TRIBUNWOW.COM - Analis Media Sosial Drone Emprit, Ismail Fahmi menjawab perihal mana antara kubu Pilpres 2019 lalu yang memiliki buzzer terbanyak.
Dikutip TribunWow.com, hal ini diungkapkan oleh Ismail Fahmi saat menjadi narasumber program Indonesia Lawyers Club (ILC) yang ditayangkan live dalam saluran YouTube Talk Show tvOne, Selasa (8/10/2019).
• Ferdinand: Doktor Hukum Bilang #2019GantiPresiden Langgar UU tanpa Tunjukkan Bukti, Dia Cuma Buzzer
Mulanya presenter ILC, Karni Ilyas menanyakan perihal sejumlah partai dalam pemilihan umum yang mengerahkan buzzer.
"Saya dengar, per orang yang jadi caleg di pemilu kemarin, juga mengerahkan buzzer?," tanya Karni Ilyas.
Ismail lantas menjelaskan bahwa tak semua partai mengerahkan buzzer.
Ada sejumlah partai yang telah senior memilik menggunakan cara lain dan justru meraup suara lebih banyak.
"Tidak semua Bang Karni, ada beberapa partai yang sudah tua, yang mereka enggak peduli dengan sosial media, mereka menggunakan cara yang lain, yang buktinya mereka mendapat suara lebih banyak. Dari pada mereka yang menggunakan media sosial kemarin," jawab Ismail.
Karni Ilyas lantas meminta informasi mengenai kubu dalam Pemilihan Presiden 2019 lalu, mana yang paling banyak buzzer-nya.
Pada Pilpres 2019 ada dua kubu yakni 01 yang mengusung Joko Widodo (Jokowi)-Ma'ruf Amin serta kubu 02 mengusung Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.
"Baik waktu pemilu kemarin, antara kubu 01, kubu 02 mana yang lebih banyak buzzer-nya?," tanya Karni Ilyas.
• Bantah Tuduhan Andi Arief soal Buzzer, Andre Rosiade: Sampaikan Langsung, Tidak Cuit di Media Sosial
Mendapat jawaban tersebut Ismail menjawab sambil tersenyum.
Ia mengatakan dari kedua kubu memiliki buzzer yang sama banyak.
"Saya bilang dua-duanya ini buzzer-nya sama banyak, saya enggak bisa bilang yang mana gitu," kata Ismail.
Ismail lantas menjelaskan bahwa dari kubu 02 memiliki buzzer yang sangat banyak.
"02 itu besar sekali, emak-emak itu diajak. Mereka ikut mengamplifikasi, dalam hal itu mereka bisa jadi buzzer kan?," paparnya,
Para buzzer emak yang disindirinya itu dicontohkannya massa yang banyak me-retweet cuitan influencer 02 dalam satu waktu.
"Mereka tidak membangun opini tapi misalkan top influencer mereka mengatakan pernyataan tiba-tiba mendapat retweet yang sangat tinggi, mereka membantu juga dan itu enggak dibayar karena suka rela," ungkapnya.
• Politisi Demokrat Tinggalkan Prabowo karena Buzzer, Wasekjen Hanura: Muter-muter Cari Seribu Alasan
Mengenai buzzer dalam kubu 01, ia mengatakan bahwa ada banyak juga.
Hal ini karena tim relawan dari kubu 01 memiliki tim yang menyebar di segala penjuru.
"Kemudian 01, timnya kan banyak sayta lihat di dalam peta itu tersebar di banyak kelompok dan mereka membangun juga narasinya sendiri-sendiri," sebut Ismail.
Karni Ilyas kemudian menanyakan mengenai bayaran yang diterima dari pelaku buzzer itu sendiri.
"Itu kalau yang dibayar itu, per akun atau pertweet dibayar berapa?," tanya Karni Ilyas,
"Wah kalau itu saya enggak tahu," jawab Ismail singkat.
"Sebagai analis sudah menganalisa sampai ke sana, katanya 3 juta, koordinator gajinya 9 juta atau berapa?," tanya Karni Iyas kembali.
"Itu kalau saya bilang penelitian ada yang menunjukkan itu tapi saya sendiri tidak pernah melihat proposal atau struk jadi saya tidak bisa menggunakan sumber saya sendiri," kata Ismail.
Lihat videonya di menit ke 12.54:
Apa Itu Buzzer?
Dikutip TribunWow.com dari Kompas.com, Jumat (4/9/2019), pengamat media sosial Enda Nasution mengungkapkan bahwa buzzer merupakan akun-akun di media sosial yang tidak mempunyai reputasi untuk dipertaruhkan.
Buzzer tak memiliki identitas dan sekelompok orang yang tak jelas.
"Buzzer lebih ke kelompok orang yang tidak jelas siapa identitasnya, lalu kemudian biasanya memiliki motif ideologis atau motif ekonomi di belakangnya, dan kemudian menyebarkan informasi," ujar Enda saat dihubungi Kompas.com, Jumat (4/9/2019).
Buzzer sendiri bebas lantaran tak memiliki konsekuensi hukum.
"Kan tidak ada konsekuensi hukum juga menurut saya, ketika ada orang yg mau mem-bully atau menyerang atau dianggap melanggar hukum, dia tinggal tutup aja akunnya atau menghapus akunnya atau dibiarkan saja hingga tidak aktif lagi," lanjut dia.
Sedangkan jika ada nama akun yang jelas, maka disebut sebagai influencer.
"Jadi kalo misalnya akun tersebut memiliki nama dan real orangnya, contohnya Denny Siregar, atau selebritis atau profesi lainnya yang punya follower besar dan punya sikap atau preferensi untuk mendukung sesuatu atau tidak mendukung sesuatu," kata Enda.
• Mahfud MD Sebut Banyak Buzzer di Medsos yang Panasi Situasi Pemilu: Sudah Enggak Karuan Sekarang
Namun influencer memiliki kosekuensi sehingga tak bisa sembarangan mengunggah informasi.
"Dalam kategori influencer, mereka memiliki nama asli dan latar belakang yang jelas, misalnya orang-orang partai, politisi, orang bisnis, atau pengamat-pengamat politik, kita tidak bisa menyebut mereka sebagai buzzer, mereka adalah influencer yang punya preferensi dukung mendukung sesuatu isu atau orang," ungkap dia.
Sedangkan dalam dampak buzzer membuat dampak di masyarakat.
"Dampaknya yakni kebingungan dari masyarakat, siapa yang harus dia percaya, walaupun ada sumber-sumber yg kredibel misal media yang kredibel, pemerintah juga masih sebagai sumber yang kredibel," jelas dia.
"Tapi di zaman media sosial seperti sekarang, informasi tidak dilihat dari sumbernya yang mana, bahkan seringkali enggak tahu sumbernya dari mana karena merupakan hasil copy paste dari WhatsApp, atau status Facebook dan sebagainya," lanjut dia.
Ia memberikan contoh, jika ada satu orang yang selama ini mempercayai satu kelompok, maka akan akan terus mempercayai apapun postingan kelompok tersebut.
"Bila dia merasa kelompok A itu jahat, maka informasi yang mendukung referensi itu, akan ia percaya dan akhirnya ia sebarkan, begitu juga sebaliknya," kata Enda.
"Bila akan terus begini, kita akan terjebak dalam popularism artinya seolah-olah yang paling populer itu yang benar, padahal kebenaran itu bukan masalah populer atau tidak," tutup dia. (TribunWow.com/ Roifah Dzatu Azmah)