TRIBUNWOW.COM - Budayawan, Sudjiwo Tedjo, turut mengomentari soal kasus pembunuhan yang dilakukan remaja 15 tahun (NF) di Sawah Besar, Jakarta Pusat.
Sebagaimana diketahui, NF disebut oleh polisi membunuh bocah 5 tahun berinisial APA karena terinspirasi dari film.
Bahkan, NF juga mengaku tidak menyesal dengan apa yang sudah dilakukannya.
Dilansir TribunWow.com dari channel YouTube Indonesia Lawyers Club pada Rabu (11/3/2020), Sudjiwo Tedjo mulanya menyinggung soal karya sastra dari Spanyol, Don Quixote.
• Bahas Kasus NF di ILC, Sudjiwo Tedjo Tunjuk Narasumber Wanita, Karni Ilyas: Kenapa Harus Haniva?
Don Quixote mengisahkan seorang tua yang merasa dirinya masih muda ingin menyelamatkan seorang perempuan dari raksasa.
"Pak Karni inget Don Quixote enggak itu sastra besar Spanyol ya, itu ada Don Quixote diceritakan di situ akan menyelamatkan seorang putri saya lupa namanya De Sine De Tupose dari serangan raksasa."
"Ternyata dalam novel itu, Don Quixote adalah seorang orang tua namanya Alonso, orang dusun yang ingin menyelamatkan De Sine, itu kayak wanita Diana Putri, Dianaya Koes Ploes, Diananya miskin bukan seorang putri," cerita Sudjiwo Tedjo.
Sudjiwo Tedjo menceritakan bahwa Alonso sebenarnya tidak membunuh seorang raksasa melainkan tetangga sebelah desanya.
Namun, Alonso terus merasa bahwa apa yang dibunuh adalah raksasa.
"Pertanyaan putri itu seandainya di dalam kehidupan sehari-hari si Don Quixote yang nama aslinya Alonso seorang tua benar-benar menganggap ada raksasa mau menyerang tetangga sebelah desanya itu, dia membunuh karena delusi," lanjut Sudjiwo Tedjo.
• Di ILC, Haniva Hasna Ungkap Alasan NF Tega Bunuh Bocah dan Tak Menyesal: Mungkin Dia Sedang Narsis
Sudjiwo Tedjo menilai, perasaan tak bersalah Don Quixote membunuh tetangganya itu seperti apa yang dilakukan NF.
Ia mengatakan bahwa baik Don Quixote maupun NF tidak merasa bersalah membunuh karena delusi.
"Yang pertama adalah dia tidak akan menyesal karena itu delusi, enggak aku membunuh dia karena dia mengancam si anak ini, yang mungkin terjadi begitu juga pada si anak yang sedang kita bicarakan."
"Kenapa seolah-olah dia tidak merasa bersalah atau terjadi dia merasa menyesal karena itu delusi," ucap dia.
Lalu, Sudjiwo Tedjo mengatakan bahwa dalam diri manusia itu ada dua macam, diri yang mengalami dan diri yang bercerita.
"Dan ini yang secara kebudayaan oleh karena manusia terdiri dari dua, diri yang mengalami dan diri yang bercerita," ucapnya.
Lantas, Sudjiwo Tedjo menyebutkan contoh dari teori tersebut.
• ILC Bahas ABG Bunuh Bocah di Jakpus, Sudjiwo Tedjo Ungkit Sumanto: Dari Mana Dia Dapat Delusi?
"Kalau menurut diri yang mengalami, perempuan itu kapok melahirkan. Tapi dia harus bercerita ini untuk negara, untuk rumah tangga dia bercerita," ungkap Sudjiwo Tedjo.
"Semua tentara yang diamputasi itu nyesel pak kalau menurut diri yang alami veteran-veteran itu, tapi karena ini demi bangsa dan negara supaya dia enggak nyesel," imbuhnya.
Sehingga, Budayawan asal Jember ini mengatakan bahwa delusi yang diciptakan oleh film bisa menjadi berbahaya jika memang diyakini oleh seseorang.
Hal itu bisa menjadi bahaya jika seseorang mempercayai dirinya merupakan seorang karakter tertentu.
Sehingga, bisa jadi NF tidak meenyesal dengan apa yang dilakukan karena dia sudah merasa bahwa cerita dalam film itu memang kehidupannya.
