TRIBUNWOW.COM - Asa Firda Inayah pemilik akun Facebook Afi Nihaya Faradisa tampak sedih ketika ditanya soal isu plagiarisme pada tulisannya yang berjudul 'Belas Kasih Dalam Agama Kita'.
Gadis yang kerap disapa Afi ini secara tegas membantah isu plagiarisme tersebut.
Saat ditemui oleh Kompas TV di Gedung Pancasila, Kementerian Luar Negeri, Jakarta Pusat, Afi menjawab dengan cepat dan singkat terkait kabar itu.
"Tidak," katanya sebagaimana dikutip dari KOMPAS.com.
Alumni SMA 1 Gambiran Banyuwangi ini mengatakan, belum mengetahui soal plagiarisme yang dituduhkan padanya.
"Saya tidak tahu, saya belum banyak bukan sosmed," ucapnya.
Afi Diusulkan Jadi Duta Pancasila, Bagaimana Nasib Zaskia Gotik?
Namun, Afi mengakui dirinya telah membuat banyak tulisan dan banyak di-copy.
"Saya memang menulis di akun-akun lama, dari tahun 2012 dan beberapa tulisan di akun Afi tulisan lama. Akun lama Afi sudah di-take down," kata Afi.
Saat diberitahu tulisannya yang berjudul 'Belas Kasih Dalam Agama Kita' disebut-sebut menjiplak karya Mita Handayani yang telah ditulis pada 30 Juni 2016, mata Afi mulai berkaca-kaca.
Kendati demikian, remaja 18 tahun ini menjawab dengan tegas, "Mita Handayani, minta konfirmasi aja sama akun Mita Handayani."
Melihat reaksi itu, Bayu Sutiyono yang mewawancarainya, berusaha menghibur dan memberi kejutan untuk Afi.
Afi Unggah Tulisan Tak Disangka Ini Setelah Didatangi GP Ansor dan Banser NU!
Kejutan itu rupanya kedatangannya ayahnya yang sengaja diundang oleh Tim KOMPAS TV.
Asa Firda Inayah dan ayahnya. (KompasTV)
Melihat ayahnya, Afi tak dapat lagi membendung air mata.
Tak dipungkiri, tulisan Afi di Facebook memang menuai kontroversi.
Banyak pihak yang tak suka dengan tulisannnya lantaran selalu mengritisi permasalahan negara dan menggarisbawahi perbedaan di dalamnya.
Kendati demikian, tak jarang pula yang menyukai gadis ini.
Sebagai remaja, Afi dinilai memiliki pemikiran yang tak biasa.
Ia bahkan tak gentar menyuarakan gagasannya melalui tulisan meskipun mendapat banyak kecaman dan ancaman.
Tulisan yang berjudul 'Belas Kasih Dalam Agama Kita' adalah karya Afi yang tercantum di laman Facebook-nya setelah peristiwa ledakan bom di kawasan Terminal Kampung Melayu.
Seolah menyindir aksi terorisme, Afi menulis tentang kasih yang diajarkan dalam Islam.
"Dengan pistol kita bisa membunuh teroris, tapi dengan pemahaman agama yang baik kita bisa membunuh terorisme," begitu bunyi penggalan tulisan Afi.
Simak tulisan selengkapnya!
"BELAS KASIH DALAM AGAMA KITA
Afi Nihaya Faradisa
“Ada seorang wanita pezina melihat seekor anjing di hari yang panasnya begitu terik. Anjing itu mengelilingi sebuah sumur sambil menjulurkan lidahnya karena kehausan. Wanita itu segera melepas sepatunya (untuk digunakan menimba air). Ia pun diampuni karenanya.” (HR. Muslim).
Banyak yang meragukan Islam sebagai ideologi kelembutan, terutama ketika Indonesia dan dunia terus dikejutkan oleh serangkaian insiden berdarah yang mengatasnamakan agama ini.
Namun, jika kita menelisik sedikit lebih dalam saja, kita akan menemukan bahwa salah satu doktrin sentral Islam ternyata memang berputar pada prinsip belas kasih.
Kalimat basmalah, pembuka surat-surat Al-Qur'an dan doa yang paling sering diucapkan umat Islam sedunia, mengandung dua sifat utama Tuhan: "Maha Pengasih" dan "Maha Penyayang". Kalimat ini menjadi bukti paling tegas bahwa kasih sayang adalah jiwa dari seluruh ajaran Islam.
