Terkini Internasional

Soal Tudingan China 'Rayu' Ormas Islam, Robikin Emhas: Nahdlatul Ulama Tidak Mungkin Pernah Begitu

Penulis: Laila N
Editor: Mohamad Yoenus
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Robikin Emhas menanggapi laporan Wall Street Journal, soal 'rayuan' China kepada ormas islam di Indonesia, Sabtu (14/12/2019).

TRIBUNWOW.COM - Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Robikin Emhas menanggapi laporan Wall Street Journal, soal 'rayuan' China kepada ormas islam di Indonesia.

Dilansir TribunWow.com dari tayangan Kabar Petang tvOne, Robikin dengan tegas menyatakan bahwa Nahdlatul Ulama (NU) tidak mungkin menerima rayuan atau suap dari China, Sabtu (14/12/2019).

Diketahui, Wall Street Journal menyebut bahwa China berupaya merayu sejumlah organisasi Islam seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, media Indonesia, hingga akademisi.

 

China Dituduh Ambil Paksa Organ Narapidana Pengikut Falun Gong dan Uighur, Ini Faktanya

Di mana rayuan itu ditujukan agar mereka tak lagi mengkritik dugaan persekusi yang diterima etnis minoritas Muslim Uighur di Xinjiang.

"Pertama sikap Nahdlatul Ulama sama dengan sikap Negara Kesatuan Republik Indonesia," ujar Robikin.

"Jika pemerintah kita anti-penindasan, anti-penjajahan, dan kita, harus punya sikap yang tegas dan jelas untuk memperjuangkan martabat kemanusiaan."

Robikin menyebut bahwa sikap seperti itu tidak bisa ditawar.

Oleh karenanya, tidak mungkin NU bersikap seperti yang dituduhkan Wall Street Journal.

"Sikap itu tidak bisa ditawar, satu," tegas Robikin.

"Apalagi ditawar hanya bujuk rayu terkait dengan apa katanya, iming-iming bantuan, atau apa pun."

"Nothing! Nahdlatul Ulama tidak mungkin pernah begitu," sambungnya.

Kunjungan ke Uighur

Robikin kemudian menyinggung soal perjuangan Nadhlatul Ulama dalam memperjuangkan kemerdekaan RI.

"Lha wong Nahdlatul Ulama memperjuangkan kemerdekaan Indonesia," bebernya.

"Berkorban, berdarah-darah, harta, benda, jiwa sampai mengisi kemerdekaan juga berjuang, berdarah-darah."

"Lha kok ada saudara muslim, misalnya betul dipersekusi, ditindas, lalu diam saja, tidak mungkin, satu," sambung Robikin.

Robikin lantas menceritakan bahwa NU telah berkunjung ke Xinjiang dan Uighur untuk melihat kondisi umat Muslim di sana.

"Yang kedua, perlu kami tegaskan, kami juga selain pernah berkunjung ke Xinjiang, sebelum ke Uighur, juga ketemu dengan tokoh-tokoh agama di sana," ucap Robikin.

"Kami pada akhirnya dalam kurun waktu berikutnya, berkunjung ke Uighur, ketemu juga dengan orang-orang yang disebut media barat sebagai orang-orang yang disandera di kamp."

"Lalu kami juga menerima kunjungan Muslim Uighur di luar negeri."

"Ya kalau dulu kasus Aceh, ya pejuang Aceh yang ada di luar negeri kira-kira begitu," tuturnya.

Pelarangan Peribadatan

Ormas islam dan MUI saat kunjungi Xinjiang (YouTube/tvOneNews)

Pembawa acara kemudian memutarkan video ketika sejumlah tokoh ormas dan MUI berkunjung ke Xinjiang.

Menanggapi hal itu, Robikin memberikan penjelasan soal kunjungan NU.

"Saya yang memimpin rombongan dari Nahdlatul Ulama, ada lima orang," ungkap Robikin.

"Muhammadiyah ada lima orang, dipimpin oleh Prof Syafiq Mughni."

"Dan dari MUI juga ada 5 orang, disertai teman-teman media," lanjutnya.

Robikin menerangkan, bahwa apa yang ia lihat di cuplikan video, memang demikian adanya.

Ia pun menjelaskan mengenai hukum di China terkait pemelukan agama.

"Tapi poin saya begini, supaya masyarakat jelas, supaya kita tidak terjebak oleh proxy war," katanya.

"Konstitusi China berdasarkan yang dijelaskan dan dokumen yang kemi pahami, memberikan kebebasan untuk memeluk, atau tidak memeluk suatu agama."

Meski demikian, menurut Robikin, ada masalah yang kemudian timbul dalam pelaksaan peraturan tersebut.

