Rahasia Kisah Asmara Semanis Tebu Soeharto dan Ibu Tien yang Menyentuh Kalbu

Penulis: Natalia Bulan Retno Palupi
Editor: Maya Nirmala Tyas Lalita
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Tien dan Soeharto.

TRIBUNWOW.COM - Sosok Presiden Soeharto memang dikenal misterius dan penuh rahasia.

Sosoknya meninggalkan kesan yang sangat mendalam bagi masyarakat Indonesia.

Berbanding Terbalik, Sosok Soeharto Bagi Ahok dan Anies

Kiprahnya sebagai Presiden kedua Republik Indonesia tentu masih melekat di benak setiap orang yang pernah merasakan kepemimpinannyaselama tiga puluh dua tahun berkuasa di Tanah Air.

Banyak yang tertarik dengan cerita di balik sosoknya yang murah senyum tersebut, termasuk perihal kehidupan asmaranya yang jauh dari sorotan media.

Putra Presiden Soeharto Dipanggil Polisi Karena Wanita yang Diduga Selingkuhan Habib Rizieq

Namun, jika ditelisik, ternyata sosok Soeharto atau yang lebih dikenal dengan sebutan Pak Harto ini memiliki kisah asmara yang menarik dan menyentuh kalbu.

Bagaimana kisah dari perjalanan asmara dari Pak Harto? Berikut tim TribunWow.com rangkum dari laman Intisari.

Simak selengkapnya.


Cinta Semanis Tebu Soeharto dan Sri Hartinah

Pada saat Indonesia masih berada di zaman Perang Kemerdekaan, Soeharto menjadi tentara, sedangkan Sri Hartinah merupakan sosok pemudi yang aktif di Laskar Wanita (Laswi) dan Palang Merah Indonesia (PMI).

Soeharto dan Hartinah, atau yang akrab disapa Ibu Tin ini sudah saling kenal sejak keduanya masih kanak-kanak.

Mereka sekolah di SMP yang sama di Wonogiri, Jawa Tengah.

Ibu Tin adalah adik kelas Soeharto dan juga satu kelas dengan sepupu Soeharto bernama Sulardi.

Diceritakan, Soeharto tidak pernah menunjukkan tanda-tanda naksir kepada Ibu Tin.

Justru Ibu Tin-lah yang sempat berkelakar bahwa suatu saat nanti dirinya akan menjadi kakak ipar Sulardi.

Keduanya berpisah selepas sekolah, Soeharto melanjutkan ke PETA dan terjun ke dunia ketentaraan. Sementara Ibu Tin aktif di Laswi dan PMI.

Pada tahun 1947, usia Soeharto menginjak 27 tahun.

Saat itu ia menyempatkan dirinya untuk mengunjungi keluarga Prawirowiardjo yang sudah lama mengasuhnya.

Keluarga bibi dan pamannya itu belum lama pindah ke Jogja dari Wonogiri.

Saat bertandang itu, sang bibi meminta Soeharto untuk segera menikah karena sudah cukup usia.

Bahkan, sang bibi juga bersedia mencarikan calon istri untuk Soeharto.

Namun, Soeharto sempat menolak secara halus tawaran sang bibi dengan alasan ingin fokus ke dunia militernya.

Tapi akhirnya, setelah dibujuk Soeharto pun luluh hatinya.

Saat Soeharto menanyakan siapa calon yang cocok untuknya kepada sang bibi, bibinya tersebut tersenyum dan menjawab bahwa Soeharto sebenarnya sudah kenal dengan gadis tersebut.

Ia mengingatkan Soeharto pada sosok Sri Hartinah.

Tentunya Soeharto tidak lupa dengan sosok adik kelasnya tersebut yang sering mengolok-olok sepupunya sebagai adik ipar.

Pak Harto dan Ibu Tin (Intisari.grid.id)

Namun, bukannya bersemangat, Soeharto malah tidak percaya.

Karena diketahui Ibu Tin adalah keluarga ningrat, Ia adalah seorang putri dari RM Soemoharjomo dan Raden Ayu Hatmati Hatmoedojo, wedana dari Kraton Mangkunegaran, Surakarta.

Soeharto merasa tidak pantas dirinya bersanding dengan putri ningrat itu.

Bu Prawiro, sang bibi tetap meyakinkan bahwa dirinya cukup dekat dengan keluarga Soemoharjomo itu.

Hartinah sendiri dikabarkan sempat membuat pusing keluarganya.

Sebab berkali-kali dia menolak lamaran banyak pria yang meminangnya.

Seketika, Soeharto dan keluarga bibinya melakukan kunjungan ke rumah Soemoharjomo di Solo, saat itu menjadi pertemuan pertama Soeharto dengan Hartinah, calon istrinya.

Soeharto diceritakan masih belum percaya diri dalam pertemuan yang dalam adat Jawa disebut 'nontoni'

Namun pada nyatanya, Keluarga Soemoharjono menerima pinangan Soeharto.

Pernikahan pun dilakukan pada 26 Desember 1947.

Resepsinya sangat sederhana dan tak dihadiri banyak tamu.

Era revolusi memungkinkan seorang pemuda desa seperti Soeharto memiliki “pamor” karena berkecimpung sebagai perwira militer yang memiliki tempat terhormat pada masa itu.

Menjadi istri tentara di zaman Perang kemerdekaan memang berat.

Bahkan, saat harus melahirkan anak pertamanya, Hartinah terpaksa tak bisa ditemani Soeharto yang sedang bertempur.

Kendati demikian, ia tetap tegar dan setia.

Pepatah bahwa di belakang pria hebat pasti ada wanita yang tangguh sepertinya memang benar adanya.

Dalam otobiografinya, Soeharto menulis ia dan sang istri selalu menjaga ketentraman rumah tangga dengan cinta dan pengertian.

Selama 49 tahun mereka hidup berdampingan. Sampai Hartinah berpulang pada 1996. Dan, 12 tahun kemudian, Soeharto menyusul wanita terkasihnya untuk kembali bersama. (Intisari.grid.id/TribunWow.com/Natalia Bulan Retno Palupi)