TRIBUNWOW.COM - Difteri yang mewabah di sejumlah wilayah di Indonesia, termasuk Tangerang, membuat seorang anak meninggal dunia.
Dilansir Warta Kota, seorang pasien pengidap difteri dinyatakan meninggal dunia pada Kamis (7/12/2017) di RSUD Kabupaten Tangerang.
Sebelumnya, bocah tersebut sempat mendapatkan perawatan di ruang khusus.
"Ada satu orang yang meninggal dunia karena penyakit difteri. Pasien yang meninggal atas nama Rustam berusia 6 tahun," kata Staf Humas RSUD Kabupaten Tangerang, Lilik, kepada Warta Kota (Tribunnews.com Network), Kamis (7/12/2017).
Seperti diketahui wabah difteri ini sudah termasuk kejadian luar biasa (KLB) di Tangerang.
Difteri merupakan penyakit yang menular dan berpotensi mengancam jiwa.
Rustam beralamatkan di Kampung Rawajati RT 01/RW 15 Rawa Rengas, Kosambi, Kabupaten Tangerang.
Lilik menyebut pihaknya sudah memberikan pelayanan semaksimal mungkin terhadap pasien itu.
"Kami langsung memberikan pelayanan dan diisolasi di ruangan khusus. Tapi nyawanya tidak terselamatkan," kata Lilik.
Menurutnya, hingga kemarin, RSUD Kabupaten Tangerang sudah menampung sebanyak 34 pasien yang terjangkit difteri sejak medio Agustus lalu.
"Hari ini (kemarin --Red) ada tiga orang lagi yang masuk karena difteri," ungkap Lilik.
Pasien-pasien tersebut berasal dari berbagai daerah, mulai dari Tangerang Selatan, Kota Tangerang, Kabupaten Tangerang, Depok, dan Bogor.
"Mereka yang terjangkit difteri dan dirawat di rumah sakit ini dari berbagai umur. Ada anak-anak, remaja, dewasa, dan orangtua," tutur Lilik.
Sebelumnya juga ada pasien difteri berusia 77 tahun yang meninggal dunia.
Dan saat ini yang masih dirawat di RSUD Kabupaten Tangerang ada enam orang.
"Difteri ini disebabkan oleh infeksi bakteri. Gejalanya ya batuk, pusing, dan mual. Umumnya bakteri itu menyerang selaput lendir pada hidung dan tenggorokan. Makanya kami dalam pemeriksaan benar-benar teliti, kalau dilihat di dalam tenggorokan sudah menjamur, itu sangat bahaya," ujar Lilik lagi.
Baca: Ternyata Pengacara Setnov Fredrich Yunadi Hanya Mundur dalam Kasus yang Terkait dengan KPK
Seperti diberitakan sebelumnya, Menurut Direktur Surveilens dan Karantina Kesehatan Kemenkes Jane Supardi, difteri sudah sejak 2009 ditemukan penderitanya di Indonesia.
Menurut Jane, wabah difteri semakin banyak menjangkit anak-anak karena jumlah anak yang tidak di imunisasi meningkat, dari tahun 2009 hingga 2017.
Jane menambahkan sesuai SOP, jika ada satu saja kasus difteri, maka suatu daerah harus masuk kategori KLB.
Untuk menanggulangi, pihak Dinkes setempat wajib memberikan ulang vaksin difteri kepada seluruh penduduk.
Di sisi lain, pengurus Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia Sumaryati menyatakan, difteri tidak akan terjadi jika seluruh masyarakat berhasil divaksin.
Kenyataannya, di lapangan, universal coverage immunization (UCI) seringkali tidak mencapai target.
Sumaryati melihat, difteri ada seiring dengan munculnya gerakan antiimunisasi.
Menurutnya, jika 80 persen saja masyarakat divaksin, seharusnya penularan difteri tidak terjadi.
Pihak dinas kesehatan, melalui puskesmas, sudah memberikan edukasi kepada masyarakat mengenai pentingnya imunisasi, seperti dengan program Germas (gerakan masyarakat) hingga door to door ke rumah-rumah warga.
Akan tetapi, program tersebut menurut Sumaryati masih belum maksimal, karena sumber daya manusia (SDM) di puskemas terbatas, terlebih setelah puskesmas melayani BPJS.
Baca: Wow! Kementerian PUPR Olah Limbah Plastik Jadi Campuran Aspal, Sudah Diujicoba di Daerah Ini
Sehingga dokter atau petugas puskesmas yang door to door ke rumah warga belum semuanya ada di berbagai wilayah, meski sudah ada iklan di TV.
Sumaryati menyoroti penyebab utama penularan difteri pada anak-anak adalah kurang pahamnya masyarakat, sehingga muncul gerakan antiimunisasi.
Ditambah tokoh-tokoh masyarakat yang mengatakan tidak perlu imunisasi anak, yang membuat banyak masyarakat ragu.
Menyikapi hal tersebut, Dinas Kesehatan mengaku sudah meminta bantuan dari MUI, lantaran antiimunisasi mencul karena faktor agama.
Meski demikian, Jane Soepardi mengaku belum ada perubahan signifikan dari masyarakat.
Menurut Jane, bahkan pernah ada satu sekolah dan satu pesantren yang menolak imuninasi, yang artinya ratusan anak bisa dengan mudah terjangit difteri dan penyakit lainnya. (*)