TRIBUNWOW.COM - Siang itu, Senin (04/12/2017) terik panas matahari sempurna membakar setiap jengkal tanah Kulonprogo.
Di bawah terik matahari yang membakar ubun-ubun kepala, puluhan warga dan ratusan aktivis solidaritas penolak penggusuran bandara Kulonprogo tampak berjejer rapi berduduk sila membentuk barisan di sepanjang jalan Daendels.
Dengan penuh khidmat, satu di antara mereka berdiri dan mengumandangkan azan yang disusul dengan ikamah.
Sejumlah warga kemudian tampak berdiri membentuk barisan saf dan melaksanakan salat dua rakaat, tepat di tengah jalan.
Mereka adalah warga yang tegas menolak penggusuran atas lahan dan rumahnya yang terdampak pembangunan bandara New Yogyakarta International Airport (NYIA).
Bersamaan dengan puluhan warga yang tengah melaksanakan salat, di sebelah barat berjarak sekira 300 meter barisan brigade personil gabungan dari PT Angkasa pura 1, aparat kepolisian, TNI, Satpol PP, dan tim pendamping dari TP4D Kejaksaan Tinggi Daerah Istimewa Yogyakarta tengah apel siaga bersiap mengamankan puluhan rumah yang hendak diratakan hari itu juga.
Tak berselang lama selepas apel pasukan, suara raungan lima backhoe mulai menggelagar menggilas satu persatu rumah di desa Glagah dan Palihan, Kulonprogo, meski sejumlah warga masih menyatakan menolak.
Di antara warga yang menolak itu adalah Ponirah (35) warga Dusun Kepek, RT 04 RW 02 desa Glagah, yang masih bersikukuh menempati sebuah rumah yang masih berdiri di antara puluhan rumah yang telah rata dengan tanah.
Kepada Tribun Jogja ia mengaku tidak rela melepas tanahnya untuk pembangunan bandara baru.
Dirinya mengaku akan bertahan di rumah itu sampai akhir hayat, meski backhoe meraung-raung meratakan satu per satu rumah di sampingnya.
"Saya nggak rela, nggak ridho dunia akhirat sampai anak cucu turunan, saya tetap nggak rela melepaskan tanah ini untuk bandara,” tutur Ponirah dengan suara lantang.
Dari wajahnya tak menyiratkan sedikitpun keraguan, rasa takutnya seakan telah runtuh bersama dengan runtuhnya pohon-pohon yang berada di samping rumahnya terkena hantaman backhoe petugas.
Baginya, eksekusi puluhan rumah yang dilakukan oleh pihak Angkasa Pura tak menyurutkan niat secuil pun untuk tetap bertahan mendiami rumahnya.
Bahkan, saat ini listrik dan akses jalan menuju rumahnya sudah terputus, ia masih bersikap tenang.
“Tanpa listik saya masih bisa hidup,” ungkapnya.
Meski Ponirah seorang perempuan, tak ada keraguan dan lelehan air yang keluar dari kelopak matanya.
Ia mengaku akan tetap tegar dan tak sudi untuk meneteskan air mata.
“Ini perjuangan, saya tidak mau dan tidak akan pernah meneteskan air mata,” ujar dia dengan tegas.
Titik perjuangan penghabisan tetap akan ia lakukan meskipun ia tahu aparat dengan alat beratnya akan kembali mendatangi rumahnya.
Bahkan ia juga mengaku, perjuangan akan tetap ia lakukan meski pada akhirnya rumah kebanggan miliknya roboh diterjang kerasnya backhoe.
“Kalau rumah ini roboh, saya bersama suami dan ketiga anak saya akan bangun tenda di antara puing-puing rumah kami. Mempertahankan bumi pertiwi, sampai akhir hayat,” beber dia.
Rumah Ponirah merupakan rumah satu-satunya di Dusun Kepek Rt 04 yang masih tersisa.
Semua rumah samping kiri dan kanan sudah rata, hanya menyisakan puing-puing reruntuhan dihantam backhoe.
Sedang akses jalan menuju rumah ponirah sudah tak mampu lagi dilalui menggunakan kendaraan, hanya bisa dilalui berjalan kaki dengan menyingkirkan material reruntuhan. (*)
Berita ini telah diterbitkan oleh Tribun Jogja dengan judul "Wanita Ini Tak Rela Lepas Tanahnya untuk Bandara Kulonprogo,'Saya Nggak Ridho Dunia Akhirat'"