TRIBUNWOW.COM - Pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun memberikan tanggapan terkait keluarnya putusan Mahkamah Agung (MA) terkait sengketa pada Pilpres 2019, yaitu Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 5 Tahun 2019.
MA telah mengabulkan gugatan dari Rachmawati Soekarnoputri selaku Wakil Ketua Badan Pemenangan Nasional (BPN) pasangan calon presiden Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno.
Dilansir TribunWow.com, Refly Harun mengaku mempunyai dua pandangan penting dari persoalan tersebut.
• Unggah Foto Berdua Bareng Jokowi, Prabowo Subianto: Kementerian Pertahanan akan Terus Bersinergi
Dikutip dalam acara Dua Sisi 'tvOne', Kamis (9/7/2020), Refly Harun mengatakan bahwa persoalan tersebut dapat dilihat dari sudut pandang waktu dan substansi.
"Jadi kalau kita melihat kasus ini, saya ada dua dimensi yang penting, waktu dan substansi," ujar Refly Harun.
Berkaitan dengan waktu, Refly Harun memberikan sorotan khusus kepada MA, yaitu berkaitan dengan lamanya putusan itu dikeluarkan.
Dikatakannya bahwa umumnya MA seharusnya sudah bisa mengeluarkan putusan setelah 30 hari kerja.
Namun pada kenyataannya, putusan tersebut baru keluar pada 28 Oktober 2019 atau setelah kurang lebih 5 bulan lamanya dari tanggal pengajuan pada 13 Mei 2019.
"Dari sisi waktu, kan menjadi pertanyaan luar biasa mengapa permohonan ini diputus sangat lama sekali," kata Refly.
"Kita tahu bahwa kan diajukannya pada tanggal 13 Mei, kemudian baru diputuskan pada 28 Oktober, kira-kira lima bulan lebih," jelasnya.
"Padahal kalau kita patuh kepada aturan harusnya 30 hari kerja sudah diputuskan."
• Yusril Sebut Putusan MA Dipelintir dan Tidak Batalkan Kemenangan Jokowi-Maruf Amin di Pilpres 2019
Menurut Refly Harun, ketika putusan tersebut keluar dalam waktu 30 hari, maka masih bisa digunakan mengadili suatu sengketa yang terjadi, karena masih bisa dikatakan dalam masa Pilpres.
Sedangkan ketika putusan tersebut keluar pada 28 Oktober, maka tentu sudah tidak berlaku lagi.
Seperti yang diketahui, pelantikan Presiden dan Wakil Presiden terpilih sudah dilakukan seminggu sebelumnya, yakni 20 Oktober 2019.
"Kalau 30 hari kerja diputuskan, putusan itu akan berarti untuk kemudian ketika ada sengketa," kata Refly Harun.
"Tetapi ketika diputuskan pada 28 Oktober, maka proses berpilpresnya sudah selesai," terangnya.
"Karena sudah selesai itulah, apapun yang diputuskan tidak akan mempunyai dampak apa-apa."
Pandangan kedua adalah dari substansi atau teorinya.
Dikatakan Refly Harun bahwa putusan dari MA tersebut akan berlaku pada Pemilu-pemilu ke depan jika kembali terdapat hanya dua calon saja.
"Kedua, dari sisi teori memang putusan itu memang berlaku prospektif ke depan. Jadi ini penting bagi perbaikan pada pemilu kita ke depan," ungkapnya.
• Politikus Hanura Pesan pada Oposisi untuk Tak Berharap dari Reshuffle Jokowi: Memalukan Menurut Saya
Simak videonya mulai menit awal:
Refly Harun: Tidak Mungkin Batalkan Hasil Pemilu
Pakar hukum tata negara Refly Harun membahas putusan Mahkamah Agung (MA) yang mengabulkan gugatan atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 5 Tahun 2019.
