TRIBUNWOW.COM - Pakar hukum tata negara Refly Harun menanggapi gerakan kotak kosong melawan pasangan Gibran Rakabuming Raka-Teguh Prakosa.
Dilansir TribunWow.com, hal itu ia sampaikan dalam kanal YouTube Refly Harun, diunggah Senin (10/8/2020).
Diketahui sejauh ini belum ada pasangan calon penantang pasangan Gibran-Teguh yang diusung PDIP dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Solo 2020 tersebut.
• PSI Ditawari Rp 1 Miliar untuk Lawan Gibran di Pilkada Solo, PAN: Itu Orang-orang Sudah Frustasi
Kemudian muncul gerakan yang diinisiasi aktivis budaya Kota Solo Zen Zulkarnaen untuk mendukung kotak kosong.
Ia beralasan tidak baik jika pemilihan hanya diikuti calon tunggal.
Menanggapi hal itu, Refly mengungkit saat ini elektabilitas Gibran sangat dipengaruhi faktor ayahnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi).
"Jangan-jangan dibantu relawan-relawan Jokowi juga dari luar Solo," kata Refly Harun.
Ia lalu berkomentar tentang gerakan kampanye mendukung kotak kosong tersebut.
"Luar biasa kalau Gibran kalah dengan kotak kosong," komentarnya.
Menurut Refly, adanya calon tunggal dalam pemilu membuat demokrasi tidak sehat.
Ia menyinggung ada banyak daerah yang berpotensi memiliki calon tunggal dalam Pilkada Serentak 2020.
"Yang dipermasalahkan adalah sebuah mekanisme yang tidak menjunjung demokratisasi, baik di level lokal maupun di level nasional," jelasnya.
• PSI Dihargai Rp 1 Miliar untuk Usung Penantang Gibran, Refly Harun: Kok Cara Berpikirnya Begini?
Pengamat politik ini menilai fenomena calon tunggal tidak sesuai dengan esensi pilkada.
Pasalnya tidak ada rival yang menjadi pembanding dengan calon tersebut.
"Benar juga, memang. Kita capek-capek buat pilkada langsung, tapi yang terjadi adalah hanya satu calon," papar Refly Harun.
"Memang agak aneh sebenarnya," tambahnya.
Menurut Refly, fenomena calon tunggal terjadi karena ada aturan ambang batas minimal (treshold) jumlah kursi di DPR yang harus dipenuhi partai untuk mengajukan calon.
"Itu salah satu sebab dari diterapkannya treshold di dalam pilkada," ungkitnya.
Ia menilai hal ini bertentangan dengan tujuan awal diadakan pilkada langsung.
"Bayangkan yang namanya pilkada langsung itu adalah biar masyarakat bisa memilih calonnya secara langsung untuk menggantikan peran oligarki melalui Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999," kata dia.
"Di mana kepala daerah itu dipilih oleh DPRD," tambahnya.
Lihat videonya mulai menit 3:00
PSI Tersanjung Ditawari Rp 1 Miliar untuk Lawan Gibran di Pilkada
Pakar hukum tata negara Refly Harun menilai Partai Solidaritas Indonesia (PSI) tidak memahami maksud tawaran Rp1 miliar pada pemilihan kepala daerah (pilkada).
Dilansir TribunWow.com, hal itu ia sampaikan dalam kanal YouTube Refly Harun, diunggah Jumat (7/8/2020).
Diketahui PSI mendukung Gibran Rakabuming Raka dan Teguh Prakosa dalam Pilkada Solo 2020.
• Bertemu Megawati, Puan Maharani, hingga FX Rudi, Ini yang Jadi Bahasan Gibran Rakabuming
Ketua DPD PSI Solo Antonius Yogo Prabowo mengaku diajak berkoalisi dengan sejumlah partai politik untuk mendukung penantang Gibran-Teguh.
Refly Harun lalu membacakan kutipan berita dari Kompas.com pada Kamis (6/8/2020) terkait hal tersebut.
"Meski tidak menyebut parpol mana saja yang mengajak berkoalisi untuk melawan putra presiden tersebut, namun dirinya mengaku tidak menyangka dengan adanya tawaran itu," Refly Harun membacakan.
"Pasalnya, dalam ajakan itu ia juga mendapat tawaran uang hingga mencapai Rp 1 miliar jika bersedia bergabung."
Refly menilai Yogo tidak dapat memutuskan hal itu sendiri tanpa pertimbangan DPP partai.
"'Ada nominal yang ditawarkan. Dan ini menurut kami tanda petik tersanjung sebagai pendatang baru di dunia politik. Pencapaian kami ternyata ada harganya. Nilainya fantastis, di luar dugaan mendekati Rp 1 miliar,' ungkap Yogo."
Reaksi Yogo ketika mendapat tawaran itu tersanjung karena merasa diperhitungkan dalam kancah politik.
Namun Refly Harun menilai Yogo justru tidak paham dengan maksud tawaran uang bernilai fantastis tersebut.
"Ini enggak paham ini," ungkap Refly.
• Pilkada Solo 2020, PSI Akui Ditawari Rp 1 Miliar untuk Usung Penantang Gibran-Teguh: Di Luar Dugaan
Menurut dia, tawaran itu dapat dikategorikan sebagai candidacy buying, yakni memberi imbalan dalam proses pencalonan yang dapat disebut suap.
"Kalau ditawari uang begitu, namanya candidacy buying. Itu yang namanya 'sewa perahu' yang sering kita katakan," paparnya.
Refly menjelaskan praktek semacam itu dapat dikenai hukuman berupa diskualifikasi sesuai undang-undang yang berlaku.
"Dan itu menurut Undang-undang Pilkada berbuah hukuman. Bagi partai yang menerima akan dihukum tidak boleh mencalonkan untuk pilkada berikutnya," terang pengamat politik tersebut.
Ia menyebutkan diskualifikasi dapat berlangsung dua arah, bagi bakal calon dan partai.
"Bagi calon yang memberikan, baik langsung maupun melalui orang lain akan didiskualifikasi," kata Refly.
"Cuma masalahnya walaupun undang-undangnya atau aturannya ada, enggak ada orang yang didiskualifikasi gara-gara candidacy buying ini dan itulah masalahnya," tambahnya. (TribunWow.com/Brigitta Winasis)