TRIBUNWOW.COM - Pakar komunikasi politik Karim Suryadi menganalisis kisruh yang tengah terjadi di dalam Partai Demokrat.
Dilansir TribunWow.com, hal itu ia sampaikan dalam tayangan Metro Pagi, Senin (8/3/2021).
Diketahui kini partai berlambang mercy tersebut tengah terpecah menjadi dua kubu, yakni loyalis Ketua Umum Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dan pendukung Ketua Umum versi kongres luar biasa (KLB) Moeldoko.
Baca juga: Sambangi Kemenkumham, AHY Kecam KLB Deliserdang: Mereka Hanya Diberi Jaket Demokrat Seolah-olah Sah
"Menurut saya kasus Demokrat ini bisa bermakna tiga. Pertama ujian bagi AHY, godaan bagi Moeldoko, dan tes yang bocor bagi Kemenkumham," kata Karim Suryadi.
Ia menyinggung AHY yang disahkan sejak 2020 baru kali ini menghadapi pergolakan politik dalam partainya.
"AHY yang mulus menjadi ketua umum baru mendapatkan ujian yang sesungguhnya hari ini ketika KLB digelar," ungkap Karim.
"Karena dia menduduki jabatan dengan sangat mulus, sebelumnya belum memperlihatkan rekam jejak dia kepemimpinannya di partai politik atau jabatan strategis yang lain. Ini ujian," lanjut Guru Besar Komunikasi Politik UPI ini.
Selain itu, Karim menilai Moeldoko juga tengah menghadapi godaan besar.
Diketahui Moeldoko masih aktif menjabat sebagai Kepala Kantor Staf Presiden (KSP).
"Kedua, godaan bagi Moeldoko karena meskipun konflik partai tetapi kalau melihat konteksnya, ini varian baru," komentar Karim.
Baca juga: Soal Kisruh Demokrat, Din Syamsuddin Sebut Moeldoko Layak Dipecat dari KSP, Singgung Citra Jokowi
Ia memberi contoh bagaimana partai-partai lain menghadapi perpecahan yang serupa.
Karim menerangkan umumnya perpecahan konflik itu terjadi saat ada kubu yang membuat pertemuan dan memilih pemimpin sendiri.
Namun dalam kasus Demokrat, Moeldoko menuai sorotan karena dianggap sebagai pejabat yang dekat dengan Istana.
"Kalau kita melihat bagaimana PPP, Hanura, bahkan Golkar berkonflik, biasanya mencuat ketika ada munas yang tidak disepakati atau pemilihan ketua yang tidak disepakati," kata Karim.
"Ini konteksnya berbeda. Moeldoko sedang aktif menjadi KSP, tiba-tiba ditarik," singgung dia.
Bagi Kemenkumham sendiri, Karim menyebut ada tes yang harus dihadapi untuk menentukan sah atau tidaknya pemilihan Moeldoko.
"Kemudian saya bilang tes yang bocor Kemenkumham karena soal KLB ini 'kan sudah jelas rambu-rambunya. Pertanyaannya sah atau tidak dan rambu-rambu jawabannya sudah beredar di media yang bersumber pada AD/ART," tambah Karim.
Lihat videonya mulai dari awal:
Din Syamsuddin Sebut Moeldoko Layak Dipecat dari KSP
Anggota Presidium Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), Din Syamsuddin turut buka suara soal kudeta Partai Demokrat.
Dilansir TribunWow.com, Din menyebut Moeldoko layak dipecat dari jabatannya sebagai kepala Kantor Staf Presiden (KSP).
Sebelumnya, Moeldoko terpilih menjadi ketua umum Partai Demokrat melalui Kongres Luar Biasa (KLB) di Deliserdang, Sumatera Utara.
Baca juga: Moeldoko Ketum Demokrat Versi KLB, Jansen Sitindaon: Nyanyi Mars Demokrat Saja Belum Tentu Bisa
Baca juga: Sebut Nasib Moeldoko hingga Marzuki Alie Tinggal Seminggu, Andi Arief: Setiap Zaman Ada Orangnya
Terkait hal itu, Din menganggap Moeldoko telah merusak citra Presiden Joko Widodo (Jokowi).
"Jika beliau (Jokowi) tidak pernah mengizinkan, maka Jenderal (Purn) Moeldoko layak dipecat dari KSP karena merusak citra Presiden," ucap Din, dikutip dari Kompas.com, Senin (8/3/2021).
"Dan jika dia memimpin partai politik maka akan mengganggu pelaksanaan tugasnya sebagai KSP."
Namun, menurut Din, Jokowi akan dianggap terlibat dalam upaya kudeta Partai Demokrat jika membiarkan Moeldoko tetap menjabat di KSP.
"Jika Presiden Joko Widodo mengizinkan atau memberi restu maka dapat dianggap Presiden telah mengintervensi sebuah partai politik dan merusak tatanan demokrasi," sambungnya.
Baca juga: Sebut Demokrasi Sedang Dizolimi karena KLB, Politisi Demokrat: Ada Kekuasaan yang Ikut Campur
Baca juga: Manuver Moeldoko di Demokrat Disebut akan Bahayakan Jokowi, Relawan: Kita Lihat Siapa yang Menang
Karena itu, Din berpendapat sikap yang tepat ditunjukkan pemerintah adalah menolak KLB di Deliserdang itu.
Ia pun menyinggung soal KLB yang dianggap melanggar AD/ART Partai Demokrat.
"Maka yang tepat dan terbaik bagi pemerintah adalah menolak keputusan KLB tersebut," terang Din.
"Jika pemerintah mengesahkan maka akan menjadi preseden buruk bagi pengembangan demokrasi Indonesia, dan menciptakan kegaduhan nasional." (TribunWow.com/Brigitta/Tami)