Pilkada Serentak 2018

Pakar Statistik IPB Khairil Anwar Beberkan Alasan Beda Hasil Survei Pra Pilkada dengan Quick Count

Penulis: Tiffany Marantika Dewi
Editor: Astini Mega Sari
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Khairil Anwar Notodiputro

TRIBUNWOW.COM - Pakar statistik Intitut Pertanian Bogor (IPB), Khairil Anwar Notodiputro memberikan alasan serta ulasan mengenai hasil survei pra pilkada (Sp) yang sering berbeda dengan hasil hitung cepat atau quick count  (QC).

Ulasan tersebut disampaikan Anwar melalui akun Twitter-nya, @kh_notodiputro, Minggu (1/7/2018).

"Ayo kita ulas mengapa hasil survei pra-pilkada (Sp) bisa berbeda dg hasil QC? Mengapa bedanya besar sekali? Saya akan mengulasnya sbg guru dan pengamat bukan sebagai pelaku. Kalau dari perspektif pelaku maka hrs pakarnya yaitu Dr. @BurhanMuhtadi yg mengulas," tulis Khairil mengawali ulasannya.

Khairil mengungkapkan baik survei pra pilkada maupun quick count adalah sama-sama survei.

Persamaan yang tampak jelas yakni ada pada sampel dan keduanya dilaksanakan sebelum real count diumumkan untuk memprediksi hasil pilkada.

Sindir Prabowo soal Pencapresan Amien Rais, Guntur Romli: Katanya Demi Umat Kok Gak Mau Ngalah?

"Survei pra-pilkada (Sp) dan QC keduanya adalah survei. Saya pernah menyaksikan di TV ada pengamat yg mengira QC itu bukan survei, mungkin karena karakteristik keduanya tdk persis sama. Keduanya ada persamaannya tapi ada pula perbedaannya.

Persamaan yg nampak jelas adalah keduanya didasarkan pd sample dan dilaksanakan sebelum RC diumumkan serta keduanya dilakukan utk memprediksi hasil pilkada," kicau Khairil.

Kicauan Khairil Anwar (Capture Twitter)

Pakar statistik IPB ini juga membeberkan perbedaan antara survei pra pilkada dengan quick count.

Perbedaan tersebut adalah, survei pra pilkada dilakukan beberapa hari maupun beberapa minggu sebelum dilangsungkannya pilkada.

Sementara quick count dilakukan pada hari pilkada dilaksanakan.

Perbedaan lainnya, responden survei pra pilkada adalah pemilih.

Sedangkan responden quick count adalah Tempat Pemungutan Suara (TPS).

Hasil Pertandingan Piala Dunia, Minggu 1 Juli 2018: Rusia dan Kroasia Lolos ke Perempat Final

"Bedanya adalah Sp dilakukan sebelum pilkada, bisa beberapa hari/minggu sebelum pilkada. sedangkan QC dilakukan pada hari H pilkada. Selain itu responden Sp adalah calon pemilih, responden QC adalah TPS. Jadi yang satu manusia (hidup), yang satu lagi kertas catatan (mati)," tambah Khairil.

Dan berikut ini persamaan serta perbedaan antara survei pra pilkada dengan quick count  menurut Khairil yang dihimpun Tribunwow.com melalui akun Twitternya.

"Tentu masih banyak persamaan dan perbedaan antara Sp dg QC. tapi yang disebut tadi itu adalah yang sangat kasat mata. Ada juga perbedaan yang tidak kasat mata terutama yang menyangkut teori dan model matematikanya. Tidak tepat kalau dikemukakan di forum ini.

Perbedaan selanjutnya adalah soal akurasi hasilnya. Jika dilakukan secara benar sesuai kaidah ilmiah dan jujur maka akurasi Sp

Sp merupakan survei tentang opini atau pendapat, bukan pengukuran variable yang terukur jelas. Karena Sp merupakan survei opini maka jawaban responden bisa jujur tapi bisa juga bohong. Responden yang tidak punya kepentingan akan jujur, begitu juga jika enumerator (petugas lapangan yang membantu tim monitoring dan evaluasi dalam kegiatan pengumpulan data) tidak mengarahkan.

Sindir Janji Pemerintah soal BBM, Ferdinand Hutahaean: Untuk Konsistensi saja Mereka Tidak Bisa

Repotnya, opini responden yang jujur tidak bisa dijamin tetap sampai hari H. Tidak sedikit opini mereka yang berubah-ubah sampai hari H tergantung situasi pilkada dan kondisi kebatinan dari calon pemilih.

