Terkini Internasional

Kisah Xenia Karayiannis, Hidup dalam Bayang-bayang Mimpi Buruk karena Invasi Turki hingga Difilmkan

Editor: Lailatun Niqmah
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Berkisah untuk sebuah film dokumenter merupakan pengalaman emosional dan menyakitkan bagi Xenia Karayiannis.

TRIBUNWOW.COM - Xenia Karayiannis masih berusia tiga tahun saat dia berpisah dengan ibunya tak lama setelah invasi Turki ke Siprus tahun 1974.

Ia baru bertemu kembali dengan ibunya saat berumur 17 tahun.

Kisah Xenia adalah salah satu yang muncul dalam dokumenter berjudul Queen of Amathus.

Xenia Karayiannis tinggal di Siprus pada tahun 1974 sebelum invasi Turki. (Xenia Karayiannis)

Pemerintah India Berencana Awasi dan Lacak Pesan di Medsos dan WhatsApp, Ini Alasannya

Film ini bertutur tentang kehidupan beberapa perempuan yang mengarungi perairan Mediterania sebelum menetap di Birmingham, Inggris.

"Ini bukan sesuatu yang bisa Anda deskripsikan, menyerahkan seorang anak kepada orang lain," ujar Xenia.

"Bukan cuma dampaknya terhadap ibu, tapi juga saya. Saya merasa masa kanak-kanak saya dirampok. Tapi saya memahami alasan ibu dan pengorbanan yang harus dilakukan," ucapnya.

Xenia hanya memiliki memori pendek tentang invasi Turki ke Siprus tahun 1974.

Dia lahir di London dari pasangan orang tua asal Yunani, tahun 1971.

Setelah orang tuanya berpisah, ia ikut bersama ibunya ke Siprus di kawasan Mediterania.

Mereka tinggal bersama neneknya di Famagusta, sebuah destinasi wisata populer yang 'menjual' pantai dan kawasan pesisir indah.

Namun kehidupan mereka segera berubah ketika Turki menginvasi kawasan utara Siprus.

Perang antara dua negara itu memaksa warga Siprus, baik yang keturunan Yunani maupun Turki, mengungsi.

Keluarga Xenia lari ke pengungsian di pinggiran Larnaca. Mereka tinggal berbulan-bulan di sana.

Ketika kabar sampai kepada ayahnya yang masih di Inggris, ia meminta saudara lelakinya yang tinggal di Limassol untuk menemukan Xenia.

Ayahnya bertanya-tanya tentang kalau Xenia yang kelahiran Inggris, dapat kembali ke Inggris.

"Ibuku tidak mau berpisah denganku dan itu sangat sulit baginya," kata Xenia.

"Melepaskan anakmu adalah sebuah keputusan yang sangat sulit."

"Paman saya sangat ngotot dan berkata 'ini demi kebaikan anak, dia akan memiliki masa depan yang lebih baik' dan 'setelah semuanya selesai, kamu dapat kembali ke London dan semuanya akan baik-baik saja lagi'."

Fakta Pemerkosaan 9 Perempuan di Jombang, Korban Ada yang Berusia 16 Tahun, Ini Pengakuan Pelaku

"Namun sayangnya, semua yang ia katakan itu tidak terjadi karena situasi dan kurangnya komunikasi," kata Xenia.

"Semua orang saat itu baru saja kehilangan kontak, tidak ada cara untuk tetap saling berhubungan."

"Kamu tidak bisa mengirim surat karena tidak ada tempat tinggal tetap. Cara teraman adalah dengan melepaskan saya," tuturnya.

Konflik dan perpisahan itu akhirnya berdampak mendalam pada Xenia.

Dia kembali ke tanah kelahirannya di Inggris sebagai 'anak yang berbeda'.

Xenia Karayiannis, dipotret di London saat berusia tiga tahun, tak lama setelah tiba dari Siprus. (Xenia Karayiannis)

"Aku mengalami mimpi buruk di malam hari dan bangun menjerit. Saya mengalami itu untuk waktu yang sangat lama," katanya.

"Saya selalu bertanya-tanya apakah kehidupan yang saya jalani adalah sesuatu yang saya bayangkan, mimpi buruk atau itu sesuatu yang benar-benar terjadi."

Saat berumur 11, Xenia pindah ke Birmingham.

Ayahnya mengambil alih toko ikan dan keripik pamannya di Bordesley Green, tempat Xenia akan membantunya pada usia yang sangat dini.

Tapi tumbuh berkembang menjadi seorang pribadi di sana adalah kekosongan.

"Selama ini aku tumbuh tanpa mengenal ibuku, aku tidak tahu siapa dia. Tidak ada foto yang ditampilkan atau dibagikan, tetapi mayoritas hilang dalam perang."

Xenia dan ibunya Helen bertemu kembali pada tahun 1987.(Xenia Karayiannis)

Baru pada tahun 1987, tiba-tiba dia menerima surat dari ibunya.

"Yang saya ambil adalah foto, Tiba-tiba saya mendapati diri bahwa saya tengah menatap seorang wanita yang mirip denganku," katanya.

"Itu sangat aneh, sangat nyata, kesamaan kami sangat mencengangkan."

Akhirnya tahun itu dia terbang ke Siprus, tempat ibunya masih tinggal.

Itu adalah pertemuan yang emosional. "Saya disambut oleh keluarga yang tidak pernah saya kenal di bandara Larnaca. Itu sebuah momen yang tidak akan pernah saya lupakan," ujarnya.

Ketika ibu dan putrinya saling mengenal, itu adalah waktu yang pahit bagi Xenia.

"Para dokter menyebut situasi itu terjadi karena saya sangat trauma sehingga saya terpengaruh kenangan masa kecil."

"Saya merasa seperti mengecewakannya karena saya tidak mengingatnya."

"Itu bagian tersulit, untuk memberi tahu ibumu bahwa kamu tidak mengingatnya. Itu sangat menyakitkan," kata Xenia.

Empat puluh lima tahun kemudian, Famagusta telah ditinggalkan seluruh penghuninya.

"Rumah, kota, dan desa kami menjadi kota hantu," kata Xenia.

"Kami tidak pernah diizinkan untuk kembali dan itu adalah bagian yang paling menyedihkan karena saya tidak pernah melihat dari mana ibu saya berasal atau di mana saya tinggal sebagai seorang anak," ucapnya.

Xenia, sekarang berusia 48 dan ibu dari Anastasia yang berusia 25 tahun, masih tinggal di Birmingham, di pinggiran Moseley. Ia mengelola jasa kehumasan dan operator acara.

Bagi Xenia, berbagi kisahnya untuk sebuah film dokumenter ibarat tengah menunggang wahana Roller coaster.

"Itu sangat emosional, menyakitkan dan tanggung jawab besar untuk mewakili komunitas saya."

Namun Xenia berkata, "Ini perjalanan yang luar biasa."

Dokumenter Queens of Amathus akan tayang perdana pada 3 November ini di Cineworld, Broad Street, Birmingham, dan akan diputar pada Festival Film Birmingham, 7 November mendatang.

(BBC News/Lisa Wright)

Artikel ini telah tayang di BBC Indonesia dengan judul "'Ibu melepaskan saya kepada orang lain agar saya hidup lebih baik'"