Pesawat Sriwijaya Air Jatuh

Kisah Tim Penyelam Sriwijaya Air Harus Terapi Dekompresi di Hari ke-9, Alami Sejumlah Gejala Pusing

Penulis: Brigitta Winasis
Editor: Tiffany Marantika Dewi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Tim Penyelam Sriwijaya Air 182 menjalani terapi hiperbarik untuk mengatasi gejala dekompresi, Senin (18/1/2021).

TRIBUNWOW.COM - Anggota Tim Penyelam Intai Amfibi (Taifib) yang melakukan evakuasi pesawat Sriwijaya Air SJ 182 harus menjalani terapi seusai menyelam.

Dilansir TribunWow.com, hal itu disampaikan Perwira Kesehatan Yontaifib I Marinir Kapten Laut (K) Gandhi Singgih Nugroho dalam Sapa Indonesia di Kompas TV, Senin (18/1/2021).

Diketahui pencarian sisa-sisa kecelakaan pesawat Sriwijaya Air SJ 182 masih dilakukan pada hari kesembilan.

Tim penyelam gabungan Detasemen Jalamangkara (Denjaka) Marinir dan Intai Amfibi (Taifib) Marinir TNI Angkatan Laut menemukan puing-puing sisa pesawat Sriwijaya Air SJ 182, Minggu (17/1/2021). (Capture YouTube Korps Marinir TNI AL)

Baca juga: Update Jatuhnya Sriwijaya Air SJ 182: Bayi 11 Bulan yang Viral Kini Jenazahnya Teridentifikasi

Para penyelam fokus menemukan puing-puing pesawat, potongan tubuh korban, serta cockpit voice recorder (CVR) di perairan Kepulauan Seribu.

Menurut Gandhi, anggota tim penyelam harus menjalani terapi dekompresi di ruang hiperbarik seusai menyelam demi menjaga kondisi tubuh tetap prima.

Ia menjelaskan kedalaman laut para penyelam saat melakukan evakuasi adalah perairan dangkal yang mencapai 18-20 meter.

"Walaupun judulnya perairan dangkal, tetap saja ada risiko penyelaman seperti decompression sickness atau kita sebutnya DCS," jelas Gandhi Singgih Nugroho.

"Karena menggunakan tabung nitrogen, tetap ada risiko seperti itu," terangnya.

Ia menyebut ada dua tipe DCS dengan tingkat gejala yang berbeda.

Pada tipe yang lebih tinggi, penyelam yang mengalami DCS dapat kehilangan kesadaran.

"DCS itu dibagi dua. Tipe satu untuk yang lebih ringan. Gejalanya seperti kebas, kesemutan, pusing," papar Gandhi.

"Yang lebih beratnya itu tipe dua itu gejala-gejala seperti DCS tipe satu tapi ada tambahannya seperti sesak napas, bingung, apalagi sampai kehilangan kesadaran," lanjut dia.

Dalam terapi hiperbarik di ruangan khusus, tim penyelam akan dipasangi alat seperti masker oksigen.

Fungsinya untuk membilas nitrogen yang dihirup saat menyelam di dasar laut.

Baca juga: Video Bawah Laut Evakuasi Hari ke-7, Ada Potongan Sayap Berlogo Sriwijaya Air, Tepiannya Hangus

"Di luar kasus-kasus penyelaman DCS seperti yang saya bilang, fungsi ambulans yang ada di sini untuk nitrogen washout atau pembilasan," kata Gandhi.

"Di mana gas nitrogen yang dihisap penyelam itu kita buang dengan menggunakan ambulans chamber ini," lanjut dia.

Ruangan tersebut akan ditutup rapat dan membuat tim penyelam seolah-olah sedang berada di kedalaman laut.

Ruangan ini dikendalikan oleh alat khusus yang ada di luar.

Alat tersebut akan mengatur tekanan dan kedalaman laut di dalam ruangan.

