TRIBUNWOW.COM - Ekonom INDEF, Bhima Yudhistira memberikan tanggapan terkait rencana kehidupan normal baru atau New Normal di tengah pandemi Virus Corona.
Dilansir TribunWow.com, Bhima Yudhistira meminta pemerintah benar-benar mempertimbangkan secara matang kemungkinan tersebut.
Bhima menyadari bahwa New Normal memang harus dilakukan supaya ada pergerakan di bidang ekonomi.
• Ekonom INDEF Sebut New Normal sebagai Kebijakan Prematur, Singgung Vietnam dan Penerapan PSBB
Namun menurutnya, jika tujuannya seperti itu maka pemerintah harus memperhatikan beberapa sektor ekonomi.
Terlebih kepada para sektor ekonomi yang lemah seperti para UMKM.
Bagaimana cara untuk memberikan protokol kesehatan yang baik kepada mereka.
Karena merekalah yang akan terlibat langsung di lapangan saat New Normal diterapkan.
"Pertama yang harus kita lihat adalah bagaimana sektor yang paling lemah dalam perekonomian yaitu sektor UMKM itu bisa mematuhi protokol kesehatan," ujar Bhima.
Bhima mengatakan bahwa saat ini hanya ada sekitar 13 persen UMKM yang sudah memanfaatkan platform jual beli online.
Menurutnya, mereka juga harus mendapatkan perhatian.
Dirinya mencontohkan kondisi di negara tetangga Malaysia.
Meski tidak ada istilah New Normal, pemerintah Malaysia tetap memberikan bantuan berupa subsidi internet kepada para UMKM di bidang jual beli online.
• Tanggapi Pertaruhan di New Normal, Fadjroel Rachman: Kehidupan Memang adalah Pertaruhan
Selain itu, para UMKM lain juga harus mendapatkan subsidi dalam bentuk apapun.
"Yang kedua fakta bahwa hanya 13 persen UMKM yang memanfaatkan platform untuk jual beli," kata Bhima.
"Nah ini upaya dari pemerintah gimana, karena kalau di Malaysia mereka tidak perlu bicara New Normal-New Normal, mereka memberikan subdisi internet, salah satunya dirasakan bagi UMKM yang berjualan secara online," jelasnya.
Maka dari itu, Bhima meminta pemerintah benar-benar mempunyai pemikiran dan gambaran yang matang dan jelas.
Menurutnya, yang dibutuhkan masyarakat pelaku ekonomi saat ini bukanlah hanya sekadar imbauan untuk tetap menjaga protokol kesehatan semata.
"Jadi harus ada parameter dan harus ada prasyarat," ungkapnya.
"Jadi bukan hanya imbauan harus ini harus itu, tetapi juga pemerintah memberikan subsidi untuk mengarah kepada perbaikan ekonomi rakyat," imbuhnya.
Lebih lanjut, Bhima menyoroti sikap yang dilakukan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) ketika melakukan kunjungan di sebuah pusat perbelanjaan di Bekasi.
• Menggebu-gebu Bahas New Normal, Pakar Epidemiologi: Kita Bisa Saja Masuk ke Jurang Abnormal
Ia mempertanyakan maksud yang dilakukan Jokowi tersebut.
Hal itu bahkan sempat membuat banyak pihak yang menyebut bahwa Jokowi akan segera membuka mall-mall.
Sedangkan masalah utama yang sebenarnya akan dihadapi saat pandemi dan New Normal nanti adalah di bidang pangan.
"Kemudian di era New Normal yang paling menjadi bahaya adalah sekarang kan kita menghadapi krisis pangan, tetapi mengapa yang dicek pertama kali pusat perbelanjaan," kata Bhima.
"Ini kan menimbulkan tawa," pungkasnya.
Simak videonya: 10.25
Sebut New Normal sebagai Kebijakan Prematur
Ekonom INDEF, Bhima Yudhistira memberikan sorotan negatif terhadap kebijakan pemerintah soal New Normal.
Dilansir TribunWow.com, Bhima Yusdhistira secara terang-terangan menyebut bahwa New Normal sebagai bentuk kebijakan yang prematur.
Pemerintah dinilai masih terlalu dini atau terburu-buru dalam mengambil langkah New Normal untuk menyikapi penyebaran Virus Corona.
Hal ini disampaikannya dalam acara Satu Meja The Forum yang tayang di kanal Youtube KompasTV, Rabu (27/5/2020).
• Tanggapi Pertaruhan di New Normal, Fadjroel Rachman: Kehidupan Memang adalah Pertaruhan
Dirinya lantas menyinggung negara-negara lain yang sudah lebih dulu menerapkan New Normal, termasuk negara tetangga Vietnam.
Menurutnya, apa yang dilakukan oleh mereka memang sudah waktunya untuk melakukan New Normal.
Ia mengatakan Vietnam mempunyai indikator yang jelas dan tepat yakni menunggu sampai tidak ada kasus meninggal.
Dan indikator tersebut dilihat secara nasional bukan per daerah seperti yang akan dilakukan di Indonesia.
"Ini kan kebijakan yang sangat prematur sebenarnya, jadi kita kalau melihat di negara lain kamus New Normal seperti di Vietnam, Selandia Baru, kemudian juga ada di Taiwan itu kan indikatornya bisa dilihat," ujar Bhima.
"Indikatornya bukan per provinsi begitu, tetapi indikatornya adalah nasional ketika korban Covid-nya itu sudah melandai," jelasnya.
"Bahkan di Vietnam baru melonggarkan ketika angka kematiannya nol (0), sehingga Kafe dibuka toko dibuka, kehidupan pelan-pelan berjalan mengikuti arus yang disebut New Normal tadi," imbuhnya.
• Ungkit Kegagapan Atasi Corona, Pakar Wanti-wanti soal New Normal: Kalau Belum Siap Ya Jangan
Kondisi tersebut tentunya sangat jauh berbeda dengan yang sedang terjadi di Tanah Air.
Menurut Bhima, Indonesia dirasa masih belum siap untuk melakukan New Normal karena melihat jumlah dan penbambahan kasus Corona yang masih tergolong tinggi.
Dirinya kemudian menyinggung soal penerapan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang diterapkan di beberapa daerah.
Ia mengatakan dengan adanya PSBB saja masih longgar terlebih ketika dilakukan New Normal.
Maka dari itu pemberlakukan New Normal di waktu yang tidak tepat tentunya justru akan mempunyai risiko tinggi.
"Kalau di Indonesia ini menurut saya sangat prematur karena indikator kesehatannya enggak bisa dilihat cuman yang ada di PSBB, karena PSBB itu terbukti juga masih longgar," kata Bhima.
"Masih banyak kemudian yang memaksa untuk mudik, dan masih ada yang kemudian diperbolehkan izin transportasi, tidak disiplin," pungkasnya.
(TribunWow/Elfan Fajar Nugroho)