• Di ILC, Tetangga ABG Pembunuh Bocah di Jakpus Soroti Pesan Mau Siksa Baby: Yang Punya Saya Doang
"Yang paling bahaya dari delusi-delusi yang diciptakan oleh film oleh cerita-cerita yang lain itu kalau dia sudah meyakini itu sebagai kehidupanya."
"Itu kalau Don Quixote tadi si orang tua Alonso tadi betul-betul dalam kehidupan sehari-hari menyangka itu Don Quixote, dia enggak akan tetap merasa bersalah karena dia sudah menginternalisasi dalam dirinya si peran itu, si peran yang dibayangkan di film-film Spiderman sudah ada dalam dirinya," jelasnya.
Lihat videonya mulai menit ke-3:00:
Pelaku Ungkap Selama Ini Menahan Diri untuk Tak Membunuh
Kapolres Jakarta Pusat, Kombes Pol Heru Novianto, kembali memberikan pernyataan mengenai kasus pembunuhan seorang remanja SMP kepada seorang bocah.
Dalam penuturannya, Heru mengungkapkan hasil interogasi dengan pelaku pembunuh APA (15) pada bocah inisial NF (5) di Sawah Besar, Jakarta Pusat.
Hal itu diungkapkan Kapolres Jakarta Pusat, Kombes Pol Heru Novianto saat menjadi narasumber di acara Sapa Indonesia Malam Kompas TV pada Sabtu (7/3/2020).
• Pengakuan ABG Pembunuh Bocah 5 Tahun, Benci Orang Tuanya yang Bercerai dan Tinggalkan Dirinya
Kombes Pol Heru Novianto mengatakan, pihaknya kini belum mengetahui apakah pembunuhan yang dilakukan NF merupakan tindakan pembunuhan berencana.
Untuk itu, pihaknya masih ingin mendalami masalah tersebut.
Hingga kini, kepolisian tetap akan mendalami kasus pembunuhan yang dilakukan oleh APA.
"Kalau kita melihat memang kita masih mendalami terutama untuk pemeriksaannya," ujar Heru.
Akan tetapi, berdasarkan apa yang dinyatakan pelaku, sebelumnya ia pernah merasakan keinginan untuk membunuh.
Namun, perasaan itu sempat bisa ditahannya.
"Pada saat kita konftrontir tanggung jawab langsung dia tidak pernah menyatakan saya rencanakan tidak."
"Tetapi yang dia sampaikan saya pernah merasakan hal seperti ini tapi bisa saya tahan," beber Heru.
Sedangkan, pada saat pembunuhan itu terjadi pada Kamis (9/3/2020), NF mengaku sudah tidak kuat untuk tidak membunuh.
• Psikolog Forensik Sebut ABG Pembunuh Bocah di Sawah Besar Bukan Psikopat: Kita Bicara soal Anak-anak
"Jadi tidak hanya terhadap ke anak tapi pada saat itu dia sudah tidak bisa menahan emosinya untuk melakukan itu," jelas Heru.
"Jadi tidak direncanakan tapi pernah dia merasa ingin melakukan tapi bisa ditahan," sambungnya.
Lalu, Pakar Psikologi Forensik, Reza Indragiri menyinggung soal Colous Unemotional.
"Merasa pertanyaanya? Merasa apa sesungguhnya dengan perilaku sedemikian rupa."
"Kalau istilah itu dipakai Colous Unemotional maka boleh jadi tidak ada perasaan bergejolak di situ," singgung Reza.
Reza mengatakan bahwa sebenarnya kognitif emphaty atau empati pemikiran pelaku berjalan.
"Itu sebabnya karangan ilmuan membedakan antara Cognitif emphaty, empati pemikiran dengan affective emphaty, empati perasaan."
"Yang mendorong seseorang datang ke polisi tapi tanpa rasa penyesalan kognitif emphaty," katanya.
• Diperiksa Polisi, Orangtua ABG Pembunuh Bocah Usia 6 Tahun Beberkan Kebiasaan Pelaku saat SD
Cognitif Emphaty membuat seseorang tahu yang dia perbuat keliru.
"Dia tahu persis bahwa apa yang dilakukan ini keliru dia tahu persis bahwa apa yang dia lakukan kemudian ini tanda petik memberikan kemanfaatan tertentu," jelas Reza.
Namun, Reza menduga affective emphaty atau perasan empati pada pelaku tidak berjalan.
"Apalah kemudian affective emphaty tergugahnya perasaan akan ikut mengiringi belum tentu," pungkasnya.
Lihat videonya mulai menit ke-10:32:
(TribunWow.com/Mariah Gipty)