Kisah pezina yang diampuni karena belas kasihnya ini mengandung banyak pesan. Pertama, anjing adalah hewan yang secara tradisi dianggap najis dalam Islam. Belas kasih terhadap makhluk yang dianggap hina sekali pun ternyata memiliki arti.
Kedua, zina juga adalah dosa yang secara tradisi diganjar hukuman berat, mulai dari cambuk hingga rajam. Namun, belas kasih senilai seteguk air dianggap mampu menebus 'dosa' ini.
Yang menarik, tidak ditemukan kisah serupa yang melibatkan dosa lain seperti membunuh dan merampok, yang sudah pasti mengabaikan belas kasih.
Kisah ini bukanlah satu-satunya dalam Islam. Banyak kisah lainnya yang memiliki narasi serupa, yang mengindikasikan bahwa belas kasih dibayar dengan amat mahal dalam Islam.
Kitab Tsalasatul Ushul (Tiga Landasan Utama) karya Muhammad Abdul Wahab (yang sering dikaitkan dengan Wahabisme, sekte terkeras dalam Islam saat ini), misalnya, menceritakan satu kisah di mana seseorang ditolak seluruh ibadahnya, namun diampuni karena menyelamatkan seekor lalat yang tenggelam di sebuah gelas.
Kitab ini bahkan juga mengutip dorongan untuk berbelas kasih kepada orang kafir sekali pun.
"Kasihilah yang di bumi, maka yang di langit akan mengasihimu", bunyi lafadz sejumlah hadits yang menjadi dasarnya.
Sayyidina Ali bin Abi-Thalib ra. juga pernah mengatakan: "Mereka yang tidak bersaudara dalam iman bersaudara dalam kemanusiaan."
Kitab Tadzkiratul Auliya (Kisah Para Wali) karya Fariduddin Atthar menyitir kisah lain tentang satu-satunya orang yang diterima ibadah hajinya oleh Allah justru karena membatalkan hajinya agar uang biaya haji itu bisa digunakan untuk menolong tetangganya yang kelaparan.
Kisah semacam ini mungkin akan jarang didengar dan cenderung tidak disukai di kalangan Islam legalistik yang memiliki pendekatan sangat kaku tentang benar dan salah.
Aku pribadi mengelompokkan kisah-kisah ini sebagai post-sharia Islam, atau Islam pasca-syariat. Islam yang tidak lagi berdebat soal percabangan hukum hingga ke tataran seperti batas aurat & jumlah rakaat.
Sejenis Islam level berikutnya yang telah melampaui aspek legal formal menuju sesuatu yang lebih esensial. Dan esensi itu bernama belas kasih.
Maksud Baik Briptu Gilang Untuk Kekasih Pupus di Tangan Bom Kampung Melayu
Agaknya tidak mengherankan jika tema ini juga ditemukan di semua agama besar dunia.
Mulai dari Yesus yang berdiri membela pezina yang nyaris dihakimi massa, hingga Guan Yin yang dipuja luas di Asia Timur sebagai Dewi Belas Kasih yang mendengar penderitaan dunia.
Agama-agama di dunia ini mungkin berbeda pada tataran syariat dan legal formal, namun melebur dalam esensi yang sama ketika naik ke jenjang berikutnya. Cita-cita rahmatan lil 'ālamīn (belas kasih bagi semesta alam).
Meski sama-sama berjubah dan berjenggot, akan tetapi panutan kita dalam beragama adalah Muhammad SAW yang lembut, rendah hati, dan penuh belas kasih. Bukan Abu Jahal atau Abu Lahab yang licik, sombong, dan penuh amarah.
Beratnya menjadi muslim seperti yang dikatakan rasul: "Muslim ialah orang yang menyelamatkan orang lain dari gangguan lidah dan tangannya."
Masih suka memfitnah? Bergunjing? Menyakiti (bahkan membunuh) orang lain dengan lidah dan tanganmu? Muslimkah engkau?
Dengan pistol kita bisa membunuh teroris, tapi dengan pemahaman agama yang baik kita bisa membunuh terorisme." (TribunWow.com/Maya Nirmala Tyas Lalita)