Mahkamah Agung Tolak Kasasi PKS, Fahri Hamzah Menangkan Perkara Pemecatannya

Penulis: Laila N
Editor: Wulan Kurnia Putri
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Fahri Hamzah

TRIBUNWOW.COM - Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Fahri Hamzah memenangkan kasasi yang diajukan oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

Dilansir TribunWow.com, hal tersebut tampak dari informasi perkara yang diunggah oleh kepaniteraan Mahkamah Agung (MA) melalui web resminya.

Diketahui, permohonan tersebut terkait dengan pemecatan terhadap Fahri Hamzah sebagai anggota PKS.

Atas penolakan ini, maka Fahri Hamzah akan tetap menjadi anggota PKS.

Amar putusan tersebut terdaftar dengan nomor 1876 K/PDT/2018 dengan yang diajukan oleh Pengadilan Jakarta Selatan.

Dalam amar putusan tersebut, tertera pemohon adalah Dewan Pengurus Pusat Partai Keadilan Sejahtera CQ. Abdul Muis Saadih, MA. Selaku Ketua Badan Penegak Disiplin Organisasi (BPDO) PKS, dkk.

"TOLAK" begitu bunyi amar putusan yang ditetapkan pada 30 Juli 2018 itu.

Majelis hakim agung yang mengadili permohonan kasasi itu adalah Maria Anna Samiyati, Muhamad Yunus Wahab, dan Takdir Rahmadi.

SBY Beri Klarifikasi Data Penduduk Miskin, Jubir PSI Tantang Marwan Cik Asan Minta Maaf ke Publik

Amar putusan MA terkait pemecatan Fahri Hamzah (Capture/kepaniteraan.mahkamahagung.go.id)

Diketahui, Fahri Hamzah sebelumnya juga telah memenangi perkara yang sama dalam tingkat banding.

Hal tersebut setelah Pengadilan Tinggi Jakarta menolak permohonan pengurus PKS pada akhir 2017 silam.

Kasus ini bermula ketika Fahri Hamzah dan pengurus PKS terlibat dalam sebuah pemasalahan yang menyebabkan Fahri Hamzah dipecat sebagai anggota partai pada tahun 2016.

Saat itu Fahri Hamzah dinilai telah melakukan hal yang tidak sesuai dengan arah partai dan dianggap menentang mereka.

Tak terima dipecat, Fahri lantas membawa kasus tersebut ke jalur hukum.

Fahri kemudian memenangkan kasus yang diputus oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 14 Desember 2016 silam.

Fahri Hamzah pun berulang kali memberikan penjelasan kepada publik apabila dirinya tidak bersalah dan tidak melanggar aturan partai.

Seperti yang ia ceritakan pada Januari lalu, seperti berikut ini.

"Saya sering mengulang ulang bahwa saya tidak pernah melanggar norma dan aturan partai, saya juga tak punya masalah moral, saya tak pernah korupsi anggaran publik dan makan uang partai. Saya tidak pernah dihukum sekalipun sebelumnya. ALHAMDULILLAH.

Sekali lagi, saya ulang ini bukan untuk bangga2 apalagi minta dipuja. Saya hanya menjelaskan fakta yg membuat kita harus terus berkaca tentang kelemahan kita. Kita harus terbuka bahwa kita memang ada masalah. Jangan terus memuji pimpinan seolah tidak mungkin salah.

Itulah dasar mengapa saya bertanya ketika pertama kali dipanggil oleh Badan Penegak Disiplin Organisasi (BPDO) tgl 30/12/2015. Atas dasar apa sy dipanggil, apa tuduhannya, siapa pelapornya. Pertanyaan ini tidak mau dijawab tapi langsung disuruh menulis semacam BAP aneh.

Aneh karena isi pertanyaan yang tendensius dan mempersoalkan apa yang saya sudah jalani sepanjang masa. Naskah itu kemudian tidak ada hubungannya dengan dakwaan yang dibaca pada panggilan berikutnya.
Ini awal dari peradilan sesat dalam jamaah PKS.

Saya mau menceritakan kembali tentang pemecatan saya dr awal, yg dipengadilan PKS menjelaskan berbagai delik pelanggaran, namun setelah kalah berkali2 di pengadilan kini datang lagi delik baru dgn kemauan “yg penting Fahri harus diganti!”.

Ini membuktikan bhw keterangan dipengadilan itu bohong semua, krn yang ada memang hanya keinginan agar saya segera diganti sementara alasan dan delik disusun kemudian. Sekarang semua itu telanjang penuh rekayasa.

Inti dari persidangan internal itu dibuat agar saya sebagai kader partai dipaksa melakukan sesuatu yang bukan merupakan hak partai dan juga bukan hak saya. Saya tidak bisa mundur sembarangan dong sebagai pejabat publik kan harus jelas masalah ya apa?.

Sering saya katakan, partai mencalonkan saya tapi tidak semua orang dicalonkan terpilih karenanya hak rakyat dan konstituen dalam posisi saya besar. Maka, karena partai mencalonkan saya tidak serta merta semua bisa diambil tapi harus jelas.

