TRIBUNWOW.COM - Selebriti Sophia Latjuba menyoroti soal polemik perubahan ujian nasional (UN).
Dilansir TribunWow.com dari tayangan Mata Najwa, Rabu (18/12/2019), Sophia Latjuba menyebut bahwa pemerintah harus segera membuat perubahan terkait ujian nasional.
Menurutnya, saat ini sudah tidak ada waktu, karena korban ujian nasional terus berjatuhan.
Mulanya, peneliti Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan Anindito Aditomo mengungkap bahwa setiap kali ganti menteri, pasti ada kebijakan yang diganti, termasuk soal pendidikan.
• Terkait Ujian Nasional, Putra Nababan: Jangan Ganti Menteri, Ganti Kebijakan dan Kurikulum
"Dari perspektif pengamat, saya sudah sejak lama berseberangan dengan Kemendikbud," ujar Anindito.
"Jadi kalau dikatakan pemerintah selama ini ganti menteri ganti kebijakan pendidikan, tidak terlalu tepat juga."
"Di level kebijakan spesifik barangkali ada pergantian, UN diutak-atik, namanya berubah."
"Tapi selama ini, 15 tahun, dan jauh sebelumnya, masih sama semua paradigmanya," sambung Anindito.
Anindito kemudian menyebut bahwa paradigma UN adalah kontrol dan pengawasan.
"Yaitu kontrol dan pengawasan," ucapnya.
"UN ini adalah salah satu instrumen utama pemerintah untuk mengontrol, mengawasi guru."
"Saya justru apresiasi sekali, saya selama ini menentang pemerintah, tapi sekarang berbalik 180 derajat," imbuhnya.
"Karena memberikan kemerdekaan pada guru?," tanya pembawa acara Najwa Shihab.
"Betul," ungkap Anindito.
Terkait hal itu, Najwa Shihab kemudian menanyakan hal itu ke Komisioner KPAI Retno Listiyarti.
"Saya ke Bu Retno, apakah guru-guru kita, ketika diberikan kemerdekaan bisa memanfaatkan itu," tanya Najwa Shihab.
"Jangan-jangan banyak yang tidak mau berubah karena sekarang sudah enak mengajarnya, latihan soal saja?," sambungnya.
Menanggapi hal itu Retno Listiyarti menyebut bahwa selama ini cara mengajar guru tidak berubah.
"Pertama 25 tahun dari hasil data, riset, 25 tahun kondisi sekolah-sekolah kita, termasuk cara mengajar guru, itu enggak berubah," jawabnya.
"Artinya pendekatannya ceramah, kemudian ujiannya adalah pilihan ganda."
"Nah selama 25 tahun ini tentu kalau kita naik kapal tanker, belokinnya itu butuh ancang-ancang, betul butuh persiapan."
"Nah, namun bukan berarti tidak bisa," sambungnya.
Retno Listiyarti kemudian menyatakan bahwa saat ini guru-guru memang harus berubah.
"Kedua, guru-guru ini memang harus berubah, harus didorong bahwa sekarang harus berubah," ucapnya.
"Sekarang gini ya, ujian nasional kan tidak semua mata pelajaran, nah sekarang apakah guru-guru yang tidak diuji, apakah selama ini perasaannya gimana?"
"Kayak anak tiri," imbuhnya.
Retno Listiyarti pun menjelaskan maksud ucapannya itu.
"Karena anak-anak menganggap pelajaran yang penting adalah pelajaran yang di-UN kan," bebernya.
"Padahal seharusnya semua sama."
Menurutnya, sekarang ini guru hanya mengejar kecerdasan akademik siswa.
"Kecerdasan yang lain tidak teroptimalkan, anak-anak yang misalnya kayak Mbak Nana (Najwa) nih, bagaimana membawa acara, itu kan butuh sebuah kemampuan."
"Nah tapi kan kalau tidak jago matematika dianggap bodoh akhirnya di Indonesia," ungkap Retno Listiyarti.
Mendengar hal itu, Sophia Latjuba kemudian memberikan tanggapan.
Spohia Latjuba menyinggung soal pihak-pihak yang meminta waktu untuk melakukan perubahan, dengan tetap memakai UN sebagai standarisasi.
"Kalau bicara soal standarisasi saya mengerti apa kekhawatirannya," katanya.
"Ada yang bilang 'Kasih waktu dulu lah, kita benahi dulu, ujian nasional tetap sebagai standarisas, kita perlakukan ujian nasional sebagai standarisasi'."