"Untuk nitrogen washout atau pembilasan, kita seperti menyelam di kedalaman 18 meter. Makanya masuk di chamber ini seperti menyelam kering atau menyelam tanpa air," jelas Gandhi.

Lihat videonya mulai menit 1.00:

Kapten Eko Ungkap Perasaan Cari Korban dan Puing Pesawat

Komandan Detasemen I Kopaska, Kapten Eko Prihartanto mengungkapkan perasaannya dalam menjalankan tugas, mencari pesawat Sriwijaya Air SJ 182.

Seperti yang diketahui Kapten Eko bersama para tim lainnya kurang lebih sudah sembilan hari berada di laut sejak jatuhnya Sriwijaya Air SJ 182, Sabtu (9/1/2021).

Dilansir TribunWow.com dalam tayangan YouTube KompasTV, Senin (18/1/2021), Eko mengakui bahwa kondisi bawah laut perairan Kepulauan Seribu itu tidak seperti yang dibayangkan.

Baca juga: Kata Tetangga soal Pembobolan Rumah Korban Sriwijaya Air SJ 182: Maling Biadab, Lagi Berduka Juga

Baca juga: Update Jatuhnya Sriwijaya Air SJ 182: Bayi 11 Bulan yang Viral Kini Jenazahnya Teridentifikasi

Dikatakannya bahwa kondisi air dengan kedalaman kurang lebih 23 meter itu cukup keruh.

Tak dipungkiri hal itulah yang membuatnya merasa sedikit terganggu dalam proses pencarian.

Terlebih badan pesawat juga tidak lagi berbentuk pesawat yang utuh, melainkan sudah menjadi puing-puing kecil dan tersebar.

"Kondisi di bawah sana jauh seperti yang apa di gambaran saya," ujar Eko.

"Di bawah sana kondisinya sudah hancur, sudah berentuk puing-puing," jelasnya.

Prajurit TNI mengevakuasi serpihan dari pesawat Sriwijaya Air SJ 182 yang hilang kontak saat melakukan pencairan di perairan Kepulauan Seribu, Jakarta, Minggu (10/1/2021). Pesawat Sriwijaya Air SJ 182 yang hilang kontak pada Sabtu (9/1/2021) sekitar pukul 14.40 WIB di ketinggian 10 ribu kaki tersebut membawa enam awak dan 56 penumpang. (TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN)

Terlepas dari itu, Eko mengaku menjadi suatu kehormatan bisa menjadi bagian dalam proses tugas mulia mencari korban dan puing pesawat Sriwijaya Air.

"Sukanya ini suatu kehormatan sebagai prajurit Pasukan Katak," kata Eko.

"Karena kita diberi kepercayaan untuk membantu saudara-saudara kita yang terkena musibah," imbuhnya.

Selain suka, Eko mengaku juga menjadi duka tersendiri.

Baca juga: Lihat Penampakan Bawah Laut Lokasi Jatuhnya Sriwijaya Air SJ 182, Ditemukan Oksigen Milik Pilot

"Dukanya kita ikut berduka juga akan musibah ini, ikut merasakan ketika melihat puing-puing, melihat kondisi di luar sana," ungkapnya.

"Untuk memicu semangat kita dengan melihat saudara-saudara kita atau rekan-rekan kita yang sedang bekerja itu menjadi semangat bagi kita," ucap Eko.

Lebih lanjut, Eko saat ini hanya berharap seluruh korban bisa ditemukan dan bisa diidentifikasi sehingga segera diserahkan kepada pihak keluarga untuk dimakamkan.

Terkait badan pesawat, Eko juga berharap bagian penting yakni cockpit voice recorder (CVR) bisa ditemukan.

"Semoga seluruh korban bisa diidentifikasi dan untuk CVR yang masih kita cari bisa segera diketemukan," pungkasnya. (TribunWow.com/Brigitta/Elfan)