Demo Tolak RKUHP dan RUU KPK

Di ILC, Ketua BEM UGM Ungkap Aksi Demo Mahasiswa Tidak Ditunggangi, tapi Gelisah dengan Kerja DPR

Penulis: Desi Intan Sari
Editor: Ananda Putri Octaviani
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ketua BEM UGM Fatur

TRIBUNWOW.COM - Ketua BEM Universitas Gadjah Mada (UGM), Fatur mengatakan aksi unjuk rasa dari kalangan mahasiswa itu tidak ada yang menunggangi.

Fatur menjelaskan bahwa aksi mahasiswa turun ke jalan itu lantaran gelisah dengan tindakan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dikutip TribunWow.com dari channel YoTube Indonesia Lawyers Club (ILC) yang tayang pada Selasa (24/9/2019).

Ia juga menegaskan bahwa mahasiswa bukan lah manusia yang bodoh, mereka adalah gerakan terpelajar.

Fatur sangat menyayangkan saat gerakan mahasiswa justru ditabrak dengan isu-isu yang tidak benar.

Beredar Kabar Mahasiswa Al Azhar Faisal Amir Meninggal saat Demo di DPR, sang Ibu: Hoaks

"Kita ditunggangi si A, kita ditunggangi si B, loh kita bicara substansinya kok malah dituduh ditunggangi A, B, C, D, tapi substansinya tidak pernah dibahas sama kawan-kawan mahasiswa," ungkap dia.

"Bahkan tadi ada, kalau saya bilang ya memang hati-hati penipuan sih, kenapa kita memang harus terus mengawal," ujar Fatur.

"Karena tadi kawan-kawan masuk hari kemarin 23 (September 2019 -red), pas diterima sama perwakilan dari DPR waktu itu Pak Masinton ya."

"Kemudian disampaikan bahwa tidak pernah ada kesepakatan dengan Sekjen DPR, padahal hari Kamis 19 September kawan-kawan yang aksi ini pernah membuat kesepakatan dengan Sekjen DPR," sambungnya.

Fatur mengungkapkan mengapa harus tetap mengawal pemerintahan.

Menurutnya, ini dilakukan lantaran DPR sering berbohong.

Ia menjelaskan para mahasiswa turun bukan karena ditunggangi oknum tertentu tapi karena gelisah dengan tindakan DPR.

Selain itu mahasiwa menggelar aksi protes juga sebagai gerakan moral serta intelektual.

Fatur menegaskan kembali, mahasiswa tidak hanya melakukan aksi penolakan terhadap kebijakan baru pemerintahan.

Namun juga ingin ke depannya peraturan perundang-undangan dalam dunia demokrasi dibahas secara baik sehingga menghasilkan hukum yang responsif, bukan represif.

Imbau Aparat Tak Aniaya Massa Demo Tolak RKUHP, Haris Azhar: Mahasiswa Bukan Mau Main Kejar-kejaran

"Kenapa? Karena hukum yang represif akan menghasilkan suatu jurang di dalam sistem sosial antara kehendak pemerintah dan rakyatnya yang ini sangat berbahaya," kata Fatur.

"Sehingga mosi tidak percaya yang dihasilkan di Gejayan memanggil di Bengawan melawan ataupun di daerah-daerah lainnya itu jangan dipandang sebagai hal biasa."

"Itu adalah hasil dari kegelisahan publik bahwasannya hari ini negara kita tidak baik-baik saja dan tidak dikelola dengan prinsip yang demokratis," jelasnya. 

Selain itu, Fatur juga mengatakan, saat mendengar presiden menunda pengesahan RKUHP dan RUU, dirinya menganggap kata tunda itu adalah bahasa politik.

"Jadi ketika itu disampaikan tunda, apalagi kalau baca beritanya itu ditunda tiba-tiba ada statement," kata Fatur.

"Ya kan kita masih punya masa waktu paripurna sampai 30 September, padahal mahasiswa enggak ingin ditunda, mahasiswa itu pengin tolak," sambungnya.

Fatur mengatakan para mahasiswa yang menggelar aksi demo itu ingin RKUHP dan RUU dibuat ulang dengan melibatkan akademisi serta masyarakat.

"Bukan hanya tolak tuntutan kami yang sampai hari ini tadi tidak mau ditemui oleh DPR yang terhormat itu bukan hanya sekadar menunda," jelas dia.

"Tapi setelah ditunda nanti dibahas ulang dan melibatkan akademisi, melibatkan masyarakat," lanjutnya.

Bagikan Makanan saat Mahasiswa Demo di Depan DPR, Awkarin: Saya Juga Bukan Orang Taat

Ia pun menjelaskan mengapa mahasiswa turun lagi ke jalan padahal sudah ada penundaan.

"Kami tidak ingin demokrasi atau perjalanan demokrasi kita ini menghasilkan hukum yang represif," ungkapnya.

"Apa itu hukum yang dibentuk dalam, kalo misalnya bahasa Inggrisnya itu splendid solution, jadi seharusnya dalam demokrasi itu kita menghasilkan produk hukum yang responsif," sambungnya.

Fatur menuturkan ada tiga kriteria dalam menghasilkan produk hukum yang responsif.

Tiga kriteria itu adalah partisipatif, aspiratif dan presisi.

"Nah kalau kita lihat di pasal-pasal RKUHP tentang makar tentang penghinaan presiden termasuk juga tentang living low, itu adalah pasal-pasal yang katakanlah karet," ungkap Fatur.

"Sehingga nanti bisa jadi menjadi tafsirannya itu yang berpotensi ditafsirkan oleh pemerintah sehingga mengkriminalisasi orang-orang yang katakanlah tidak suka dengan pemerintah atau berbeda pandangan."

Lihat video selengkapnay pada menit ke 10:52:

(TribunWow.com/Desi Intan)