TRIBUNWOW.COM - Pakar Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga (FKM Unair) Atik Choirul Hidayah menjelaskan alasan banyaknya orang yang enggan mengikuti tes Covid-19.
Hal itu ia sampaikan menanggapi masih tingginya kasus positif Virus Corona (Covid-19) di Jawa Timur.
Atik menilai banyak orang yang belum paham seluk-beluk Virus Corona dan bagaimana penyebarannya.
• Kasus Corona Jatim Capai 4.922, Pakar Epidemiologi Sebut Bukan Kondisi Nyata: Jauh Lebih Banyak
Dilansir TribunWow.com, awalnya Atik menyebutkan faktor penyebab kasus positif Covid-19 di Jawa Timur masih tumbuh.
"Di satu sisi terkait tracing dan testing, di sisi yang lain terkait bagaimana perilaku dari kita sendiri," kata Atik Choirul Hidayah, dalam tayangan Apa Kabar Indonesia Pagi di TvOne, Selasa (2/6/2020).
Ia lalu menjelaskan bagaimana Virus Corona menular ke orang lain, yakni melalui cairan yang keluar dari organ pernapasan dan mulut.
"Kita tahu bagaimana Covid ini penyebarannya melalui droplet. Droplet ini akan mengikuti setiap pergerakan kita," jelas Atik.
"Kalau kita berbicara, kita bersin, kita batuk, maka akan ada droplet yang keluar dari kita," lanjut dia.
"Ini yang berpotensi menimbulkan penularan," papar Atik.
Ia mengimbau masyarakat mengurangi aktivitas yang melibatkan interaksi dengan orang lain.
Seperti diketahui, pemerintah juga mengeluarkan imbauan agar menunda kegiatan yang melibatkan massa.
"Oleh karena itu, imbauan terhadap aktivitas yang sesedikit mungkin kita kontak dengan orang lain itu harus kita perhatikan," tegas Atik.
Ia lalu menyinggung alasan banyak orang enggan mengikuti tes Covid-19.
Menurut Atik, masih banyak orang belum paham pentingnya mengikuti tes tersebut.
• Wanita di Cianjur Tolak Lakukan Rapid Test dan Coba Lobi Petugas: Saya Sehat Kok, Damai Aja Pak
"Nah, selain itu yang terkait dengan penolakan untuk tracing dan testing, terjadi karena banyak masyarakat yang belum paham," kata Atik.
Selain itu, masyarakat masih belum mengerti alasan harus dilakukan tracing dan testing.
Atik menduga hal itu muncul karena stigma buruk yang dilekatkan pada penderita positif Virus Corona.
"Ini bisa terjadi akibat dari masih banyak stigma, kalau dia positif, nanti akan seperti apa," ungkap Atik.
Ia menegaskan masyarakat harus mendapat edukasi tentang dampak stigma buruk semacam ini.
"Penolakan-penolakan bisa terjadi karena hal-hal seperti itu," jelasnya.
Atik membenarkan banyak orang sengaja menghindar ikut tes Covid-19.
"Takut mungkin ini tindakannya invasif dan sebagainya," jelas Atik.
Ia menyebutkan penting adanya sosialisasi terkait rapid test atau swab yang bertujuan melacak penyebaran virus.
"Jadi harus disampaikan, misalnya tes itu gunanya untuk apa, caranya bagaimana," papar Atik.
"Kalau orang tahu, bisa membayangkan," tambahnya.
• Muncul Klaster Baru Jatim, Khofifah Ungkap Tak Jaga Jarak saat Salat Tarawih: Berjemaah di Masjid
Lihat videonya mulai menit 2:20
Ungkap Jumlah Kasus Jauh Lebih Banyak
Sebelumnya, Atik Choirul Hidayah mengungkapkan kondisi terkini perkembangan kasus Virus Corona (Covid-19) di Jawa Timur.
Seperti diketahui, jumlah kasus positif di Jawa Timur mencapai 4.922 pasien per Senin (1/6/2020) malam.
Atik menilai tingginya angka tersebut menunjukkan kemungkinan masih banyak kasus yang belum terungkap.
• Muncul Klaster Baru Jatim, Khofifah Ungkap Tak Jaga Jarak saat Salat Tarawih: Berjemaah di Masjid
Dilansir TribunWow.com, hal itu ia sampaikan saat dihubungi dalam acara Apa Kabar Indonesia Pagi di TvOne, Selasa (2/6/2020).
Atik menyebutkan angka yang terpampang di grafik saat ini belum merepresentasikan kenyataan.
"Angka 4.900 ini bisa jadi sudah puncak, tetapi ini bukan menggambarkan kondisi yang riil," kata Atik Choirul Hidayah.
"Artinya yang ada di masyarakat ini masih jauh lebih banyak," lanjut dia.
Atik menduga sebenarnya ada angka lebih besar lagi di lapangan.
Menurut Atik, hal tersebut dapat diketahui dari melacak penyebaran kasus dan melakukan tes massal.
"Kalau dilakukan tracing dan testing yang lebih masif, mungkin jumlah ini akan lebih besar lagi," papar Atik.
Ia lalu menerangkan parameter yang dapat menentukan pertumbuhan kasus sudah berada di puncak kurva.
"Banyak indikator yang dapat digunakan untuk melihat bagaimana perjalanan dari suatu pandemi itu," kata Atik.
"Kalau tadi, salah satunya adalah dari jumlah kasus yang ditemukan," jelas dia.
Meskipun jumlah kasus menentukan parameter, Atik menambahkan perlu dilihat juga dari jumlah tes yang sudah dilakukan.
• Kasus Baru Virus Corona Jatim Melonjak, Emil Dardak: 76 Persen Pasien Tak Merasa Terjangkit Covid-19
"Jumlah kasus yang ditemukan ini harus kita lihat juga dari berapa banyaknya orang yang dites," ungkap Atik.
"Jadi positivity rate-nya akan menentukan. Itu salah satu indikator," lanjut dia.
Atik menambahkan ada indikator kurva epidemik yang belum digarap pemerintah dalam penanganan Covid-19.
"Indikator yang lain dari penemuan tadi, ini yang belum banyak bisa digambarkan dengan baik itu adalah kurva epidemik," sambungnya.
Ia mengungkapkan alasan pentingnya melihat kurva epidemik.
"Karena waktu munculnya gejala pertama kali itu sering tidak diperoleh. Ini dapat terjadi karena tracing yang dilakukan terhadap kasus-kasus tidak berjalan secara optimal," jelas Atik. (TribunWow.com/Brigitta Winasis)