"Nah tetapi berikutnya di dalam peraturan pelaksanaannya, ada problem di situ, menurut pandangan kami, menurut catatan kami," ujar Robikin.

"Apa problemnya? Bahwa umat beragama hanya boleh menjalankan peribadatan di tempat-tempat peribadatan yang tersedia atau di ruang privat."

"Oleh karena itu di kantor-kantor pemerintah, di instansi-instansi di mana orang bekerja, termasuk di lembaga pendidikan yang tidak berbasis agama, tidak bisa menjalankan peribadatan."

Ia kemudian mencontohkan perbandingan dengan sebuah islamic college di Xinjiang.

"Nah kalau di Xinjiang ada islamic college, kami pernah berkunjung ke sana dalam kesempatan yang lain," kata Robikin.

"Ada universitas di sana yang pendidikannya berbasis agama, boleh beribadah."

"Ada masjid, masjidnya besar, ada pendidikan ilmu hadist, Alquran, boleh."

Hal tersebut berbeda dengan tempat lain, di mana tidak boleh melakukan peribadatan.

"Tetapi tempat yang disebut tempat vokasi itu, merupakan lembaga pendidikan yang tidak berbasis agama," ungkap Robikin.

"Sehingga Muslim Uighur di sana yang diduga terpapar virus radikalisme dan terorisme itu, tidak bisa menjalankan peribadatan."

"Tentang hal ini, kami punya konsen, waktu dubes China yang ada di Indonesia itu berkunjung ke PBNU, kami juga mengusulkan agar, kami juga memohon agar dikasih kesempatan menjalankan peribadatan."

"Sama sikap kita ketika dubes Amerika datang ke PBNU pada suatu kesempatan, kami juga menyampaikan 'Kalau di Sana Hari Natal itu libur, kenapa Muslim kalau Idul Fitri, atau agama lain tidak diliburkan?"

"Kami juga menyampaikan harapan yang sama, sebagaimana harapan kami kepada China, jadi supaya tidak salah paham," imbuhnya.

Bela Umat Muslim Uighur, GNPF Ulama Buka Kemungkinan Boikot Produk China

Sebut Tak Ada Penyiksaan Muslim Uighur

Robikin Emhas menjelaskan soal Muslim Uighur (YouTube/tvOneNews)

Pembawa acara kemudian menanyakan soal pernyataan yang menyebut tidak ada penyiksaan terhadap Muslim Uighur.

"Memang tidak ada yang kami tahu," jawab Robikin.

"Tetapi misalnya, yang disebut dengan proses hukum, tindakan polisioner terhadap orang-orang yang dianggap melakukan tindak pidana, terorisme misalnya."

"Maka hakikatnya yang disiksa misalnya, atau yang ditangkap, itu bukan Muslim Uighur."

"Tapi pelaku-pelaku terorisme seperti di Indonesia, seperti Amerika sendiri melakukannya."

"Itu bagian dari komitmen pemberantasan terorisme, jangan dicampuradukkan."

"Kami punya konsen, bagaimana Muslim Uighur di tempat itu bisa menjalankan ibadah.

Mendengar hal itu, pembawa acara kemudian menanyakan langkah tidak akan tinggal diamnya NU jika ada Muslim Uighur yang disiksa.

"Jangan andai-andai, tunjukkan dulu faktanya," jawab Robikin.

"Kalau yang disebut Muslim misalnya seperti di Indonesia, orang berindentitas agama Islam, lalu meledakkan bom Bali, meledakkan gereja, meledakkan bom Thamrin, apa itu bisa dilabeli sebagai Muslim Indonesia?"

"No, jangan, jangan merusak nama baik Islam, itu oknum."

"Nah, kami membedakan itu, maka konsen kami adalah, kalau itu program deradikalisasi, ruang vokasi itu, maka karena mereka muslim, mohon dikasih kesempatan beribadah."

"Supaya aturan undang-undangnya diubah, satu."

"Yang kedua, di antara mereka, ada yang mengeluh bahwa kampanye produk halal dimasukkan di situ."

"Kami juga usul ke otoritas setempat agar indikasi tentang radikalisme, terorisme, dan sebagainya itu didiskusikan oleh seluruh otoritas, termasuk organisasi Muslim yang ada di sana."

"Nah itu kontruktif usulan kami, jadi tidak memberikan stempel yang enggak-enggak atas sesuatu," pungkasnya.

Fadli Zon Sebut Delegasi DPR RI Berhasil Masukkan Isu Muslim Uighur di Draft Resolusi PUIC di Maroko

Simak selengkapnya dalam video di bawah ini mulai menit awal:

(TribunWow.com/Lailatun Niqmah)