaimana apartemen itu benar-benar digunakan sebagai tempat tinggal warga sipil dan dihuni oleh 160 orang.

"Saya tekankan: ini adalah teror yang sengaja dan disengaja, bukan semacam kesalahan atau kecelakaan," kata Zelensky, Jumat (1/7/2022) malam.

Zelensky mengungkit ada empat orang dari satu keluarga yang tewas dalam serangan tersebut.

"Bocah 12 tahun terbunuh, namanya Dmytro," tuturnya.

Pemerintah Jerman meminta Presiden Rusia Vladimir Putin bertanggung jawab atas serangan tersebut.

Sementara itu pemerintah Rusia tegas membantah serangan di Odesa adalah perbuatan mereka.

"Saya ingin mengingatkan kepada Anda perkataan presiden (Putin) bahwa pasukan militer Rusia tidak menyerang target sipil," ujar juru bicara Putin, Dmitry Peskov.

Kantor Presiden Ukraina mengatakan, serangan di Odesa dilakukan menggunakan misil tipe X-22 sebanyak tiga kali.

"Negara teroris membunuh rakyat kami," ujar Andriy Yermak selaku Kepala Kantor Presiden Ukraina.

Yermak menyebut serangan di Odesa dilakukan oleh Rusia karena mereka kalah dalam medan perang sesungguhnya.

Baca juga: Minta Biden Keluar dari NATO, Politisi AS Ungkap Siapa yang Raup Untung dari Konflik Ukraina

Perang Dingin Rusia dan Barat Dimulai

Di sisi lain, Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov mengatakan bahwa tirai besi baru sedang turun antara Moskow dan Barat.

Dilansir TribunWow.com, perang dingin tersebut mulai terjadi sebagai akibat invasi Kremlin ke Ukraina.

Seperti dilaporkan The Moscow Times, Kamis (30/6/2022) pernyataan itu diutarakan Lavrov kepada wartawan selama konferensi pers di ibukota Belarusia, Minsk.

Baca juga: Tuding Uni Eropa dan NATO Berkoalisi Keroyok Rusia, Menlu Putin Bandingkan Ukraina dengan Nazi

Ditanya soal kemungkinan perang dingin dengan pihak Barat, Lavrov mengatakan bahwa proses itu sudah dimulai.

"Sejauh menyangkut Tirai Besi, pada dasarnya itu sudah turun," kata Lavrov

“Prosesnya sudah dimulai,” katanya.

Lavrov juga mengklaim bahwa hubungan antara Rusia dan Uni Eropa sudah tidak ada lagi.

“(Uni Eropa) telah menghancurkan hubungan yang telah dibangun selama beberapa dekade antara kami dan UE,” kata menteri luar negeri Rusia itu.

Namun, ia menambahkan bahwa Moskow masih terbuka untuk negosiasi.

Pimpinan kebijakan luar negeri Uni Eropa, Josep Borrell berbicara saat debat tentang kebijakan Uni Eropa terkait invasi Rusia ke Ukraina di Strasbourg, Prancis, 9 Maret 2022. Terbaru, Rusia sebut hubungan dengan UE sudah berakhir, Kamis (30/6/2022). (AFP)

Baca juga: Uni Eropa dan NATO Disebut Bentuk Koalisi untuk Perangi Rusia, Menteri Putin: Kami Melihat Semua Ini

Karena hubungan yang memburuk itulah, Rusia kini berusaha untuk tidak bergantung pada sumber daya Barat.

"Saya hanya bisa mengatakan bahwa mulai sekarang, kami tidak akan mempercayai baik Amerika maupun Uni Eropa. Kami akan melakukan semua yang diperlukan agar tidak bergantung pada mereka di sektor-sektor kritis," kata Lavrov.

Moskow meluncurkan perang skala penuh di Ukraina pada 24 Februari, yang memicu sanksi ekonomi dan diplomatik yang berat dari Amerika Serikat, Inggris dan Uni Eropa terhadap lembaga-lembaga negara Rusia, perusahaan dan sejumlah pejabat dan pengusaha Rusia.

