TRIBUNWOW.COM – Seorang mantan perawat yang telah membunuh tiga pasien dijatuhi hukuman penjara seumur hidup oleh pengadilan Jepang, Selasa (9/11/2021).
Ayumi Kuboki mencampur infus pasien dengan disinfektan dan diduga telah membunuh 20 orang selama dua bulan.
Dalam persidangannya, wanita berusia 34 tahun itu mengaku membunuh pasien berusia 70-an dan 80-an pada 2016 lalu.
Baca juga: 2 Terpidana Mati Jepang Tuntut Negara karena Pemberitahuan Eksekusi Mendadak, Sebut Tak Manusiawi
Baca juga: Kesaksian Joker, Pelaku Penyerangan di Kereta Tokyo hingga Kecaman Jepang: Mengerikan dan Brutal
Sebelumnya, Kuboki mengatakan kepada polisi bahwa dia mungkin sudah membunuh 20 orang hanya dalam waktu dua bulan.
Namun, selama persidangan, dia enggan memberikan komentar apa pun terkait pengakuannya tersebut.
Menurut laporan media NHK, hakim ketua di pengadilan distrik Yokohama mengatakan telah mempertimbangkan untuk menjatuhkan hukuman mati bagi Kuboki.
Namun, dia ragu karena mantan perawat tersebut menyesali perbuatannya.
“Dia bilang dia menyesali (tindakannya) dan ingin membayar kejahatannya. Ada kemungkinan hukumannya akan diubah, dan saya ragu untuk memilih hukuman mati,” kata hakim itu dikutip dari AFP, Selasa (9/11/2021).
Putra dari salah satu korban mengaku tak puas dengan putusan pengadilan yang tidak menjatuhkan hukuman mati bagi Kuboki.
“Dia membunuh orang yang tidak bersalah demi kepuasan sendiri dan dia tidak dihukum mati. Itu salah,” katanya.
Di Jepang, dukungan publik untuk hukuman mati memang tetap tinggi, meskipun ada kritik internasional dari kelompok hak asasi manusia.
Terdapat lebih dari 100 narapidana masih menunggu eksekusi.
Jaksa sebenarnya telah menuntut hukuman mati untuk Kuboki.
Tetapi, pengacara wanita itu dilaporkan menyebut kliennya menderita depresi karena stress atas kematian pasien yang ditangani dan kapasitas mentalnya terganggu.
Selama pengadilan, Kuboki juga telah mengatakan bahwa dia tak ingin disalahkan oleh anggota keluarga korban, ketika sesuatu yang salah terjadi kepada pasien-pasiennya saat dirinya bertugas.
Dia merasa “lega” ketika salah satu korbannya meninggal.
“Saya ingin menghindari tuduhan kelalaian anggota keluarga jika pasien meninggal dalam pengawasan saya,” kata Kuboki, dikutip dari The Straits Time, Selasa (9/11/2021).
“Saya membuatnya sedemikian rupa sehingga mereka mati ketika saya tidak bertugas.”
Kuboki ditangkap pada 2018 lalu dan penasihat hukumnya memohon hukuman penjara seumur hidup dibandingkan hukuman mati, dengan menggunakan alasan kondisi mental kliennya yang tidak stabil.
“Motifnya sangat egois, dan dengan melakukan itu, dia menunjukkan ketidakpedulian yang sangat kuat terhadap kesucian hidup,” kata Hakim Ketua Kazunori Karei.
Hakim memutuskan Kuboki bertanggungjawab penuh atas meninggalnya Sozo Nishikawa (88), Nobuo Yamaki (88) dan Asae Okitsu (78).
Nishikawa dan Yamaki menderita sakit yang parah dan diperkirakan hanya dapat bertahan hidup selama beberapa minggu.
Baca juga: Meski Banyak Kontroversi, Putri Mako Resmi Menikah dengan Kei Komuro, Tinggalkan Kekaisaran Jepang
Baca juga: Calon PM Baru Jepang, Fumio Kishida Sempat Dicap Tak Populer dan Pegang Posisi Menteri Luar Negeri
Sementara Okitsu, dirawat di rumah sakit karena siku dan lutut kanannya terluka seusai terjatuh serta diperkirakan akan segera dipulangkan.
Meski dakwaan terhadap Kuboki difokuskan pada tiga korban, setidaknya 20 pasien diduga meninggal di bawah perawatan wanita tersebut di rumah sakit yang dulu bernama Rumah Sakit Oguchi.
Sekarang, rumah sakit tersebut menjadi Rumah Sakit Yokohama Hajime.
Polisi mengatakan selama penyelidikan, bahwa sulit untuk memastikan penyebab pasti kematian banyak korban lanjut usia, yang jenazahnya dikremasi.
Tetapi, 48 orang meninggal selama tiga bulan ketika Kuboki bekerja di rumah sakit.
Pejabat rumah sakit tidak mencurigai ada hal yang salah, sampai seorang perawat melihat gelembung dalam infus yang diperuntukkan bagi pasien.
Hakim Ketua Karei dalam penilaiannya menyebut bahwa Kuboki, yang tertutup dan sulit menjalin persahabatan, selama ini tahu bahwa dia tidak cocok untuk menjadi perawat.
Namun, dia merasa tertekan dan tetap bekerja, karena ibunya telah menasihatinya untuk belajar keperawatan dan membayar biaya sekolahnya.
Kuboki pertama kali bekerja sebagai perawat di bangsal rehabilitasi dan melaporkan perasaan puas saat melihat seorang pasien yang dirawat di kursi roda, berhasil keluar dari rumah sakit.
Namun, semuanya berubah ketika dia mulai merawat pasien yang sakit parah, kata hakim dalam putusannya.
Dia mencatat bahwa Kuboki merasakan tekanan yang mendalam ketika kerabat pasien yang meninggal melampiaskan rasa frustrasi mereka padanya.
Kondisi itu diperparah oleh keterampilan komunikasinya yang buruk.
“Saya ingin dia menghadapi beban dosanya dengan menebus dan menempuh jalan rehabilitasi dalam hidupnya,” kata Hakim Ketua Karei.
“Tidak dapat dikatakan bahwa hukuman mati tidak bisa dihindari dalam kasus ini.” (TribunWow.com/Alma Dyani P)
Berita terkait Jepang lain