Kabar Tokoh

Debat dengan Kapitra Ampera soal 'Kasih Sayang', Mahedradatta Mengaku Pusing sampai Pegang Jidat

Penulis: Nirmala Kurnianingrum
Editor: Bobby Wiratama
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Debat dengan Kapitra Ampera, Mahedradatta mengaku pusing, pegang jidat hingga buat hadirin ILC tertawa.

TRIBUNWOW.COM - Politisi PDI Perjuangan, Kapitra Ampera terlibat adu debat dengan kuasa hukum Abu Bakar Ba'asyir, Mahendradatta.

Hal itu tampak pada tayangan Indonesia Lawyers Club (ILC) di TV One, Selasa (19/1/2019).

Awalnya Kapitra menyampaikan bahwa pembebasan bersyarat adalah bentuk kasih sayang dari negara untuk terpidana.

"Pembebasan bersyarat adalah kasih sayang dari negara kepada terpidana, coba bayangkan orang dihukum 15 tahun, harus menyelesaiakan 15 tahun, karena kasih sayang negara membuat aturan," ucap Kapitra.

"Saya ingin katakan secara epitesmologi, ini kasih sayang negara, untuk itu dibuat UU, ngerti enggak?," ujar Kapitra.

Kapitra melanjutkan bahwa dahulu mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Hamid Awaludin membuat peraturan pembebasan bersyarat agar tidak menabrak rasa keadilan dan kepastian.

"Makanya Pak Hamid dulu untuk itu dibuat peraturan agar tidak menabrak rasa keadilan dan kepastian, orang yang dihukum 15 tahun, harus keluar 15 tahun bagaimana rasa keadilan kepada korban, untuk bisa diberikan tidak melaksanakan hukuman hingga 15 tahun, dibuatlah pembebasan bersayarat," jelas Kapitra.

ILC Akan Diskusikan soal Abu Bakar Baasyir, Hidayat Nur Wahid Minta Karni Ilyas Bahas Ahmad Dhani

Selanjutnya Kapitra menyatakan bahwa pembebasan bersyarat hanya bisa diberikan oleh Menkumham, bukan presiden.

"Untuk itu ada peraturan perundangan diberikan delegasi otoriti kepada Menkumham, presiden enggak bisa memberikan kebebasan bersyarat," ucap Kapitra.

Mendengar pernyataan Kapitra yang menyebutkan bahwa pembebasan bersyarat adalah bentuk kasih sayang dari negara, tampak Mahendratta mendebat.

Mahendratta mengatakan bahwa sistem hukum di Negara Indonesia adalah pemasyarakatan.

"Sistem kita, hukum penghukuman kita bukan pemidanaaan atau penjara, penjara itu istilah awam, yang benar, Republik Indonesia, Negara Kesatuan Republik Indomnesia dari dulu mengenal yang namanya pemasyarakatan," kata Mahendratta.

Mahendradatta menyampaikan bahwa pada sistem pemasyarakatan tidak ada urusannya dengan urusan kasih sayang.

"Kenapa dinamakan LP, lembaga pemasyarakatan, karena dia itu tidak mempidana orang, enggak perlu kasih sayang di situ, karena memang sistemnya itu adalah sistem pemasyarakatan, bahwa ini sementara dikungkung terus dimasyarakatkan, terus kata kasih sayang, kok tiba-tiba ada kata kasih sayang pada negara, enggak ada urusan kasih sayang, jangan baper," tukas Mahendradatta.

Kapitra kembali mendebat pernyataan Mahedradatta.

Kapitra Protes Habib Rizieq Serukan Ganti Presiden di Reuni 212, Ferdinand: Seruan Guru pada Murid

"Begini anda harus mengerti soal filosofis, ada epitesmologi itu bagaimana negara memberikan ruang kepada terpidana," jelas Kapitra.

Selanjutnya Mahedratta beragumen lagi seraya mengaku pusing dan memegang jidatnya hingga membuat hadirin ILC tertawa.

"Anda tiba-tiba bikin UU sendiri, saya baca UU Nomor 22 Tahun 1995, semua pasal enggak ada pasal kasih sayang, duh gue mulai pusing ini," ucap Mahendradatta.

Debat dengan Kapitra Ampera, Mahedradatta mengaku pusing, pegang jidat hingga buat hadirin ILC tertawa (Channel Youtube Indonesia Lawyers Club)

Seperti diberitakan sebelumnya, penasehat hukum pribadi Jokowi, Yusril Ihza Mahendra, Jumat (18/1/2019) pagi, mendatangi LP Gunung Sindur untuk memberitahukan rencana pembebasan Ba'asyir.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) sendiri yang kemudian membatalkan wacana tersebut.

