TRIBUNWOW.COM - Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly telah membebaskan ribuan narapidana dalam rangka mencegah penularan Virus Corona di dalam sel.
Dilansir TribunWow.com, hal itu pun menuai kritikan, satu di antaranya dari Ahli Psikologi Forensik Reza Indragiri.
Menurut Reza Indragiri, kebijakan Yasonna Laoly itu tak ada hubungannya dengan pencegahan Virus Corona.
Karena itu, ia mengaku sempat bersuara meskipun Yasonna Laoly tetap membebaskan ribuan narapidana yang beberapa di antaranya bahkan kembali berbuat onar sesaat setelah menghirup udara bebas.
• Kartu Pra Kerja Sudah Diluncurkan, Menko Perekonomian: Bantuan Hangus jika 30 Hari Belum Digunakan
• Jenazah Dokter Pasien Corona Dikubur Tanpa Peti, Petugas Bingung Tak Berani Sentuh: Pakai Bambu
Pernyataan tersebut disampaikan Reza Indragiri melalui tayangan YouTube tvOneNews, Sabtu (11/4/2020).
"Dengan segala hormat ke pemerintah terutama ke Pak Menteri, beberapa waktu lalu, sehari sebelum keluarnya surat keputusan menteri itu saya termasuk salah satu orang yang sudah angkat suara."
"Saya khawatir bahwa ada ketidaksinkronan antara alasan dibebaskannya para napi tersebut dengan tujuannya."
Reza lantas menyinggung soal kriteria narapidana yang dibebaskan dari penjara.
"Kalau kita baca di surat keputusan menteri itu jelas dalam rangka penanganan atau pencegahan Covid-19," kata Reza.
"Tapi kemudian kalau kita baca kriteria yang dilepas ada yang dua per tiga masa hukuman, ada yang setengah masa hukuman dan seterusnya."
Menurut Reza, keputusan membebaskan narapidana itu sama sekali tak berkaitan dengan pencegahan Virus Corona.
• Pengamat Politik Imbau Buruh Tak Demo di Tengah Pandemi Corona: Jika Nekat Berarti Para Buruh Egois
Ia pun menyoroti soal korban Virus Corona yang tak mengenal umur.
"Pertanyaan yang paling mendasar, apa hubungannya antara masa hukuman dengan pencegahan Covid-19?," tanya Reza.
"Bukankah selama ini publik sudah diinformasikan bahwa segala lapisan usia bisa terjangkit dan menularkan Covid-19?"
Tak hanya itu, Reza juga mengungkap kemungkinan besar para narapidana itu kembali berbuat kerusuhan semenjak lepas dari sel.
Ia lantas mempertanyakan soal risiko yang bakal terjadi selepas Yasonna Laoly membebaskan narapidana itu.
"Jadi kalau kemudian dibuat kriteria dua per tiga atau setengah masa hukumannya selesai, itu sungguh-sungguh tidak relevan dengan Covid-19 itu sendiri," jelasnya.
"Yang kedua, sesuai dengan disiplin ilmu yang saya tekuni, saya mempertanyakan pakah orang yang dibebaskan dalam rangka pencegahan Covid-19 itu sudah menjalani penakaran risiko atau belum?"
Simak video berikut ini dari menit awal:
Wacana Napi Koruptor Bebas
Usulan Menteri Hukum, dan HAM Yasonna Laoly soal pembebasan narapidana koruptor terkait wabah Virus Corona (Covid-19) sempat menggegerkan publik.
Selang beberapa hari, Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) langsung menyatakan bahwa tidak ada rencana pembebasan napi koruptor.
Lewat acara Indonesia Lawyers Club, Selasa (7/4/2020), Yasonna menjelaskan dari mana sebenarnya usul tersebut bisa muncul, dan menghebohkan publik.
• Penjelasan Yasonna Laoly soal Napi Koruptor juga Rawan Terjangkit Corona: Bang Karni, Ini Realitas
Pertama, Yasonna bercerita bagaimana dirinya dihujat habis-habisan akibat menyatakan usulan tersebut.
"Saya dikritik habis oleh banyak orang, sampai-sampai saya mengatakan belum apa-apa sudah memprovokasi, membuat halusinasi, dan imajinasi tentang apa yang belum dilaksanakan," kata Yasonna.
Sebelum membahas pokok persoalan, Yasonna menjelaskan mengapa bisa muncul ide pembebasan narapidana.
Yasonna menceritakan dirinya mendapat pesan, dari Komisi Tinggi Untuk HAM PBB, Michelle Bachelett, Sub Komite Pencegahan Penyiksaan PBB yang merekomendasikan agar Indonesia membebaskan sejumlah napinya yang tinggal di lapas dengan kapasitas yang sudah terlalu banyak.
Yasonna menambahkan tidak sembarang napi bisa dikeluarkan, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi.
"Pelaku yang sakit, pelaku yang rendah risiko, perempuan, perempuan hamil, perempuan menyusui, penyandang disabilitas, tahanan politik, napi yang sudah tua, dan masih banyak lagi," ujarnya.
Pria kelahiran Tapanuli tersebut lanjut menjelaskan bahwa pembebasan napi tidak hanya dilakukan di Indonesia, namun di seluruh dunia.
"Ini dilakukan di seluruh dunia Pak Karni," terang Yasonna.
Yasonna menconothkan Iran yang telah membebaskan 85 ribu napi, dan memberikan amnesti bagi 10 ribu tahanan politik mereka.
"Saya disurati Dubes Iran untuk membebaskan, dan memberi perhatian pada napi-napi warga negara Iran, tapi ketentuan perundang-undangan, saya tidak memungkinkan melakukan itu," kata Yasonna.
"Polandia membebaskan 20 ribu, Amerika, California membebaskan 3.500, New York 1.000, masing-masing negara bagian mengeluarkan banyak."
Yasonna kemudian mencontohkan negara-negara yang tidak melakukan pembebasan narapidana justru mengalami kerusuhan.
"Dan negara-negara yang enggan melakukan pembebasan napi di tengah badai konflik Covid-19 mengalami kerusuhan," katanya.
Negara-negara yang dicontohkan Yasonna mengalami kerusuhan karena konflik dengan napi di antaranya adalah Thailand, Italia, dan Kolombia.
Merujuk dari imbauan PBB, akhirnya Yasonna membicarakan masalah tersebut dengan Presiden Jokowi.
"Dan setelah memerhatikan kondisi real (lapangan -red) di lapas kami yang sangat over (kelebihan) kapasitas, kami berkumpul dengan teman-teman memperhatikan imbauan dari Komisioner Tinggi HAM PBB, kami berpendapat bahwa kita harus membebaskan dengan beberapa persyaratan tertentu," kata Yasonna.
Yasonna menekankan bahwa pada saat rapat terbatas (ratas) dengan RI 1, di sana sama sekali tidak dibahas tentang usul pembebasan koruptor.
"Dalam Ratas ini kami bawa, presiden setuju untuk yang 30an ribu ini, kami tidak berbicara Tipikor, benar apa yang disampaikan Bapak Presiden," terangnya. (TribunWow.com)