Hal ini dianggap sebagai tindakan tak bersahabat oleh Rusia yang balas memberi sanksi pada negara-negara tersebut.

Awal Perang Dingin AS dengan Rusia dan China

Amerika Serikat dinilai telah memasuki perang dingin baru dengan Rusia dan China.

Dikatakan bahwa Barat mempertaruhkan hegemoni global, dan bukannya perlindungan nilai.

Dilansir TribunWow.com, Kamis (23/6/2022), hal ini diungkapkan oleh ekonom Amerika, pemenang Hadiah Nobel di bidang ekonomi, Joseph Stiglitz untuk portal Sheerpost.

Baca juga: VIDEO Amerika Kirim Sistem Roket Jarak Jauh M142 ke Ukraina, Jaminan Tidak Serang Rusia

Ia mengatakan bahwa Amerika memasuki perang dingin dengan dua negara adidaya dunia lainnya.

Apalagi mengingat keterlibatan aktif Amerika dalam konflik antara Rusia dan Ukraina.

“Amerika Serikat tampaknya memasuki perang dingin baru dengan China dan Rusia," kata Stiglitz dikutip RIA Novosti.

"Dan bahwa para pemimpin AS menggambarkan konfrontasi ini sebagai konfrontasi antara demokrasi dan otoritarianisme yang tidak lulus ujian. Terutama pada saat para pemimpin yang sama secara aktif mendorong pelanggar hak asasi manusia sistematis seperti Arab Saudi."

"Kemunafikan semacam itu menunjukkan bahwa apa yang sebenarnya dipertaruhkan, setidaknya sebagian, adalah hegemoni global, bukan nilai," imbuhnya.

Menurut sang ekonom, selama dua dekade setelah jatuhnya Uni Soviet, AS jelas menjadi nomor satu di dunia.

Tapi kemudian diikuti perang di Timur Tengah, kehancuran keuangan tahun 2008, dan meningkatnya ketidaksetaraan, membuat kepemimpinan Washington dipertanyakan dalam politik dunia.

Presiden Rusia Vladimir Putin (kiri) tersenyum saat menjabat tangan Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden dalam pertemuan bilateral perdana di Villa la Grange, Jenewa, Swiss, pada 16 Juni 2021. Terbaru, AS dinilai memasuki fase perang dingin dengan Rusia dan China. (AFP PHOTO/SPUTNIK/MIKHAIL METZEL)

Stiglitz mencatat kepastian bahwa China akan menyusul AS secara ekonomi.

"Amerika Serikat tidak dapat memenangkan persaingan baru kekuatan-kekuatan besar sendirian, mereka membutuhkan sekutu," ujar Stiglitz.

Namun, dalam beberapa tahun terakhir, sekutu AS disebutkan memiliki semakin banyak alasan untuk meragukan keandalan Washington sebagai mitra.

"Trump telah melakukan semua yang dia bisa untuk mengasingkan negara-negara ini, dan Partai Republik, yang masih berhutang budi kepadanya, telah memberikan cukup alasan untuk meragukan apakah AS adalah mitra yang dapat diandalkan," tambahnya.

Dalam mencari bantuan dari negara-negara dunia, AS harus bisa mengejar ketertinggalan.

Namun, sejarah panjang eksploitasi mereka di negara lain justru tidak akan membantu.

Apalagi isu rasisme mereka yang mendalam, sebuah kekuatan yang dikatakan telah diarahkan oleh Trump dengan terampil dan sinis.

Di sisi lain,sebagaimana dicatat Stiglitz, Beijing telah berhasil menyediakan infrastruktur canggih bagi negara-negara miskin, yang kemudian memperkuat pengaruhnya.

"Kita harus menawarkan bantuan nyata kepada negara-negara berkembang dan pasar berkembang, dimulai dengan meninggalkan semua kekayaan intelektual terkait COVID sehingga mereka dapat memproduksi vaksin dan perawatan untuk diri mereka sendiri," ungkap Stiglitz menyimpulkan.(TribunWow.com/Anung/Via)

Berita terkait Konflik Rusia Vs Ukraina