TRIBUNWOW.COM - Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Fahri Hamzah dan Kadiv Advokasi-Hukum Patai Demokrat Ferdinand Hutahaean tampak menanggapi beredarnya dokumen hasil rapat DPR.
Dilansir TribunWow.com, hal tersebut tampak dari laman Twitter keduanya (@fahrihamzah dan @LawanPolitikJW) pada Kamis (18/10/2018).
Dari dokumen yang beredar, pada poin 2 disebutkan jika divestasi saham Freeport sebesar 51 persen belum terealisasi.
"2. Komisi VII DPR RI mendapat penjelasan bahwa divestasi saham PT Freeport Indonesia masih belum terealisasi, untuk itu Komisi VII DPR RI meminta kepada pemerintah agar memberikan pernyataan yang benar kepada masyarakat mengenai proses divestasi saham PT Freeport Indonesia," muat dokumen tersebut.
Dokumen tersebut tampak ditandatangani oleh sejumlah tokoh, baik dari Inalum, Freeport Indonesia, Kementerian ESDM, dan DPR RI Komisi VII.
• Fadli Zon: Tadi Saya Periksa Ruangan Saya Tidak Ada Peluru Nyasar
Menurut Ferdinand Hutahaean, jika dokumen tersebut valid, maka sebaiknya tidak ada pembohongan soal Freeport.
"Menemukan ini di ruang medsos. Apakah berita acara ini valid? Hanya yg namanya tertera disini yg tau.
Dr awal sy sdh sampaikan, yg namanya transaksi jual beli itu sah kalau pembayaran sdh dilakukan.
Mari jgn bohongi publik terkait Freeport. Tdk semua rakyat ini bodoh," tulis Ferdinand.
Sementara itu, Fahri Hamzah menyebutkan jika dokumen tersebut benar, maka bisa dijadikan alat untuk melakukan penuntutan.
"Kalau benar, Dokumen ini bIsa dipakai untuk menuntut...," ujar Fahri.
Hingga berita ini diturunkan, belum dapat dipastikan soal keaslian dokumen hasil rapat Komisi VII DPR RI tersebut.
Sementara itu, dikutip dari laman dpr.go.id, pada Rabu (17/10/2018) Komisi VII DPR RI memang menggelar Rapat Dengar Pendapat bersama Dirjen Minerba Kementerian ESDM, Dirut Inalum, dan Dirut Freeport Indonesia.
Dari rapat tersebut disampaikan apabila kepemilikan saham 51 persen atas PT Freeport Indonesia ternyata masih dimungkinkan terjadinya pembatalan.
Hingga saat ini PT Inalum masih belum melakukan pembayaran sebagai wakil dari pemerintah dalam pembelian 51 persen saham PT Freeport.
Pembayaran baru akan dilakukan setelah masalah isu lingkungan dapat diselesaikan.
Padahal, jika isu lingkungan tersebut tidak bisa terselesaikan dengan baik, maka transaksinya tidak akan terjadi.
Dewan di Komisi VII DPR mengaku sangat kaget mendengar hal tersebut.
• Sampaikan Pesan dalam Bahasa Rusia, Ridwan Kamil Sebut Pengumuman Penting, Apa Isinya?
Ini dikarenakan dalam Rapat Tahunan MPR pada 16 Agustus 2018 lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menyampaikan bahwa Pemerintah telah menguasai 51 persen saham PT Freeport.
“Persepsi publik, tahunya kita sudah melakukan pembayaran atau membeli saham PT Freeport,” ujar Ketua Komisi VII Gus Irawan Pasaribu di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (17/10/2018).
Disampaikan Dirut Inalum, Budi Gunadi Sadikin, besaran nilai untuk pengambilalihan saham PT Freeport Indonesia kepada PT Inalum adalah 3,85 miliar US dollar atau sekitar 57 triliun rupiah.
Gus Irawan menjelaskan, sesuai temuan BPK akan ada kewajiban sebesar 13,59 miliar US Dollar atas nilai ekosistem yang dikorbankan akibat penambangan Freeport.
Ia lantas mempertanyakan siapa yang akan membayar uang tersebut.
"Apakah dalam perjanjian-perjanjian yang ada, faktor lingkungan itu juga telah menjadi satu pertimbangan. Kalau itu dipertimbangkan, maka akan menjadi beban siapa?,” tanyanya kemudian.
• Hasil Sementara Polling yang Dibuat Iwan Fals di Twitter: 2 Unggul 34 Persen dari 1
Menurut Gus Irawan, jika pemerintah telah menjadi pemegang saham sebanyak 51 persen di PT Freeport, kemudian harus ada rehabilitasi, sementara PT Freeportnya sendiri tidak punya uang, pasti untuk menanggung biaya rehabilitasi kerusakan lingkungan tersebut akan meminta dananya kepada pemegang saham.
“Sementara value PT Freeport hanya 7,55 persen, tetapi PT Freeport punya kewajiban 13,59 miliar US Dollar. Artinya yang kita beli ini adalah nilai minus,” ujarnya.
Atas pernyatan tersebut, Budi menerangkan, yang bertanggungjawab terhadap isu lingkungan adalah PT Freeport Indonesia.
Namun sebagai pemegang saham resmi, PT Inalum nantinya tetap akan mendukung PT Freeport Indonesia untuk bisa menyelesaikan masalah isu lingkungan itu.
• Fahri Hamzah Tulis Surat Kecil untuk Pihak yang Menolak Kedatangannya di Kupang NTT, Ini Isinya
“Kalau memang isu lingkungan tersebut tidak terselesaikan dan menyebabkan IUPK nya tidak bisa diterbitkan oleh Kementerian ESDM, maka tidak mungkin dilakukan pembayaran. Sebab sesuai condition presedent yang ada dalam perjanjian, salah satu isinya adalah mengharuskan diterbitkannya IUPK. Dan di dalam IUPK itu ada lampiran khusus mengenai penyelesaian isu lingkungan,” ungkapnya.
Budi juga menjelaskan, PT Inalum berusaha untuk menyelesaikan seluruh dokumen yang diperlukan, seperti izin dan kondisi-kondisi yang perlu diselesaikan hingga Desember 2018.
PT Inalum juga akan memfinalisasi pendanaannya dan diharapkan pada bulan November sudah dapat diselesaikan sehingga transaksi siap untuk dilakukan pada bulan Desember. (TribunWow.com/Lailatun Niqmah)