Awalnya Presiden seusai meninjau Pondok Pesantren Darul Arqam, di Garut, Jumat (18/1/2018), membenarkan bahwa ia telah menyetujui pembebasan terpidana kasus terorisme Abu Bakar Baasyir.

Menurut Jokowi, Baasyir yang belum menjalani seluruh masa hukumannya dibebaskan karena alasan kemanusiaan.

"Ya yang pertama memang alasan kemanusiaan, artinya Beliau kan sudah sepuh (tua). Ya pertimbangannya pertimbangan kemanusiaan. Karena sudah sepuh. Termasuk ya tadi kondisi kesehatan," kata Jokowi seusai meninjau Pondok Pesantren Darul Arqam, di Garut, Jumat (18/1/2018).

Jokowi mengakui, keputusannya untuk menyetujui pembebasan Baasyir ini adalah hasil diskusi dengan pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra.

Namun, ia juga menegaskan bahwa sebelumnya sudah ada diskusi yang panjang di internal pemerintah.

"Ini sebuah pertimbangan lama, sudah pertimbangan lama sejak awal tahun yang lalu. Pertimbangan lama, Kapolri, Menkopolhukam, dan dengan pakar-pakar, terakhir dengan prof Yusril," ujar Jokowi.

Usai menyampaikan pembebasan Abu Bakar Ba'asyir, Menko Polhukam Wiranto selanjutnya menyampaikan klarifikasi atas pernyataan Jokowi, Senin (21/1/2019) petang.

"(Pembebasan Ba'asyir) masih perlu dipertimbangkan dari aspek-aspek lainnya. Seperti aspek ideologi Pancasila, NKRI, hukum dan lain sebagainya," kata Wiranto membaca naskah siaran pers di Kantor Kemenkopolhukam, Jakarta.

Pernyataan Wiranto dipertegas Kepala Staf Presiden Moeldoko yang memastikan bahwa saat ini permintaan pembebasan bersyarat atas Abu Bakar Ba'asyir tidak dapat dipenuhi oleh pemerintah.

"Iya (tidak dibebaskan). Karena persyaratan itu tidak boleh dinegosiasikan. Harus dilaksanakan," ujar Moeldoko saat dijumpai di Kompleks Istana Presiden, Jakarta, Selasa (22/1/2019).

Setelah klarifikasi dari Menko Polhukam dan Kepala Staf Presiden, Jokowi kembali menegaskan pembatalan pembebasan Abu Bakar Ba'asyir.

Presiden Jokowi menegaskan pembebasan Baa'asyir harus tetap sesuai mekanisme hukum yang berlaku.

Menurut Jokowi, saat ini pembebasan Ba'asyir hanya dapat dilakukan dengan pemberian Pembebasan Bersyarat (PB).

Konsekuensi pemberian PB tersebut adalah terpidana kasus terorisme harus memenuhi beberapa syarat umum dan khusus, termasuk menandatangani surat pernyataan kesetian terhadap Pancasila dan NKRI.

"Kita ini kan juga ada sistem hukum, ada mekanisme hukum yang harus kita lalui. Ini namanya Pembebasan Bersyarat, bukan pembebasan murni. Pembebasan Bersyarat, syaratnya itu harus dipenuhi, kalau tidak kan nggak mungkin saya nabrak. Ya kan? Contoh syaratnya itu setia pada NKRI, setiap pada pancasila. Itu basic sekali itu, sangat prinsip sekali, jelas sekali," ujar Jokowi di Istana Merdeka, Jakarta, Selasa (22/1/2019).

Menurut Jokowi, sistem dan mekanisme hukum untuk Pembebasan Bersyarat tetap harus ditempuh dan tidak bisa dikesampingkan, termasuk oleh dirinya selaku presiden.

Ia menekankan dirinya selaku presiden tidak boleh melanggar aturan hukum untuk pembebasan Ba'asyir.

"Saya nabrak kan nggak bisa. Apalagi sekali lagi, Ini sesuatu yang basic, setia pada NKRI dan Pancasila," imbuhnya.

Jokowi menyatakan, adanya rencana pembebasan Ba'asyir tidak terlepas adanya permohonan dari pihak keluarga mengingat Ba'asyir telah berusia 80 tahun dan mengalami gangguan kesehatan.

"Bayangkan kalau kita sebagai anak, liat orang tua kita sakit-sakitan seperti itu, yang saya sampaikan secara kemanusiaan," ujarnya.

(TribunWow.com)