Pelimpahan kasus ini bertujuan untuk mengefisiensikan waktu penyidikan dan penyelidikan kasus.
Segala petunjuk dan bukti yang bersifat konvensional yang dapat membantu penyidikan bakal disandingkan secara digital.
Aiman mencatat setidaknya ada empat hal yang janggal dilakukan oleh sang pelaku pada kasus ini.
Ini menunjukkan sang pelaku mengetahui bagaimana cara menghilangkan kemungkinan pelacakan oleh polisi.
Pertama, penyelidik biasa menggunakan rekaman percakapan baik suara maupun tertulis untuk mencari bukti, yang dijejaki sebelum kejadian.
Pada kasus ini, hasilnya nihil.
Artinya pelaku paham, tidak ada komunikasi yang menunjukkan jejak pelaku beberapa waktu sebelum kejadian.
Kedua, penyelidik biasa menggunakan cek lokasi untuk mengetahui orang-orang yang berada di lokasi kejadian dalam radius beberapa ratus meter.
Ini dimungkinkan dengan penggunaan teknologi.
Pada kasus ini, hasilnya nihil. Artinya, pelaku tersebut paham dan bisa menghindari agar jejaknya tidak ketahuan sama sekali.
Ketiga, dan yang paling dasar, penyelidik biasa mencari jejak di Tempat Kejadian Perkara ( TKP), yang mengarah pada pelaku. Entah sidik jari, Asam Deoksiribo Nukleat (DNA) yang didapat dari bagian tubuh atau pakaian pelaku, dan yang lain. Hasilnya pun NIHIL!
Padahal dari informasi, pelaku sempat mencuci bagian tubuhnya yang terkena darah di kamar mandi. Ini artinya, pelaku bisa mengaburkan semua jejak yang ada, bahkan jejak paling dasar sekalipun di TKP.
Keempat, penyelidik bisa menggunakan rekaman kamera pengawas alias CCTV di sekitar lokasi. Jika tidak ada, maka pencarian diperluas ke daerah terdekat dan mengarah ke TKP.
Tapi pada kasus ini, hasilnya kembali NIHIL! CCTV di lokasi tidak ada, dan CCTV lain tidak bisa mendeteksi pergerakan dengan detail karena kualitas alat dan berbagai hal.
Pakar kejahatan alias kriminolog Universitas Indonesia, Profesor Adrianus Meliala, mengungkapkan, bahwa pelaku kejahatan dalam pembunuhan ibu dan anak di Subang ini melakukannya dengan efisien.