Sophia Latjuba lantas menyoroti soal anak-anak, yang bisa menjadi korban dari sistem seperti itu.
"Tapi jangan lupa, kita berhadapan dengan anak-anak," ujarnya.
"Yang otaknya setiap hari itu masih bisa diubah seperti jelly."
"Kalau kita tidak bisa bikin perubahan secara secepatnya, itu korban berjatuhan tiap hari loh."
"Bukan hanya pada ujian nasional, prosesnya juga akan mengeliminasi cognitive bring connection yang sangat-sangat krusial untuk nantinya," imbuh Sophia Latjuba.
Ia pun menyebut bahwa saat ini sudah tidak ada waktu lagi, sehingga harus segera berubah.
"Jadi kalau dibilang kita butuh waktu, kita sudah tidak ada waktu lagi sebenarnya."
"Ini seperti global warming, sudah tidak ada waktu," sambungnya disambut tepuk tangan riuh dari hadirin di Mata Najwa.
Mendengar pernyataan tersebut, Anggota Komisi X DPR Fraksi Gerindra Sudewo turut buka suara.
Menurutnya, konteks UN dihapus atau tidak dengan perubahan dari hafalan ke penalaran berbeda.
"Konteks ini berbeda, antara ujian nasional dihapus atau tidak, dengan mengubah dari hafalan ke penalaran," ucap Sudewo.
"Ini konteksnya berbeda, saya setuju konteks dari hafalan diubah jadi penalaran."
"tetapi ujian nasional itu tidak harus dihapus, kan selama ini yang dikatakan hafalan, hanya kognitif belaka, ini diubah menjadi penalaran kan bisa."
"Jadi dua-duanya, tetap ada standar penilaian," sambungnya.
• Ujian Nasional Dihapus Mendikbud Nadiem Makarim, Wapres Maruf Amin Ingatkan soal Ini
Penjelasan Nadiem Makarim
Sementara itu, Mendikbud Nadiem Makarim menjalani rapat dengar pendapat (RDP) dengan DPR RI Komisi X, Kamis (12/12/2019).
Dalam rapat tersebut, pria yang akrab disapa mas menteri ini menjelaskan secara rinci tentang program assessment pengganti UN.
Dikutip dari laman Kompas.com, Nadiem mengatakan dalam assessment tersebut akan merujuk pada penilaian PISA, yaitu literasi dan numerasi.
"Kita telah menarik inspirasi dari berbagai asesmen di seluruh dunia, tidak hanya Indonesia. Kita bekerja sama dengan organisasi yang membuat PISA, yaitu OECD yang semuanya mengasesmen murni kompetensi bernalar," ujarnya.
"Artinya konten dari asesmen kompetensi sangat sulit dibimbelkan," lanjut Nadiem.
Nadiem menilai, kedua hal tersebut sangat penting dimiliki oleh tiap individu.
"Topiknya cuma dua. Satu, literasi, yaitu kemampuan memahami konsep bacaan. Bukan membaca. Yang kedua adalah numerasi, yaitu bukan kemampuan menghitung, tapi kemampuan mengaplikasikan konsep hitungan di dalam suatu konteks yang abstrak atau yang nyata," kata Nadiem.
Tak hanya soal pengukuran literasi dan numerasi, Nadiem lalu menjelaskan soal survey karakter.
Hal ini dilakukan untuk menilai penanaman dan penerapan nilai-nilai Pancasila di lingkungan sekolah.
Nadiem berujar, pengajaran soal Pancasila ini bukan hanya sekadar menghafalkan sila-sila tersebut, tetapi juga mengamalkannya dalam kehidupan.
• Nadiem Makarim Jelaskan Format Pengganti Ujian Nasional (UN) hingga Perubahan Sistem Zonasi
"Caranya bukan dengan nanya sila apa atau lambang Indonesia. Asas-asas seperti gotong royong, keadilan, kebinekaan, toleransi. Hal-hal seperti ini akan kita ubah jadi format simple dalam survei," tutur Nadiem.
"Apakah misal ia dikondisikan dengan aman, apakah ia di-bully di kelas, apakah mendapatkan tekanan dari orang tua, guru, dan teman di lingkungan, apakah diberikan ajaran yang tidak toleran, apakah ia diberikan kesempatan beropini. Seperti itu," jelasnya. (TribunWow.com/Lailatun Niqmah/Fransisca Mawaski)