Pilpres 2019

Fahri Hamzah: Sahut Menyahut Timses dan Capres Buat Tema Kampanye Tak Teratur dan Publik Bingung

Penulis: Laila N
Editor: Astini Mega Sari
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Fahri Hamzah Wakil Ketua DPR RI

TRIBUNWOW.COM - Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Fahri Hamzah menyoroti soal kampanye Pilpres 2019 yang menurutnya semakin membuat publik bingung.

Dilansir TribunWow.com dari akun Twitter @Fahrihamzah pada Kamis (22/11/2018), Fahri Hamzah mengatakan jika Komisi Pemilihan Umum (KPU) tidak mengatur tema kampanye, sehingga fokus kampanye tidak jelas.

Fahri Hamzah menilai, hingga saat ini belum ada perdebatan publik substansial yang disajikan oleh dua capres.

Menurutnya, isu yang dikeluarkan para kandidat justru didominasi oleh manuver saling sindir dan jawaban singkat saja.

Simak penjelasan lengkap Fahri Hamzah mengenai kampanye Pilpres 2019 berikut ini:

"Sahut menyahut para tim sukses dan capres yang tidak diatur oleh @KPU_ID membuatnya tema kampanye tidak teratur. Publik pun bingung capres kita lagi bicara apa? Perlu kita bantu agar media semakin sistematis. Perlu dibantu capres makin fokus pada isu kesejahteraan.

Bantah akan Naikkan Gaji Guru Rp 20 Juta, Prabowo Subianto: Uang dari Mana? Kita Masih Utang Terus

 

Sepanjang masa kampanye ini, belum ada perdebatan publik yang substansial dan paradigmatik yang disajikan oleh capres maupun tim sukses. Isu dan dan permasalahan bangsa yang muncul tidak digali secara mendalam dan dicari akar permasalahannya. #TemaPilpres2019

Malah isu masih didominasi oleh manuver sindir menyindir dan Yang ada hanya jawaban2 singkat dan normatif. Tidak terlihat adanya dialektika mazhab berpikir dari kedua calon dan tim sukses dalam mencari bentuk solusi di masa depan.
#TemaPilpres2019

Pada saat yang bersamaan sebenarnya banyak isu krusial yang harusnya menjadi tema perdebatan publik. Terutama isu kesejahteraan. Isu yang seharusnya bersentuhan langsung dengan rakyat sebagai pemilik suara yang diperebutkan kedua calon.

Dalam catatan saya sejauh ini, sudah banyak isu yang menyangkut kesejahteraan ini terlewat begitu saja tanpa melahirkan tawaran2 solusi sistemik. Bahkan narasi dan visi misi capres pun sulit diterjemahkan dlm menjawab permasalahan2 yang muncul belakangan ini.

Isu BPJS Kesehatan misalnya, yang merupakan program “universal coverage”, kok terkesan selesai. Padahal ini nasib kesejahteraan seluruh rakyat. Di program nasional ini ada 96 juta PBI (penerima bantuan iuran) yang dikategorikan miskin dan harus disubsidi.

Ada jutaan nasib tenaga kesehatan (dokter, perawat, apoteker dll), melibatkan banyak instansi dan industri dibidang kesehatan. Dampak yang timbul dari masalah ini begitu mendasar dan masih bagi kesejahteraan.

Bagaimana masa depan BPJS Kesehatan? Mau dibawa kemana? Apakah akan dihentikan? Apakah akan dibiarkan BPJS bangkrut?? Apakah akan ditarik mengikuti pakem sistem jaminan sosial yang dipraktekkan di negara eropa barat dan skandinavia?

Kandidat capres harusnya punya narasi masa depan tentang ini. Visi misi harus harus dijabarkan dalam peta jalan yang jelas. Agar rakyat tahu dan paham kepada siapa keberpihakan para capres ini ditujukan dan apakah JKN tetap akan bisa ada di masa depan?

Kritik Paket Kebijakan Ekonomi XVI, Fadli Zon: Bagi Saya Menggelikan dan Ironis

Isu krusial yang tak kalah penting dan mewarnai hampir setiap lini media massa adalah isu defisit neraca perdagangan. Impor yang selalu melebih ekspor kita bukan hanya mengindikasikan kita kehilangan sejumlah uang sehingga mata uang rupiah melemah.

Tetapi ini adalah sinyal kemampuan produksi kita lemah. Kita memakan apa yang tidak kita produksi. Kemandirian yang harusnya jadi ruh Nawa Cita ternyata hanya sekedar slogan. Kita telah jadi bangsa yang bergantung pada asing. Perut dan keseharian kita.

Defisit perdagangan juga menjadi sinyal bahwa produktivitas nasional kita rendah, yang artinya pendapatan nasional kita juga rendah. Tapi kita terlampau konsumtif, makanya utang kita terus membengkak. Jelas bahwa fundamental kesejahteraan kita begitu rapuh.

Ditambah lagi fakta bahwa dalam sepuluh tahu terakhir ini kita mengalami deindustrialisasi. Kontribusi industri manufaktur dalam perekonomian terus menurun. Tenaga kerja yang terserap di sektor ini pun menurun.

Tapi statistik kita mencatat pengangguran berkurang. Apakah karena program infrastruktur? Hampir semua infrastruktur yang di kerjakan pemerintah jokowi padat modal (bukan padat karya), teknologi tinggi, hampir semua sumberdaya dari asing bahkan tenaga kasar.

Ternyata statistik mencatat 70% angkatan kerja kita (yg jumlahnya 130an juta) lari ke sektor informal. Mereka menjadi mayoritas anak bangsa yang hidup dari usaha kecil, dan mikro; buruh petani, nelayan, pedagang, pengrajin, kaki lima dan informal .

Kantung2 kemiskinan muncul baik di desa mapun kota. Dan dari sinilah seharusnya narasi kandidat capres dibangun. seharusnya permasalahan mayoritas anak bangsa ini menjadi begitu penting dan genting untuk didiskusikan. Agar tampak kemana kebijakan negara ini berpihak ke depan.

Impor beras disaat petani panen raya, impor jagung disaat daerah penghasil jagung seperti sumbawa surplus jagung sehingga harganya menjadi jatuh. Petani selalu rugi di tanah yang subur makmur. Tapi kok seolah ini berlalu begitu saja. Capres belum mendalami.

Di amerika dan eropa suara petani dianggap begitu penting dan diperhitungkan dalam pemilu. Bahkan dalam menghadapi perang dagang dengan Tiongkok, Donald Trump menjanjikan untuk menambah subsidi bagi petani amerika untuk menekan dampak kerugian petani.

Sudjiwo Tedjo Sindir Narasumber yang Main HP dan Ngobrol saat Tokoh Lainnya Berbicara

Banyak #TemaPilpres2019 yg dapat digunakan untuk mendekati kepentingan rakyat. Kandidat capres harusnya punya pemahaman persoalan dan keberpihakan yang jelas. Agar publik tidak menilai bahwa keduanya sama saja..
Sekian," tulis @Fahrihamzah.

(TribunWow.com/Lailatun Niqmah)