TRIBUNWOW.COM - Juru Bicara Presiden, Fadjroel Rachman memberikan tanggapan terkait sikap dari mahasiswa yang menolak keras Omnibus Law UU Cipta Kerja.
Mahasiswa bahkan menyatakan mosi tidak percaya terhadap pemerintah dan mendesak supaya Presiden Joko Widodo (Jokowi) mencabut UU Cipta Kerja.
Dilansir TribunWow.com, Fadjroel Rachman meminta kepada mahasiswa maupun peserta demo lainnya untuk bijak dalam menyuarakan pendapat.
Baca juga: Mahasiswa Demo Tolak UU Cipta Kerja di Jakarta, Jokowi Bersama Keluarga di Istana Bogor
Baca juga: Korek Kuping Disiapkan Massa Pendemo Serikat Pekerja Tolak UU Cipta Kerja untuk Jokowi
Dirinya berharap para mahasiswa bisa bersikap intelektual dengan cara mengajukan banding ke jalur yang sudah disiapkan, yakni ke Mahkamah Konstitusi.
Hal itu diungkapkannya dalam acara Mata Najwa, Rabu (28/10/2020).
Fadjroel mengaku tidak setuju dan menyayangkan dengan aksi-aksi demonstrasi yang justru menimbulkan kegaduhan.
Meski tak melarang untuk melakukan demo, ia mengingatkan untuk tetap menjaga kondusifitas.
"Makanya hak berdemonstrasi itu boleh tapi jangan merusak fasilitas umum, jangan kemudian juga mengundang kerusuhan sara," ujar Fadjroel Rachman.
Dan menurutnya, alangkah lebih baiknya lagi ketimbang melakukan aksi demo adalah melakukan pengajuan yudisial review ke MK.
"Tolong didorong ke Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi itu adalah lembaga yang dihasilkan dari reformasi, apabila ada persoalan Undang-undang bawa ke Mahkamah Konstitusi," kata Fadjroel.
"Coba datang ke MK terus ajukan yudisial review terhadap keberatan-keberatan Anda," jelasnya.
Fadjroel lantas membandingkan dengan apa yang sebelumnya juga sempat dilakukan, yaitu pada era reformasi.
Baca juga: Jika Jokowi Teken UU Cipta Kerja, KSPI Ancam Bakal Demo Besar-besaran 1 November: Sampai Menang
Dikatakannya kondisinya saat ini jauh lebih baik, karena sudah disiapkan wadah untuk menampung aspirasi dari masyarakat yang merasa keberatan dengan produk-produk hukum, yaitu MK yang sifatnya adalah independen.
Sedangkan menurutnya, pada perjuangannya di era reformasi lebih berat karena belum ada MK.
"Sehingga apa yang disebutkan mosi tidak percaya, jangan hanya di jalananan, jangan merusak, tapi boleh menyatakan pendapat, bawa itu secara intelektual ke dalam Mahkamah Konstitusi," pungkasnya.
Simak videonya mulai menit ke- 6.03
Yasonna Laoly soal Ketidakpercayaan pada MK
Menteri Hukum dan HAM (Menkumham), Yasonna Laoly buka suara menanggapi adanya seruan pembangkangan sipil.
Dilansir TribunWow.com, Yasonna Laoly mengatakan bahwa seruan tersebut sangat berbahaya dalam kaitannya dengan kelangsungan pemerintahan dan negara.
Hal itu diungkapkannya dalam acara Rosi 'KompasTV', Kamis (22/10/2020).
Baca juga: Di Mata Najwa, Rocky Gerung Andaikan DPR Bermutu soal UU Cipta Kerja: Pasti Tidak Disuruh ke MK
Baca juga: Alasan Naskah UU Cipta Kerja Terbaru Berubah Jadi 1.187 Halaman hingga Ada Pasal yang Hilang
Dalam kesempatan itu, Yasonna meyakini bahwa seruan pembangkangan sipil dilakukan bukan murni sebagai seruan dalam artian demokrasi.
Melainkan lebih bersifat sebagai provokasi untuk menciptakan kegaduhan.
Menurutnya, sebagai negara hukum, semua persoalan di negeri ini harusnya bisa diselesaikan atau dibicarakan melalui jalur yang benar, yakni secara konstitusional.
Dalam kasus ini maka bisa melalui Mahkamah Konstitusi.
"Kita mengakui pasal 1 ayat 3 Undang-undang Dasar enggak? Kita banyak pengajar hukum tata negara di sini," ujar Yasonna.
"Atau kalau enggak percaya lagi ke Mahkamah Konstitusi berarti distrust for constitutional institution-nya," jelasnya.
"Bukan lagi berbahaya, sangat mengerikan menurut saya."
Yasonna lantas menilai bahwa seruan-seruan semacam itu tidak tidak terlepas dengan adanya unsur politik.
"Kita mengajar orang yang tidak banyak paham tentang undang-undang ini untuk melakukan disorder, ini kan elit saja, tapi provokasi rakyat," kata Yasonna.
Baca juga: Rocky Gerung Beberkan Komentar Publik Internasional soal UU Cipta Kerja, Sebut Dianggap Berbahaya
Hal itu kemudian ditanggapi oleh dosen Hukum Tata Negara STIH Jentara, Bivitri Susanti.
Menurutnya, tidak bisa langsung menyimpulkan bahwa seruan pembangkangan sipil sebagai bentuk ketidakpercayaan terhadap konstitusi.
"Ini bukan soal ketidakpercayaan kepada konstitusi bahkan gerakan civil disobedience (pembelotan sipil, -red) itu sendiri sebenarnya berada di ranah konstitusi," katanya.
"Makanya sebenarnya dikritik sebagai sesuatu yang tidak revolusioner karena gerakan civil disobedience ini justru mau menajamkan, sebenarnya constitutional value kita apa," jelas Bivitri.
Lebih lanjut, Bivitri menilai munculnya seruan tersebut tentunya dipengaruhi juga oleh bagaimana sikap atau respons dari pemimpinnya.
Dikatakannya bahwa selama ini pemerintah, khususnya Presiden Joko Widodo (Jokowi) seakan lepas tangan begitu saja atas aksi unjuk rasa menolak Omnibus Law UU Cipta Kerja.
"Publik itu kan membutuhkan juga bahwa kekecewaan mereka dibicarakan dulu, diberikan saluran-salurannya," ucapnya.
"Karena ketika mau dibawa ke presiden, presiden langsung bilang 'Bawa saja ke Mahkamah Konstitusi'," pungkasnya.
Simak videonya mulai menit ke- 3.35
(TribunWow/Elfan Fajar Nugroho)