TRIBUNWOW.COM - Reni Romaulina Silaban merupakan seorang wisudawati jurusan Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan, Institut Teknologi Bandung (ITB), yang baru saja memperoleh gelar sarjananya pada Sabtu (20/10/2018).
Melansir dari Tribun Jabar, Sabtu (26/10/2018), momen wisudanya ini sekaligus menandai perayaaan hari ulang tahunnya yang ke-23.
Reni Romaulina, anak sulung dari empat bersaudara ini lahir pada 20 Oktober 1995 silam.
Hari ulang tahunnya ini semakin terasa spesial, pasalnya ia lulus dengan predikat sebagai Wisudawati Berprestasi dan Inspiratif.
Predikat ini tak semata diberikan ITB kepada Reni tanpa alasan, ada kisah yang melatarbelakanginya.
Kepada Tribun Jabar, Reni bercerita bahwa dirinya adalah anak yatim piatu yang harus merawat ketiga adiknya.
• Lulus di Usia 18 Tahun, Kalyana Anjani jadi Wisudawati Termuda di ITB
Ayahnya, Anggiat Silaban, meninggal dunia ketika Reni remaja.
Sementara itu ibunya, Basaria Nainggolan, meninggal dunia ketika Reni masih duduk di bangku kuliah.
Sambil berkaca-kaca, gadis ini bercerita perjuangan sang ibu hingga dirinya bisa menjadi seperti sekarang.
Ketika lulus SMA, Reni mendapatkan kepercayaan oleh sang ibu untuk berkuliah, meskipun kondisi ekonomi keluarganya yang pas-pasan sepeninggal sang ayah.
Reni akhirnya berhasil masuk ke satu universitas terbaik di Indonesia, yakni ITB dan mengambil jurusan Teknik Lingkungan.
Tak hanya itu, Reni juga masuk melalui jalur bidikmisi.
Reni merupakan anak pertama dari empat bersaudara, adiknya yang pertama Rikardo Silaban sudah lulus SMA dan tengah mencari pekerjaan, adik kedua Nia Silaban yang merupakan mahasiswi Universitas Padjajaran, jurusan Hubungan Internasional juga mahasiswa Bidikmisi, dan adik keempat Rosdiana Angelina Silaban sekarang masih bersekolah di kelas X SMAN 1 Purwakarta.
• 5 Fakta Terkait Putri Penjual Cilok yang Raih Gelar Wisudawan Terbaik FISIP Unair dengan IPK 3,90
Ketika kuliahnya memasuki semester kedua, Reni harus menghadapi kenyataan pahit bahwa ibunya telah divonis dokter menderita kanker otak stadium empat, dan umurnya tak lama lagi.
"Kami enggak tahu sebenarnya kapan itu terjadi, awalnya kami pikir itu gejala stroke, tapi mama selalu berusaha kuat, menutup-nutupi kesakitannya," ujar Reni kepada Tribun Jabar saat ditemui di Jalan Ganeca 7 Lb Siliwangi, Coblong, Kota Bandung, Kamis (25/10/2018).
Walaupun Reni selalu berusaha mengingatkan ibunya untuk pergi ke dokter, namun jarang digubris oleh ibunya lantaran sibuk dengan aktivitasnya sehari-sehari.
Ibunya adalah sosok pekerja keras dan ulet, demi menghidupi keempat orang anaknya dia rela banting tulang.
Pekerjaan sehari-harinya adalah berjualan kelontongan, sayur-sayuran, buka pengisian air galon, dan membuka jasa bengkel.
Setiap dini hari ibunya selalu sibuk pergi belanja ke pasar, terkadang ibunya pun turun tangan untuk memperbaiki mobil hingga truk besar sekalipun di bengkel miliknya.
"Dari situlah perjalanan mama berlangsung sampai akhirnya memang kanker otak," cerita Reni yang matanya nampak berkaca-kaca menahan air mata agar tidak menetes.
• Hadiri Acara Wisuda Putranya, Elly Sugigi Bangga sekaligus Sedih
Reni juga menyampaikan pesan dokter kepadanya, ketika ibunya divonis mengidap kanker otak stadium empat.
Dokter berkata kepada Reni bahwa di akhir masa hidup ibunya, Reni harus bisa membahagiakan ibunya.
Ia juga mengenang di mana sang ibu diberitahu oleh dokter terkait penyakitnya.
Reni menyebut, ibunya begitu tegar menghadapi hal tersebut bahkan berkata hal ini terjadi akibat ibunya kelelahan.
"Saya berusaha keras tegar, mama pun malah bepikir mungkin karena kelelahan, pikirnya," ujar Reni.
Di tengah ujian kehidupan tersebut, Reni sempat putus asa dan berpikir untuk tidak melanjutkan kuliahnya.
Kendati demikian, keluarganya tetap menyemangatinya agar tetap melanjutkan kuliah.
"Saya berpikir jika berhenti kuliah terus adik-adik nanti seperti apa, kalau berhenti, perjuangan mama selama ini sia-sia, mama kan sudah anterin saya sampa ke titik ini, sampai akhirnya saya bolak-balik Purwakarta Bandung untuk mengurus ibu saya," katanya.
Selama mengurus ibunya dan bolak-balik Bandung-Purwakarta, Reni mengaku sangat keteteran dan ketinggalan materi kuliah.
Namun akhirnya ia mendapatkan bantuan dana dari KM ITB, Kestra HMTL, serta Donatur Orangtua 76 dan 86.
Reni juga bersyukur memiliki dosen-dosen yang baik dan mengerti keadaannya yang mengurus ibunya yang tengah sakit.
• 22 Universitas Terbaik di Indonesia Menurut QS World Ranking, UI, ITB, dan UGM Masih Mendominasi
Sepeninggal ibunya, Reni mengaku masa-masa tersebut adalah hal terberat dalam hidupnya.
Namun gadis ini mampu bangkit lantaran teringat adik-adiknya dan perjuangan sang ibu.
"Hal itu juga membuat saya bangkit dan kuat, melihat kondisi mama yang tidak pernah mengeluh kalau pun capek. Adik-adik saya yang masih membutuhkan tumpuan orang dewasa. Karena saya merasa sekarang saya yang menjadi tumpuan mereka, ngurusin uang, kontrakan, makan, pendidikan, biaya hidup, termasuk mendidik adik-adik di rumah," ungkapnya.
Reni tergolong mahasiswa yang aktif serta berprestasi di kampusnya.
Hal ini dibuktikan dengan dirinya yang menjadi delegasi Indonesia dalam ASEAN January Universitas Youth Summit 2017 Republic of the Philippines.
Pada September 2018 ini Reni bahkan berhasil menorehkan prestasinya meraih juara 1 kompetisi Insvasi (Inovasi Sains) di Bali tingkat nasional, kategori instrumen produk unggulan dengan penelitian mengenai 'Elektrokoagulasi sebagai Metode Pengolahan Limbah Cair Coolant'.
Bahkan, Reni pun mendapatkan penghargaan tugas akhir terbaik pada program studi Teknik Lingkungan 2014.
"Seenggaknya, aku kejar dengan cerdik mengisi keunggulan, karena kan untuk cari kerja gak mungkin isi CV cerita hidup, pastinya aku tonjolkan dengan prestasi," ungkapnya.
Sederet prestasi gemilang yang telah diraih Reni tersebut ia persembahkan kepada sang ibu yang telah berhasil mengantarkannya hingga ke titik di mana Reni berada sekarang. (*)