Terkini Nasional

Tak Mau Disamakan dengan Kelompok John Kei, Debt Collector: Kita Enggak Mau Dicap Stigma Preman 

Penulis: Mariah Gipty
Editor: Ananda Putri Octaviani
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Pengusaha Jasa Keamanan atau 'Debt Collector' Marsyel Ririhena merasa berbeda dengan kelompok John Kei Rosi, Kamis (25/6/2020).

TRIBUNWOW.COM - Pengusaha Jasa Keamanan atau 'Debt Collector' Marsyel Ririhena merasa dirinya berbeda dengan kelompok John Kei.

Hal itu diungkapkan Marsyel Ririhena di acara Rosi Kompas TV pada Kamis (26/6/2020).

Sebagaimana diketahui, pernyataannya ini menyusul masalah John Kei menyerang Nus Kei di Green Lake City, Tangerang pada Minggu (21/4/2020), yang kini masih terus menjadi sorotan.

Kolase foto Pengusaha Jasa Keamanan Marsyel Ririhena dan John Kei. Marsyel Ririhena angkat bicara tentang aksi premanisme yang dilakukan kelompok John Kei. (Capture YouTube Kompas TV/TRIBUNJAKARTA.COM/Annas Furqon Hakim)

Terungkap Sikap Anak Buah John Kei pada Penyidik, Polisi: Mereka Gentleman Berani Mengakui

Dalam kesempatan itu, Marsyel enggan mengomentari soal apa yag dilakukan oleh John Kei.

Menurutnya setiap orang memiliki urusannya masing-masing.

"Kalau bung-bung ini semua punya apa namanya, cara-cara sendiri yang mungkin sudah mereka lakukan dalam jangka waktu tertentu."

"Artinya kita tidak mencampuri urusan-urusan bung-bung atau urusan-urusan kita bersaudara yang lain," papar Marsyel.

Meski demikian, Marsyel menegaskan bahwa pihaknya selama ini telah mengerjakan pekerjaannya secara profesional.

"Tapi saya lihat dari beberapa, dari sebagian besar orang Maluku yang diberikan kepercayaan oleh klien untuk menagih hutang itu rata-rata mereka sudah mengarah ke hal-hal yang profesional," ungkap dia.

Pasalnya, ujar Marsyel, pihaknya juga ingin memberi makan keluarga dari uang yang halal.

Tubagus Sebut Tak Ada Istilah Preman Dihukum, Kelompok John Kei Dihukum karena Melakukan Kejahatan

Marsyel lantas menegaskan bahwa pekerjaannya itu benar dan tak menyalahi aturan.

"Karena mereka istilahnya kasih keluarga sesuatu yang halal kan. Dan kita enggak mau dicap sebagai stigma preman, kita enggak mau."

"Karena kita memang benar-benar melakukan sesuatu yang betul dan baik," katanya.

Lihat videonya mulai menit ke-3:30:

Status Preman Tak Dapat Dihukum

Pada kesempatan yang sama, Tubagus menjelaskan seseorang tidak dapat dihukum hanya atas dasar label 'preman' yang dilekatkan.

Tubagus membahas hal itu untuk menanggapi kasus penyerangan kelompok John Kei terhadap rumah milik pamannya, Nus Kei, di di Perumahan Green Lake City, Cipondoh, Tangerang, Minggu (21/6/2020).

• Soroti Sikap Anak Buah John Kei saat Ditangkap, Polisi Singgung Loyalitas: Habis Melakukan, Mengakui

Ia kemudian mengusut kasus tersebut dengan membahas fenomena premanisme di Jakarta.

"Saya akan meninjau sisi preman itu dari kaidah hukum pidana," kata Tubagus Ade Hidayat.

Tubagus menjelaskan tidak ada istilah 'preman' dalam hukum.

"Kalau di pidana tidak ada istilah 'preman', tetapi adalah orang yang melakukan kejahatan," jelasnya.

Ia menyebutkan seseorang tidak dapat dihukum hanya karena disebut sebagai preman.

Menurut Tubagus, seseorang hanya dapat dihukum jika melanggar hukum.

"Seseorang tidak akan pernah dihukum karena preman. Seseorang itu dihukum karena hukum pidana," paparnya.

"Hukum pidana objeknya adalah perbuatan yang dilarang," lanjut Tubagus.

Tubagus menyebutkan seorang preman sekalipun tidak dapat dihukum apabila tidak melanggar undang-undang.

"Selama dia preman, lalu tidak melakukan kegiatan yang dilarang dalam undang-undang, tidak masalah," ungkapnya.

Ia kemudian menanggapi kasus John Kei yang tengah ramai diperbincangkan.

• Nus Kei Ngaku Sering Dapat Ancaman dari John Kei sebelum Penyerangan: Saya Tak Berpikir Itu Terjadi

Tubagus menilai ada sejumlah faktor yang muncul di balik itu.

"Sekarang kenapa kok muncul ramai? Mungkin analisis sementara mengatakan karena memang dia digunakan," kata Tubagus.

Menurut Tubagus, korban umumnya enggan melaporkan aksi preman yang dilakukan terhadapnya.

"Kedua, kesulitan kepolisian adalah ketika ada orang kena aksi preman seperti dipalak, kerugiannya kadang-kadang tidak besar, tapi banyak," jelasnya.

"Ketika ditanya, dia tidak mau terlalu sibuk dengan urusan itu dilaporkan kepada kepolisian," lanjut Tubagus.

Tubagus menyebutkan korban merasa proses pelaporan akan panjang dan justru merepotkan.

"Dalam hukum pidana, tidak ada keterangan saksi, tidak ada yang mau bersaksi padahal dia dirugikan," kata Tubagus.

"Daripada dia harus bersusah-susah misalnya, harus meluangkan waktu untuk melaporkan kepada polisi, dia memilih untuk tidak melapor," lanjutnya.

Ia menilai faktor-faktor tersebut membuat premanisme sulit dihapuskan.

"Itulah kemudian menjadi salah satu faktor tumbuh subur," tambah Tubagus. (TribunWow.com/Mariah Gipty/Brigitta Winasis)