Adalah pengetahuan umum bahwa negeri ini masih banyak orang yang labil dan mudah berubah pendapatnya. Jadi perubahan pilihan paslon sejak Sp sampai hari H, terutama ketika ada perkembangan baru, merupakan hal yang lazim terjadi di negeri ini.

Mereka yang pendapatnya labil bisa berubah menjadi pendukung paslon yang diprediksikan menang. Tapi mereka bisa juga bergeser menjadi pendukung paslon yang didzolimi, atau terkesan didzolimi.

Di dalam Sp selalu ada yang kelompok orang yang belum mau memutuskan pilihan paslonnya. Mereka mungkin masih ragu dan “wait and see” sampai hari H. Kehadiran mereka ini juga bisa mengubah konstelasi hasil Sp pada hari H.

Kedua kelompok ini pada hari H juga bisa terbelah yaitu memilih yang diprediksi menang atau membala yang didzolimi.

Mahfud MD Beri Pernyataan soal Netralitas TNI dan Polri dalam Pilkada Serentak 2018

Baik kelompok yang labil maupun yang belum menentukan pilihan ini dapat mengacaukan prediksi Sp. Keduanya merupakan faktor yang membuat kondisi tidak stasioner.

Tidak stasioner itu arti gampangannya adalah berubah ubah secara sistematis. Dengan kata lain tidak stabil sehingga sulit untuk melalukan prediksi. Semakin banyak kelompok yang labil dan kelompok yg ragu atau “wait and see” semakin sulit melakukan prediksi.

Tidak stasioner dalam statistika menjadi lebih rumit dan bisa membuat kening berkerut. Tidak stasioner (weak stationarity) berarti terjadi perubahan “mean” dan “variance” dalam jangka panjang. Jika dalam keadaan seperti ini dilakukan prediksi maka hasilnya akan melenceng.

Apa yang menyebabkan yang labil lalu berubah pilihan? Apa yg membuat mereka yang ragu-ragu lalu yakin akan memilih paslon tertentu? Biasanya kejutan jelang pilkada, baik positif mau pun negatif akan mengubah konstelasi hasil Sp. Ini sudah terjadi di beberapa pilkada.

Besarnya Margin of Error (MoE) hanya tepat ketika kondisinya stasioner. Jika kondisinya tidak stasioner maka MoE menjadi tidak bisa dipercaya. Jadi tidak relevan kita mengatakan “kan Sp ini MoEnya 3.5% tapi mengapa mlesetnya terhadap QC atau RC bisa 20%” jika kondisinya tidak stasioner.

Pertamax Melonjak Jadi Rp 9.500, Rustam Ibrahim Bandingkan dengan 2014: Naiknya Dimana?

Pendek kata akurasi hasil Sp dapat saja rendah walaupun Sp sudah dilaksanakan dengan benar dan penuh kejujuran. Ini berbeda kondisinya dg QC.

Dalam hal ini QC lebih stasioner dibanding Sp, sehingga QC hanya tersangkut dengan sampling error. Jadi kalau QC dilaksanakan dengan kaidah yang benar dan jujur maka hasil QC lebih bisa dipercaya dalam arti akan dekat dengan RC sesuai dengan MoE nya dengan peluang 95%.

Lalu bagaimana jika hasil Sp dan QC berbeda jauh, apakah Sp bisa direkayasa? Karena Sp itu alat maka bisa saja disalah-gunakan. Seperti halnya sarung yang digunakan sholat tapi bisa digunakan untuk gantung diri. Sp bisa digunakan untuk giring opini. Tergantung niat penggunanya.

Tapi seperti saya jelaskan sebelumnya terjadinya perbedaan yang besar antara Sp dan QC bisa juga tidak direkayasa. Adanya kondisi ketakstasioneran bisa membuat hasil Sp berbeda jauh dengan QC.

Lalu bagaimana kalau ada yang bilang “hasil prediksi survei pra-pilkada lebih buruk dari prediksi dukun?” Saya no comment karena penyataan itu sangat mungkin politis dan punya kepentingan tertentu. Yang pasti Sp kalau dilaksanakan dengan benar lebih terukur hasilnya daripada dukun.

Demikian ulasan sangat singkat tentang survei pra-pilkada, kurang lebihnya saya mohon maaf. sekali lagi ulasan ini dari pespektif guru dan pengamat. kalau dari perspektif pelaku silakan dijelaskan oleh lembaga survei atau PERSEPI atau @BurhanMuhtadi Tabiik," tulis Khairil. (Tribunwow/Tiffany Marantika)