Demikianlah dalam hal keterpilihan sebagai pimpinan dpr ceritanya panjang sampai tercipta koalisi yang dibangun oleh kepemimpinan PKS sebelumnya. Lalu, dalam proses itulah dibentuk paket dalam pemilihan di paripurna, semua ada prosesnya dan UU mengatur secara ketat.

Maka UU MD3 mengatur dgn jelas bhw tidak mudah mengganti pimpinan DPR RI sbg jabatan publik, semuanya harus disertai alasan yang diatur di dalam UU. Dalam negara, semakin penting sebuah jabatan tentu diatur lebih ketat. Partai terikat aturan formal.

Pasal 87 UU MD3 mengatur bhw pergantian pimpinan DPR RI datang dari 3 hal, (ayat 1 huruf a) wewenang Tuhan yaitu jika meninggal dunia, (huruf b) hak individu jika ia mengundurkan diri, (huruf c) wewenang lembaga yang akan berujung pada kewenangan lembaga negara.

Terkait kewenangan lembaga maka ada 3 lembaga yg berwenang, pertama pengadilan (ayat 2 huruf c) jika dinyatakan bersalah oleh pengadilan dgn ancaman hukuman 5 tahun, kedua DPR/MKD (ayat 2 huruf b) dinyatakan bersalah oleh MKD kr melanggar sumpah jabatan.

Ketiga oleh parpol, terkait ini, pimpinan PKS telah mengambil jalan Sapujagat yaitu memecat saya dari seluruh jenjang keanggotaan. Tentu ini semua adalah rekayasa yang sampai sekarang saya belum paham kenapa sampai sejauh ini.
Tapi Mereka telah mengambil semuanya.

Awalnya saya oleh ketua Majelis Syuro (KMS) disuruh mundur, lalu saya mengajukan 2 pertanyaan: siapa yg menekan KMS? Dijawab tidak ada. Saya tanya kedua, apa salah saya? Dijawab tidak ada salah. Bahkan saya beliau sebut adalah kader terbaik. Inilah yang membuat saya ragu.

Saya telah menduga sejak awal pasti ada yang tidak beres di sini. Dan sekarang semua semakin terbuka bahwa niat memecat saya hanyalah dalil untuk menyingkirkan saya sebagai pimpinan DPR. Sementara alasan makin tidak masuk akal. Dan semakin nampak ketika ada paksaan.

Saya dipaksa mengundurkan diri dan mencari alasan sendiri mengapa mengundurkan diri, saya menjawab akan memikirkan hal itu dengan istikhoroh namun saya dibuatkan surat pengunduran diri untuk saya tandatangani. Aneh semuanya aneh. Atas nama harus taat segala cara dihalalkan.

Bgmn bisa saya mendatangani sebuah surat pengunduran diri yg dibuatkan oleh orang lain dan tertulis disana bhw saya menandatanganinya tanpa paksaaan padahal saya dipaksa?. Kalau organisasi mafia boleh saja melakukan itu tetapi ini institusi demokrasi.

Gara2 saya menolak Terjadilah ini semua yg berujung pada saya dipecat, berbagai alasan pelanggaran dibuat dan diajukan sebagai bukti di pengadilan padahal intinya hanya ingin mengganti saya dengan cara disuruh mundur tanpa alasan.

Berbagai tuduhan disusun, melanggar aturan partai, pernah dijatuhi hukuman oleh MKD, mendukung novanto dalam kasus papa minta saham, suka mengkritik KPK, mengusulkan pembangunan gedung dpr dll. Semua tuduhan ini Tiba2 Gak pernah ada pendahuluan.

Pertama, ini soal apa? Soal tidak mau mundur? Lah kan Sy kasi tahu alasannya. Kalau soal mundur dari pengurus partai kan sudah diambil semua jabatan saya yg hampir tidak pernah kosong sejak 1998. Tapi ini mundur dari wakil ketua dpr adalah dari jabatan publik.

Kedua, soal jabatan partai memang dalam kepemimpinan PKS yang sekarang, saya sudah tidak punya jabatan apapun setelah sebelumnya menjadi wakil sekjen. Saya diberi tahu akan menjadi anggota MPP (majelis pertimbangan partai) dan disuruh bawa jas mau dilantik tidak jadi.

Jadi saya ini sudah tidak punya jabatan partai apapun sehingga saya sudah tidak bIsa diminta mundur dari posisi apapun. Sementara jabatan pimpinan DPR adalah paket yang dipilih paripurna yg bersifat tetap dan mekanisme naik turunnya diatur ketat.

Ketiga, setelah tidak mau mundur maka muncullah rekayasa yang di orkestra di ruang publik seolah saya sedang dievaluasi dan punya banyak masalah. Katanya ada laporan ke BPDO (badan penegak disiplin organisasi) dan sampai sekarang tidak jelas siapa yang melapor.

Keempat, maka seluruh rangkaian perbuatan; melaporkan saya (saya Gak tahu siapa orangnya sampai sekarang), memeriksa di BODO, menuntut di Majelis Qadha, Menghukum di Majelis Tahqim serta eksekusi di DPP adalah rekayasa, permufakatan tidak Mulya dan perbuatan melawan hukum," tulis Fahri Hamzah.

(TribunWow.com/Lailatun Niqmah)