Dilansir TribunWow.com, hal itu ia bahas dalam kanal YouTube Refly Harun, diunggah Rabu (8/7/2020).
Diketahui sebelumnya MA mengabulkan gugatan Rachmawati Soekarnoputri atas uji materi Pasal 3 Ayat (7) PKPU tentang Penetapan Pasangan Calon Terpilih, Penetapan Perolehan Kursi, dan Penetapan Calon Terpilih dalam Pemilihan Umum.
Dalam pertimbangannya, keputusan MA berdasarkan PKPU dinilai membuat norma baru dari peraturan yang menaunginya, yaitu UU Nomor 7 Tahun 2019.
Refly Harun kemudian turut menanggapi berita tersebut.
"Ketika saya membaca ini, saya langsung ketawa," komentar Refly Harun.
Menurut Refly, meskipun putusan itu diterbitkan bukan berarti hasil pemilihan presiden lalu dibatalkan.
"Rasanya tidak mungkin Mahkamah Agung membuat sebuah putusan yang membatalkan hasil pemilu, baik langsung maupun tidak langsung," jelas Refly.
• Tanggapi Beredarnya Calon Menteri Baru Jokowi, Politikus Hanura: Jangan Ada yang Ge-er, Belum Tentu
Ia menjelaskan membatalkan hasil pemilu bukan kewenangan MA.
Refly menyebutkan putusan MA hanya berpengaruh terhadap peraturan yang diterbitkan KPU.
"Cuma soalnya adalah Mahkamah Agung berwenang dalam melakukan uji materi atau judicial review terhadap Peraturan KPU," paparnya.
"Peraturan KPU itulah yang dibatalkan," lanjut pakar hukum tersebut.
Menanggapi polemik tersebut, pihak KPU turut angkat bicara melalui Komisioner Hasyim Asy'ari.
Ia menegaskan hasil putusan MA tidak berpengaruh pada penetapan Presiden dan Wakil Presiden terpilih pada Pemilu 2019.
"Putusan MA Nomor 44 Tahun 2019 tidak berpengaruh terhadap keabsahan penetapan paslon Presiden dan Wapres terpilih hasil Pemilu 2019," kata Hasyim Asy'ari, dikutip dari Kompas.com, Selasa (7/7/2020).
Hasyim menjelaskan putusan tersebut tidak memengaruhi hasil Pilpres karena asas hukum dan ketentuan perundang-undangan tidak berlaku surut.
"Karena putusan MA tersebut adalah pengujian norma PKPU, maka tidak dapat diberlakukan surut terhadap peristiwa hukum yang telah dilaksanakan," papar Hasyim.
• PAN Tawarkan 4 Nama Menteri yang Berpeluang Berkoalisi, Saleh Daulay Tunggu Keputusan Jokowi
Hasyim menyinggung putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 50 tahun 2014 tentang pelaksanaan Pilpres yang hanya diikuti dua paslon.
Apabila terjadi kondisi tersebut, maka tidak perlu ada putaran kedua pemilihan.
"Dalam UU 7/2017 tidak ditentukan secara tekstual norma tentang Pilpres dalam situasi diikuti hanya oleh 2 paslon tidak perlu putaran kedua, namun tetap berlaku norma sebagaimana terdapat dalam Putusan MK 50/2014 dalam situasi yang sama Pilpres 2019 diikuti hanya 2 paslon tidak perlu putaran kedua," kata Hasyim.
Dalam putusannya, MA menetapkan Pasal 3 Ayat (7) PKPU bertentangan dengan UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Diketahui gugatan terhadap PKPU tersebut diajukan Rachmawati Soekarnoputri yang saat itu menjadi Wakil Ketua Badan Pemenangan Nasional Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.
Gugatan dikabulkan pada 28 Oktober 2019 dan diunggah di situs resmi MA pada 3 Juli lalu.
Lihat videonya mulai menit 7:20
(TribunWow/Elfan Nugroho/Brigita)