TRIBUNWOW.COM - Mantan Direktur LP3ES, Rustam Ibrahim angkat bicara mengenai anjloknya nilai rupiah.
Melalui kicauan Twitternya, Rabu (5/9/2018) Rustam tidak sepakat jika turunnya nilai rupiah di tahun 2018 ini disamakan dengan turunnya rupiah di tahun 1998.
"Membandingkan krisis 1998 dengan 2018 bodoh namanya," kicau Rustam.
Menurut Rustam, pada tahun 1998, nilai rupiah turun 600 persen, dari 2.500 ke 15.000.
Nilai suku bunga kala itu mencapai 45 persen dan inflasi 77 persen.
Sedangkan saat ini, nilai rupiah hanya anjlok 10 persen.
Suku bunga 5,5 persen dan inflasi 3,5 persen.
Rustam juga meminta untuk mencari perbandingan yang lebih masuk akal terkait anjloknya nilai rupiah kali ini.
"Membandingkan krisis 1998 dengan 2018 bodoh namanya
1998
Rupiah terjun bebas 600% (2.500 ke 15.000)
Sukubunga 45%
Inflasi 77%
2018
Rupiah anjlog 10%
Sukubunga 5.5%
Inflasi 3.5%
Lain kali jika ingin membodohi rakyat, jangan pula jadi bodoh. cari perbandingan lebih masuk akal," kicau lengkap Rustam Ibrahim.
Jangan bandingkan rupiah tahun 1998 dengan rupiah 2018
Hal senada juga disampaikan oleh Menko Perekonomian Darmin Nasution.
Ia mengaku heran dengan sejumlah pihak yang membandingkan pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, dengan masa krisis ekonomi pada tahun 1998.
"Jangan dibandingkan Rp 14 ribu sekarang dengan 20 tahun lalu. Membandingkannya yang fair (adil)," ujar Darmin di komplek Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (4/8/2018).
Darmin menjelaskan, pelemahan rupiah pada 20 tahun yang lalu sangat drastis, di mana sebelumnya berada di posisi Rp 2.800 menjadi Rp 14 ribu per dolar AS.
"Sekarang dari Rp 13 ribu ke Rp 14 ribu per dolar AS, tahun 2014 itu dari Rp 12 ribu ke Rp 14 ribu. Maksud saya, cara membandingkan dijelaskan," ujar Darmin.
Menurut Darmin, fundamental perekonomian Indonesia saat ini masih dalam kondisi baik, yang tercermin dari inflasi di kisaran 3 persen dan pertumbuhan ekonomi di atas 5 persen.
"Kelemahan kita hanya transaksi berjalan yang difisit 3 persen, itu pun lebih kecil dari tahun 2014 sebesar 4,2 persen, masih lebih kecil juga dari Brazil, Turki, Argentina," ucapnya.
Darmin menilai, persoalan defisit transaksi berjalan bukan sesuatu penyakit baru dihadapi Indonesia, tetapi sudah terjadi sejak 40 tahun yang lalu.
"Memang ini agak besar tapi enggak setinggi 2014 (desifitnya), tidak setingga tahun 1994 hingga 1995," tutur Darmin.
Pelemahan rupiah yang saat ini di atas Rp 14.800, kata Darmin, lebih disebabkan faktor eksternal yaitu krisis keuangan di Argentina yang berdampak terhadap nilai tukar mata uang semua negara.
Tak Perlu Gerakan Cinta Rupiah
Meski nilai tukar rupiah terhadap dolar AS saat ini mengalami pelemahan yang cukup dalam, Darmin menilai tidak perlu diciptakan gerakan cinta rupiah, mengingat kondisi fundamental ekonomi Indonesia masih terbilang baik.
Dengan adanya gerakan cinta rupiah yang didorong pemerintah, nantinya dapat menimbulkan kesan bahwa kondisi perekonomian saat ini mengalami keparahan.
"Jangan lah, nanti dibilang sudah gawat," ucap Darmin secara singkat.
Berdasarkan data Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) Bank Indonesi, hari ini nilai tukar rupiah melemah ke posisi Rp 14.840 per dolar AS dari posisi kemarin Rp 14.767 per dolar AS. (TribunWow.com/Fachri Sakti Nugroho)