Gunung Agung Meletus

Kisah Pengungsi Gunung Agung, Tetap Berkarya di Tengah Bencana

Editor: Fachri Sakti Nugroho
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Salah seorang pengungsi asal Banjar Pura, Desa Sebudi, Selat, Karangasem, mengisi waktu luang di posko pengungsian Lingkungan Pendidikan Kubu, Bangli, dengan membuat inka. Kembali meningkatnya aktifitas Gunung Agung diakui dia berdampak pada meningkat harga serta sulitnya mencari bahan baku, Senin (27/11/2017).

TRIBUNWOW.COM - Mangku Putu Suardani tetap berkarya meski kini dirinya berada di posko Pengungsian.

Wanita asal Banjar Pura, Desa Sebudi, Selat, Karangasem ini terlihat duduk bersama para kerabatnya sembari menganyam batang lidi.

Ditangan Putu Suardani, lidi-lidi tersebut dapat disulap menjadi inka.

Untuk diketahui, inka adalah wadah yang digunakan untuk menaruh buah atau sesaji ketika sembahyang.

"Berbeda dengan inka piring yang bentuknya lebih pipih. Inka ini, peruntukannya adalah untuk sembahyang, untuk membawa buah ataupun sesaji," ujar Putu Suardani, Senin (27/11/2017).

Kepada Tribun Bali, Putu Suardani mengaku telah menekuni usaha pembuatan inka sejak 20 tahun yang lalu.

Karena itulah ia tetap menjaga dedikasinya dalam memproduksi inka meski kini berada di posko pengungsian.

Mengalir Sejak Dini Hari, Ini Fakta-fakta Lahar Dingin Gunung Agung yang Menerjang Pulau Dewata

Pengungsi Gunung Agung ((Tribun Bali/M. Fredey Mercury))

Dalam sehari, Putu Suardani dapat membuat 40 buah Inka.

Tiap satu buahnya dijualnya dengan harga Rp 4 ribu.

Namun, kondisi Gunung Agung yang tengah aktif membuatnya sulit mendapat bahan baku dan naik harganya.

Dari semula harga bahan baku dijual Rp 3 ribu per ikat, kini meningkat seharga Rp. 4 ribu per ikat.
Padahal satu ikat lidi, hanya bisa dibuat sebanyak satu hingga dua buah inka.

"Tergantung dari besar kecilnya lidi. Jika kecil, terpaksa hanya bisa bikin lepekan," tuturnya.

Sempat Terdengar Dentuman 2 Kali dari Gunung Agung, Ini Potensi yang Mungkin Terjadi

Hal senada juga dikeluhkan oleh Ni Nengah Winih.

Nengah Winih yang juga pembuat inka mengungkapkan, meningkatnya harga bahan baku terjadi lantaran banyak warga pengungsi yang beralih pekerjaan dengan membuat inka.

Ia menambahkan, harga bahan baku juga cenderung bervariasi.

Mulai dari Rp 3500, hingga Rp 5 ribu. Tergantung dari tempat pengambilan.

Untuk pemasarannya, Nengah Winih mengaku menjual inka di areal pengungsian lingkungan pendidikan Kubu.

Namun, ia lebih memilih untuk menjual inka per ikat, di mana dalam satu ikat berisi 50 inka.

Dibanding perbiji yang hanya diharga Rp 4 ribu.

"Tadi ada bu dosen dari IHDN yang beli satu ikat. Lumayan untuk tambahan modal," tandasnya.

(*)