TRIBUNWOW.COM - Jumlah pasien Virus Corona di Surabaya, Jawa Timur masih terus meningkat.
Hal itu membuat Ketua Himpunan Putra Putri Keluarga Angkatan Darat (Hipakad), Jawa Timur, Priyo Effendi merasa kecewa dengan warga Surabaya.
Di acara Kompas Petang pada Senin (29/6/2020), Priyo Effendi juga menyesalkan istilah Bonek dalam kehidupan warga Surabaya saat pandemi Covid-19.
• Warga Surabaya Belum Jera, Keluarga TNI AD Kritik Risma: Tampak Sekali Kurang Ketegasannya
Priyo mengatakan, dirinya pernah mengusulkan agar sudut-sudut keramaian di Surabaya dipasangi suara rekaman Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini alias Risma.
Sehingga, warga yang melanggar akan takut mendengar suara Risma tersebut.
"Lah ini saya pernah usulkan bahwa ditempatkanlah corong-corong itu di beberapa tempat yang sebanyak-banyaknya dengan diputarkan kaset atau rekaman suara Bu Risma itu di pasar-pasar yang setiap saatnya bisa diputarnya lama sekali durasi memutarnya," jelasnya.
Ia juga menilai seharusnya pemerintah berani menutup pasar jika terbukti ada sejumlah penjual atau pembeli yang melanggar aturan protokol kesehatan.
"Ya diminta untuk masyarakat itu untuk mematuhi apabila tidak dipatuhi akan diberikan sanksi yang tegas atau yang menyebabkan pasar itu bisa ditutup," kata dia.
Lalu, Priyo juga menyinggung banyaknya warga yang tidak mengenakan masker.
"Jadi masih banyak masyarakat itu yang meremehkan sekali khususnya menyangkut dengan masker."
"Saya pernah jalan di kampung-kampung itu dalam memberikan bantuan dari Hipakad ini saya melihat rumah-rumah yang berdempetan itu banyak warganya yang di luar tanpa mengenakan masker," cerita Priyo.
• Apa Alasan Wali Kota Surabaya Risma Tiba-tiba Sujud dan Nangis di Kaki Dokter Sudarsono?
Selain itu, Priyo turut menyentil 'jiwa Bonek' yang tetap dianut masyarakat Surabaya dalam menghadapi pandemi Covid-19.
Priyo menyayangkan hal itu, karena Covid-19 menyangkut masalah nyawa orang.
"Ini yang sulit untuk dilakukan itu, lagian masyarakatnya Surabaya itu yang selalu mengambil istilah Bonek itu jadi kesannya itu ya meremehkan, ya agak memberanikan mungkin ada sok beraninya melawan."
"Padahal kita ini satu hal yang harus diperhatikan sungguh-sungguh karena ini menyangkut nyawa," sentilnya.
Sehingga, kemarahan Risma selama ini percuma jika tak sampai kepada masyarakat.
"Jadi kita lihat juga Bu Risma yang teriak-teriak itu enggak cukup kalau di tempat Bu Risma saja," katanya.
Ia menambahkan, kesadaran masyarakat untuk menghadapi Virus Corona di Surabaya tidak cukup.
• Dengar Keluhan RS Corona di Surabaya Overload, Risma Sujud dan Menangis di Kaki Dokter
Pasalnya, masyarakat Surabaya dinilai meremehkan penyakit ini.
"Ya perlu kesadaran masyarakatpun itu enggak bisa juga pompa, kita ikuti secara langsung karena apa ya itu diremehkannya itu."
"Mereka yang sepertinya menganggap hal ini penting atau serius, padahal ini sangat-sangat serius karena ini menyangkut nyawa," ucapnya.
Lihat videonya mulai menit ke-3:22:
Pandangan Pakar Sosial pada Aksi Sujud Risma
Pemerhati Sosial, Devie Rahmawati turut menanggapi soal viral Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini yang bersujud dan menangis pada Dokter Ikatan Dokter Indonesia (IDI), dokter Sudarsono pada Senin (29/6/2020).
Komentar itu diungkapkan oleh Devie Rahmawati melalui channel YouTube metrotvnews pada Selasa (30/6/2020).
Menurut Devie Rahmawati, Risma sudah hafal bahwa masyarakat memang suka dengan simbol-simbol tertentu, misalnya dengan bersujud itu.
• Sentil Jiwa Bonek, Keluarga TNI AD Jatim Kecewa pada Warga Surabaya: Risma Teriak Itu Nggak Cukup
Apalagi simbol seperti sujud dan menangis itu terjadi di tengah tingginya Virus Corona di Surabaya.
"Ya pertama yang perlu kita pahami dan maknai dari apa yang ditunjukkkan oleh Ibu Risma selaku pemimpin adalah beliau sepertinya memahami betul karakter masyarakat kita yang syarat memang dengan simbol-simbol."
"Di tengah-tengah ketidakpastian, kebingungan dan ketakutan warga terhadap Virus Corona ini yang dalam konteks nasional, Jawa Timur adalah yang tertinggi di Indonesia," jelas Devie,
Menurut Devie, Risma memang ingin menunjukkan kepada warganya bahwa ia bersama rakyat Surabaya menangani Covid-19.
Meski demikian, tontonan seperti itu tidak terlalu penting dalam konteks krisis seperti sekarang.
"Upaya Ibu Risma untuk menyampaikan pesan bahwa yang bersangkutan berupaya dengan sangat keras untuk mendampingi warganya."
"Di satu sisi ini jadi tontonan simbolik yang penting namun dalam konteks krisis tontonan simbolik bukanlah segalanya," ujar Devie.
• Warga Surabaya Belum Jera, Keluarga TNI AD Kritik Risma: Tampak Sekali Kurang Ketegasannya
Devie berpandangan, yang terpenting saat ini adalah bagaimana pemimpin daerah bisa mencari jalan keluar sekaligus memberikan harapan untuk menangani Covid-19.
"Sebenarnya dalam krisis yang paling diuji adalah kepemimpinan dari para tokoh dalam konteks ini tentu saja para pemimpin-pemimpin daerah."
"Karena kalau kita ilustrasikan krisis itu seperti layaknya semua orang dalam sebuah rumah yang kemudian mengalami kebakaran, di situlah pemimpin dibutuhkan untuk menunjukkan arah ke mana semua orang agar tidak panik, saling memukul, saling menginjak untuk mencari jalan keluar sekaligus memberikan harapan," jelasnya.
Sehingga bisa disimpulkan, sujud Risma di depan publik itu perlu ditindaklanjuti dengan tindakan yang tegas.
"Oleh karenanya apa yang dilakukan oleh Bu Risma tentu saja harapannya tidak berhenti dengan bersujud," pungkasnya.
• Tanggapan Dokter Sudarsono setelah Risma Sujud dan Menangis di Kakinya: Merasa Gimana Gitu Ya
Lihat video berikut mulai menit ke-00:40:
(TribunWow.com/Mariah Gipty)