TRIBUNWOW.COM - Pasukan keamanan Myanmar kembali membunuh setidaknya 12 orang dalam aksi protes anti-kudeta militer, menurut laporan saksi dan media setempat.
Melansir Reuters pada Sabtu (14/3/2021), 5 orang ditembak mati dan beberapa lainnya cedera ketika polisi melepaskan tembakan ke arah para demonstran di Mandalay, kota terbesar kedua di Myanmar.
Beberapa orang lainnya dibunuh di pusat kota Pyay dan 2 tewas dalam tembakan polisi di Yangon, di mana 3 orang telah dibunuh pada malam hari, menurut laporan media lokal.
Baca juga: Aksi Biarawati Menangis dan Berlutut di Depan Militer Myanmar, Siap Mati demi Lindungi Demonstran
"Mereka bertindak seperti dalam zona perang terhadap masyarakat tak bersenjata," kata aktivis yang berbasis di Mandalaay, Myat Thu.
Pria itu mengatakan jumlah kematian tersebut termasuk anak 13 tahun yang terbunuh.
Si Thun Tun, seorang demonstran lainnya, mengatakan melihat 2 orang ditembak, termasuk biksu Buddha.
"Salah satu dari mereka terkena tembakan di tulang kemaluan, satu lagi ditembak mati hingga tewas," ucapnya.
Di Pyay, seorang saksi mengatakan pasukan keamanan awalnya menghentikan sebuah ambulans untuk menjangkau yang terluka dan menyebabkan satu kematian.
Seorang sopir di Chauk, sebuah kota di pusat Magwe Region, juga tewas setelah di tembak di dada oleh polisi, menurut cerita teman keluarga korban.
Seorang juru bicara junta militer tidak menjawab panggilan telpon dari Reuters untuk menanggapi perkembangan bentrokan yang terjadi.
Junta militer dalam siaran berita malam di MRTV melabeli para demonstran sebagai "kriminal", tapi tidak menjelaskan lebih jauh.
Baca juga: Viral di Twitter, Ini Sosok Mahasiswi yang Ditembak di Kepala oleh Militer Myanmar, Dijuluki Angel
Kelompok advokasi Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik mengatakan bahwa lebih dari 70 orang telah tewas di Myanmar dalam aksi protes yang meluas melawan militer yang merebut kekuasaan dalam negeri.
Kematian itu terjadi ketika para pemimpin Amerika Serikat, India, Australia, dan Jepang bersumpah untuk bekerja sama memulihkan demokrasi di negara Seribu Pagoda itu.
Pada Sabtu (13/3/2021) itu juga, pemimpin pemerintah sipil paralel Myanmar, Mahn Win Khaing Than, untuk pertama kali berbicara kepada publik.
"Ini adalah saat paling gelap bangsa dan saat fajar sudah dekat," kata Mahn Win Khaing Than melalui Facebook.