Pilkada Serentak 2020

Soal Harta Gibran 'Cuma' Rp21 M, Refly Harun Ungkit Masih Ada Saham: Tidak Tahu Dilaporkan Tidak

Penulis: Brigitta Winasis
Editor: Maria Novena Cahyaning Tyas
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Gibran Rakabuming Raka (tengah) diajukan DPC PDIP untuk maju dalam Pilkada Solo 2020.

TRIBUNWOW.COM - Pakar hukum tata negara Refly Harun mengungkap bagaimana permainan dalam Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) yang seharusnya disampaikan secara jujur.

Hal itu ia singgung berkaitan dengan majunya putra sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi), Gibran Rakabuming Raka, dalam Pemilihan Wali Kota Solo pada Desember mendatang.

Dilansir TribunWow.com, Refly menyoroti hal itu dalam tayangan di kanal YouTube Refly Harun, Senin (28/9/2020).

Ilustrasi Uang (hai.grid.id)

Ragukan Kualitas Demokrasi Pilkada 2020, Pengamat Politik Contohkan Tangerang Selatan: Rendah Sekali

Diketahui dalam LHKPN Gibran menyampaikan jumlah kekayaannya sebesar Rp21,1 miliar per 2 September 2020.

Meskipun begitu, Refly meragukan jumlah ini.

Ia menjelaskan ada banyak cara untuk mengelabui laporan kekayaan yang diperlukan dalam pilkada.

"Sering sekali, misalnya tanah. Tanah itu yang dilaporkan NJOP (Nilai Jual Objek Pajak) yang jauh sekali dari nilai pasar," papar Refly Harun.

"Mungkin NJOP-nya Rp2 juta, tapi nilai pasarnya Rp15 juta dan itu bisa sangat signifikan sekali kalau orang memiliki properti di tempat yang mahal dengan NJOP yang masih murah," lanjutnya.

Ia menyinggung ada kemungkinan kepemilikan saham yang tidak dilaporkan dalam LHKPN.

Refly memberi contoh dalam perusahaan yang sifatnya patungan, kekayaan yang dimiliki tidak diatasnamakan satu orang.

"Yang lainnya adalah keterkaitan dengan saham-saham di perusahaan. Saham-saham di perusahaan tersebut kita tidak tahu, apakah dilaporkan atau tidak," jelasnya.

Yakini Partisipasi Pilkada 2020 akan Sedikit, Azyumardi: Saya Mau Golput, yang Lain Mau Ikut Silakan

"Atau perusahaan yang memang perusahaan patungan, di mana hartanya sudah menjadi harta yang terpisah. Itu juga tidak tahu apakah dilaporkan atau tidak," lanjut Refly Harun.

Ia menyinggung hal-hal semacam ini yang umumnya tidak dilaporkan dalam laporan harta kekayaan.

"Jadi makin orang memutar uang dalam bisnis yang kompleks, makin berat orang melaporkan semuanya," terang pengamat politik itu.

Dalam kasus tersebut, sulit untuk menentukan percampuran harta karena sudah bercampur dengan entitas hukum lain.

"Sehingga praktis yang dilaporkan hanya harta yang dikuasai 100 persen," kata Refly.

"Misalnya rumah, uang kas atau setara kas, atau tanah yang memang atas nama yang bersangkutan, dan harta-harta lainnya yang penguasaannya 100 persen," paparnya.

Lihat videonya mulai menit 9:30

Mahfud MD Beberkan Fakta Sosok 'Cukong' dalam Pilkada

Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengungkapkan fakta tentang praktek kotor dalam pemilihan umum (pemilu).

Ia menyebutkan praktek kecurangan semacam ini nantinya akan menimbulkan korupsi kebijakan, terutama di pemilihan kepala daerah (pilkada).

Dilansir TribunWow.com, hal itu ia sampaikan kepada Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas, yang ditayangkan TvOne, Sabtu (12/9/2020).

• Olla Ramlan hingga Pasha Ungu, Berikut Deretan Artis yang Gagal Maju Pilkada Serentak 2020

"Berangkat dari keprihatinan bahwa pilkada langsung itu telah menimbulkan masalah besar, maraknya korupsi yang semakin besar," papar Mahfud MD.

Ia menyinggung kesaksian politisi Ryaas Rasyid terkait penyelenggaraan pilkada di daerahnya.

Menurut Ryaas Rasyid, banyak warga yang menunggu adanya 'amplop' berisi sogokan uang untuk memilik calon tertentu.

"Pak Ryaas Rasyid kalau bercerita sebagai penggagas ekonomi daerah di era informasi, di daerah dia di Sumatera Selatan, kalau menjelang pilkada rakyat itu enggak tidur sampai pagi, lampunya hidup," ungkit Mahfud MD.

"Kenapa? Nunggu serangan fajar, nunggu amplop," jelasnya.

"Sehingga itu dianggap merusak rakyat," tambah Menko Polhukam.

Ilustrasi korupsi (KOMPAS/HERU SRI KUMORO)

Tidak hanya itu, ia mengungkapkan fakta adanya sosok pemilik modal alias cukong yang membiayai peserta pilkada tertentu.

Mahfud mengungkapkan praktek ini cukup lazim, bahkan hanya 8 persen calon kepala daerah yang menggunakan biaya sendiri.

"Belum lagi permainan percukongan, di mana calon-calon itu 92 persen dibiayai oleh cukong," ungkap Mahfud.

Praktek kotor ini menimbulkan dampak ketika calon tersebut terpilih menjadi kepala daerah.

• Soal Mahar Politik Miliaran Rupiah, Refly Harun Tantang Calon Pilkada: Siapa Berani Tunjuk Tangan?

Kepala daerah terpilih yang dibiayai pemodal akan merasa berkewajiban mengembalikan biaya pilkada.

"Sesudah terpilih itu melahirkan korupsi kebijakan," jelas Mahfud MD.

"Korupsi kebijakan itu lebih bahaya dari korupsi uang. Kalau uang bisa dihitung," tegas mantan Menteri Pertahanan ini.

Dalam tayangan yang sama, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron menyampaikan fakta serupa.

"Faktanya dalam kajian KPK sebelumnya, ada sekitar 82 persen calon-calon kada (kepala daerah) didanai oleh sponsor, tidak didanai oleh pribadinya," ungkap Nurul Ghuffron.

"Sehingga itu menunjukkan akan ada aliran-aliran dana dari sponsor kepada calon kepala daerah," terangnya. (TribunWow.com/Brigitta Winasis)